JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perdebatan soal kelayakan pembangunan kilang ditambang gas abadi Blok Masela, Maluku terus meruncing. Sebagian pihak mendukung pembangunan kilang dilakukan di darat, karena alasan akan lebih meningkatkan ekonomi setempat. Sementara pihak lainnya menilai lebih efisien dibangun terapung di tengah laut, karena biaya lebih murah dan lebih cepat direalisasikan.  

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, skema pipanisasi dan pembangunan kilang di darat yang diajukan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli untuk pengembangan Blok Masela sangat sarat kepentingan. Ia menilai  skema tersebut sangat tidak efisien karena kontraktor diharuskan membangun pipa sepanjang 800 kilometer (km).

"Sekarang muncul onshore (laut), tapi harus membangun pipa 800 km," katanya di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (22/1).

Menurutnya, jika skema pipanisasi diputuskan pemerintah maka hal tersebut akan jadi proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan, pembangunan pipa tersebut baru bisa selesai 10 tahun mendatang. Sehingga yang akan mengambil keuntungan adalah pabrik pipa.

"Perusahaan pipanya siapa? Dia lagi kan. Proyek ini adalah proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia, yang barangkali Anda butuh 10 tahun menyelesaikan pipa itu yang untungnya sudah gede. Siapa yang punya pabrik pipa? Nah, urut orang-orang yang ngomong tentang onshore itu siapa. Yang ada korelasinya dengan pabrik pipa ini," tuturnya.

Tak hanya itu, mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini juga membeberkan adanya kepentingan dalam pembebasan lahan. Skema pipanisasi atau kilang di darat membutuhkan lahan sekitar 600 hektare (ha) sementara skema floating LNG (offshore) hanya 40 ha.

"Untuk 40 ha aja yang dibutuhkan kalau offshore itu susahnya setengah mati. Dan Anda tunjukkan disitu, siapa penguasa tanah yang ada di sana sekarang. Bergabung lah mereka atas nama nasionalisme, nasionalisme jadi murah sekali di negeri ini," ungkapnya berang.

Ekonom senior Indef ini juga menyinggung sikap Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro yang menyetujui skema onshore untuk pengembangan kilang di Lapangan Abadi. Menurutnya, keputusan tersebut sejatinya bukan atas nama Menkeu sendiri. "Semua sudah rusak. Saya bocorkan isi rapat terbatasnya. Jadi ini kepentingan semua karena para pihak ini punya kepentingan," terangnya.

Diketahui dalam proyek Blok Masela bagi hasil atau split adalah 60 persen untuk pemerintah dan 40 Persen untuk kontraktor setelah dikurangi cost recovery. sementara jalur pipa yang akan dibangun skenario kilang LNG Darat yakni dari Lapangan Abadi ke Pulau Selaru sepanjang 90 Km. Sehingga akan ada pendapatan negara yang akan dikikis untuk biaya cost recovery.

BANTAH KILANG LAUT LEBIH MENGUNTUNGKAN - Menanggapi tudingan Faizal tersebut Tenaga Ahli Bidang Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Dr Haposan Napitulu membantah bahwa proyek pipanisasi Blok Masela ada kepentingan tertentu. Selain itu menurutnya, proyek pipa tersebut bukan merupakan proyek  pipa terpanjang di Indonesia.
Disebutkannya, sebelumnya pernah dibangun jalur pipa gas laut terpanjang lainya. Contohnya, North Bali ke Gresik, Jawa Timur sepanjang 370 Km, Lapangan Kakap Natuna ke Singapura sepanjang 248 Km,  Serta Lapangan Kapodang ke PLTU Tambaklorok di Semarang sepanjang 100 Km.

Haposan juga menjelaskan, bahwa jenis pipa yang akan dipergunakan untuk transportasi  gas di laut adalah jenis pipa khsusus yang dapat menahan tekanan ke dalam air sekian ribu meter, karena posisinya dipasang atau digelar di dasar laut dengan kedalaman sekian ribu meter. Pipa itu khusus untuk dapat menahan tekanan kedalaman itu flexible  untuk menahan arus dasar yang disampaikan konsultan JG Kenney yang sudah melakukan studi jalur pipa atas permintaan kontraktor inpex.

"Jadi sampai saat ini, jenis pipa dengan spek tersebut belum ada diproduksi di Indonesia, sehingga masih impor. Dimana hal itu juga dilakukan di beberapa jalur pipa  gas seperti, Natuna-Singapura, Kangean, Gresik dan lainnya," kata Haposan dalam keterangan diterima gresnews.com, Minggu (24/1).

Menurutnya, jika mengacu kepada biaya LNG laut di Prelude, Australia, maka diperkirakan biaya pembangunan skenario kilang LNG Laut sekitar 23 hingga 26 miliar dolar AS. Sementara untuk biaya pembangunan kilang LNG darat sudah terbangun di Indonesian dan 1 kilang LNG masih tahap perencanaan kilang LNG Tangguh Train 3, dengan biaya sebesar 16 miliar dolar AS ,termasuk biaya pembangunan jalur pipa laut 1,2 miliar dolar AS, kemudian pembangunan FPSO , sekitar 2 miliar AS.

"Secara  keekonomian skemario LNG Laut lebih mahal yang membuat tingginya cost recovery atau semakin berkurangnya  pendapatan bagian negara, ketimbang dengan kilang LNG  darat yang biayanya lebih efisien atau murah," Paparnya.

Dia menyebutkan, tujuan investor membangun kilang LNG Laut bukan karena faktor pendapatannya tergerus, sebagaimana yang disampaikan Faisal Basri, namun untuk mendapatkan cost recovery dengan beberapa alasan.

Haposan menambahkan, riset kilang LNG Laut dilakukan oleh Shell yang saat ini adalah leading player di pembangunan LNG laut. Yang rencananya  akan diimplementasikan untuk pertama kali di dunia di lapangan Prelude, Australia. Dan kilang LNG laut juga akan diimplementasikan juga di Blok Masela, jadi proyek Masela akan menanggung biaya rise yang dikeluarkan oleh Shell.

Haposan juga menyampaikan, peralatan proses kilang LNG Laut hanya dibuat oleh Shell,maka refrigerant-nya  proyek kilang LNG laut di Blok Masela sebagai komponen utama proses LNG hanya disuplai oleh Shell,karena tidak ada pilihan lain.

Sehingga jika memilih kilang LNG laut, maka harga gas  tidak ekonomis lagi apabila digunakan sebagai bahan baku untuk industri petrokimia atau industri lainnya, sebab LNG  lebih mahal  sebesar 5 hingga 6 dolar AS dibanding harga gas alam dari pipa. Sehingga kilang LNG laut terpaksa akan di ekspor keluar, khususnya ke Jepang untuk mengamankan security of supply.

"Pertimbangan persetujuan POD (Plan Of Development) merupakan perkiraan pendapatan bagian negara, jadi dengan lebih tingginya biaya kilang LNG laut  dibanding skenario LNG darat. Maka bagian negara dari skenario LNG Laut, lebih kecil dari kilang darat," ungkapnya.

Tak hanya itu, Haposan juga mengungkap bahwa saat ini telah berkembang spekulan tanah dari Surabaya yang bekerjasama dengan oknum mantan pekerja SKK Migas  bermain menguasai tanah-tanah milik masyarakat  di sekitar Saumlaki Pulau Yamdena dengan asumsi pengembangan gas adalah LNG laut  dengan logistic  Shore Base akan dibangun  di sekitar Saumlaki Pulau Yamdena.

"Kabarnya ada para spekulan tanah tersebut sudah menawarkan ke pihak kontraktor Inpex, jika tanah  yang ditawarkan tidak dijual tapi hanya disewakan, sedangkan jika yang dipilih  skenario LNG darat, namun hingga saat ini tanah di Pulau Selaru masih atas kepemilikan tanah adat," ujarnya. (Agus Irawan)

BACA JUGA: