JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil bahwa harga Bahan Bakar Minyak sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditetapkan pemerintah dengan berbasis pada nilai keekonomian dinilai telah mendistori putusan MK. "Pada konteks pemerintah menyesuaikan keputusan MK dengan berbasis pada nilai keekonomian itu jelas menyimpang," ujar Ketua Umum Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas-MPM) Teddy Syamsuri melalui rilisnya, Minggu (29/3).

Menurut Fortas-MPM, substansi putusan MK terkait Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang berbunyi harga BBM dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, dan pelaksanaan kebijaksanaan harga tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Tentu, jika tanggung jawab sosial pemerintah dikaitkan dengan  nilai keekonomian, yang notabenenya punya maksud sama dengan mengikuti mekanisme pasar, hal ini dinilai menyalahi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil di MGM Grand Sanya Hotel, Hainan, Tiongkok, 27 Maret malam waktu setempat mengatakan, kenaikan BBM premium sebesar Rp500 per liter sudah menjadi komitmen Pemerintah untuk tidak lagi memberikan subsidi pada premium, tetapi untuk solar tetap disubsidi Rp1.000 per liter. Harga BBM di Indonesia, kata Sofyan Djalil, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditetapkan oleh pemerintah dengan berbasis pada nilai keekonomian. Sehingga sekarang untuk pengumuman soal kenaikan, cukup diumumkan oleh Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
 
Menurut  Teddy, Sofyan Djalil telah membelokkan substansi Keputusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 15 Desember 2004. Sehingga, kebijakan menaikan harga BBM sebagai komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak telah didistorsi oleh pemahaman pemerintah dengan dalil berbasis pada nilai keekonomian. Hal ini yang kemudian membuat rakyat hampir miskin menjadi miskin.

Ditambah lagi,  BBM menguasai hajat hidup orang banyak. "Ironisnya cukup diumumkan oleh seorang dirjen dan bukan lagi oleh menteri yang punya kewenangan," kata Teddi yang juga Direktur Kominfo Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) ini.

Menurut Teddy, dalam putusan MK itu memang campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Tapi Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, maka hal ini tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
 
Guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah, Teddy mengatakan, seharusnya harga BBM dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu terlebih dahulu. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, bukan diputuskan bisa berbasis pada nilai keekonomian yang lazimnya digunakan atau dibikin dalih oleh para penggiat neolib.

BACA JUGA: