JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan hak suaranya sebagai pemegang saham di PT Djakarta Lloyd (Persero) tidak akan berkurang meski sahamnya terdilusi (penurunan persentase kepemilikan pemegang saham suatu perusahaan akibat bertambahnya jumlah saham beredar). Saham pemerintah dinyatakan terdilusi akibat menumpuknya utang perusahaan pelayaran pelat merah itu. Saat ini saham negara terdilusi menjadi 29 persen akibat utang yang dimiliki perusahaan sebesar Rp1,2 triliun.

Kepala Biro Hukum Kementerian BUMN Hamra Samal menjelaskan alasan hak suara pemerintah tidak berkurang sedikit pun karena berdasarkan keputusan pengadilan melalui mekanisme PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), utang-utang yang dimiliki perusahaan dikonversi menjadi saham. Dia menambahkan, posisi kreditor sebagai pemegang saham dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, pemegang saham separatis colateral yaitu kreditor yang menolak putusan pengadilan untuk mengubah utang menjadi saham tetapi memiliki jaminan berupa utang di perusahaan.

Kedua, pemegang saham yang tidak menolak putusan tetapi tidak terikat putusan, artinya kreditor tersebut sepakat untuk mengkonversi utang menjadi saham. Ketiga, pemegang saham konkuren, dimana kreditor terikat terhadap putusan pengadilan.

"Dalam upaya restrukturisasi berdasarkan putusan PKPU, kreditor tidak memiliki hak suara dalam kebijakan perusahaan. Kreditor tersebut juga tidak memiliki hak untuk mendapatkan dividen," kata Hamra di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (26/3).

Hamra menuturkan langkah mengkonversi utang menjadi saham sebagai upaya restrukturisasi utang Djakarta Lloyd. Kemudian utang yang menjadi saham tersebut akan masuk menjadi equity (modal) dalam buku keuangan perusahaan. Artinya, ketika sudah menjadi modal, Djakarta Lloyd sudah dinyatakan sebagai perusahaan sehat dan bankable.

Akibat saham negara terdilusi, Hamra mengungkapkan saat ini pemerintah hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan Djakarta Lloyd telah mengeluarkan saham negara akibat konversi dari utang. Penyertaan saham dalam PP sifatnya sementara karena mekanisme pembayaran utang dengan cara mencicil.

Ketika keuangan perusahaan sudah sehat maka perusahaan akan melakukan buy back saham negara dari kreditor. "Utang di buku keuangan itu sudah hilang. Sekarang Djakarta Lloyd sudah sehat, ketika dapat project sudah dapat pinjaman dari perbankan," kata Hamra.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengatakan secara hukum, Djakarta Lloyd belum dapat dikatakan sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab Djakarta Lloyd saat ini sudah ada perjanjian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) antara perusahaan dengan kreditor. Sehingga akibat utang tersebut, saham negara menjadi terdilusi 29 persen.

Kendati demikian, status hukum perusahaan yang dianggap bukan perusahaan BUMN belum diatur dalam peraturan pemerintah. Dia menilai direksi Djakarta Lloyd belum melaporkan kepada Kementerian BUMN pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga pemerintah mencatat status Djakarta Lloyd masih milik BUMN. "Secara hukum Djakarta Lloyd bukan lagi milik pemerintah," kata Azam kepada Gresnews.com.

BACA JUGA: