JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengenaan pungutan dana bonus tanda tangan (signature bonus) terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dipertanyakan dasar hukumnya oleh DPR. Apalagi bonus tandatangan itu juga diberlakukan kepada PT Pertamina (Persero) yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat mengakuisisi pengelolaan Blok Mahakam.  

Komisi VII DPR mempertanyakan dasar hukum dan kegunaan pengenaan bonus tanda tangan (signature bonus) kepada Pertamina Persero guna pengelolaan Blok Mahakam, Kalimantan Timur, sebesar US$41 juta (Rp538 miliar).

Anggota Komisi VII DPR Harry Poernomo mempertanyakan dasar hukum ditariknya bonus tanda tangan tersebut ke dalam kontrak Blok Mahakam. Apalagi besaran bonus itu terbilang sangat fantastis. "Apa kegunaan bonus tanda tangan tersebut, saya tidak tahu dasar hukumnya apa," tanyanya.

Menurutnya, jika hal itu karena amanat undang-undang, bisa jadi undang-undang itu perlu dikaji ulang. Ia juga mempertanyakan asal diperolehnya hitungan besaran US$41 juta, sebab hal itu harus dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat.

"Jangan sampai belum bekerja sudah diminta," kata Harry di Gedung DPR RI dalam rapat dengar pendapat Komisi VII dengan Kementerian ESDM, kemarin.

Harry mempermasalahkan pengenaan bonus tanda tangan tersebut kepada Pertamina yang notabene adalah perusahaan negara dan bukan kontraktor asing. Menurutnya, perlu dikaji ulang alasan pengenaan bonus tanda tangan dibuat. Bila pengenaan pungutan itu diberlakukan untuk kontraktor asing mungkin tak ada masalah. Tapi jika diberlakukan kepada BUMN, apa diperlukan?

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyampaikan, peraturan soal bonus tanda tangan sudah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) sebagai komitmen awal investor baru dalam pengelolaan blok migas.

"Jadi signature bonus merupakan pengganti persiapan-persiapan. Pungutan itu diatur dalam UU Migas kemudian dimasukkan sebagai satu tanda komitmen bahwa investor baru benar-benar memiliki kesungguhan. Nilainya ada di dalam diskusi SKK Migas, Dirjen Migas, serta Pertamina," ujarnya.

Selain itu, mantan bos PT Pindad ini menyebut signature bonus akan dimasukkan ke dalam kas negara dan menjadi bagian dari penerimaan  negara. "Tanda tangan bonus tersebut masuk ke kas negara dan menjadi bagian dari penerimaan negara," jelas Sudirman.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I GN Wiratmaja Puja menyebutkan,  signature bonus aturannya sudah ada dalam UU Migas. Yakni, sebesar satu persen dari sisa cadangan. Namun sisa cadangan itu hitungannya sesuai evaluasi SKK Migas dan telah dibicarakan detail oleh komite.

"Jadi hitungannya sebagai kontrak baru, sebab kontraknya dengan Pertamina, kalau dulu kan dengan Inpex dan Total," ungkapnya.

‎Untuk diketahui, pengelolaan Blok Mahakam oleh Total dan Inpex akan berakhir pada Desember 2017. Namun kelanjutan pengelolaan akan diserahkan kepada Pertamina yang memiliki porsi interest sebesar 100 persen, tetapi pihak Pertamina diberikan waktu oleh pemerintah untuk menjalin kerjasama dengan mitra lainnya dengan porsi maksimal 30 persen.

Namun, hingga kini, Pertamina masih menawarkan kesempatan tersebut kepada Inpex dan Total sebagai operator yang masih berlangsung. 


PUNGUTAN LAIN KONTRAK MIGAS - Selain menjadi ketentuan dalam UU Migas, aturan tentang bonus tanda tangan juga ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Aturan itu diterbitkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 Januari 2012.  

Dalam aturan tersebut, jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di Ditjen Migas antara lain meliputi bonus tanda tangan (signature bonus) yang menjadi kewajiban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan besarannya ditetapkan dalam kontrak kerja sama (KKS).

Hal-hal lain yang termasuk PNBP pada Ditjen Migas antara lain jasa informasi potensi lelang wilayah kerja migas dan gas metana batubara, di mana tarif untuk tiap dokumen lelang sebesar US$ 5.000 (Rp65 juta).

Selain itu, kewajiban finansial atas pengakhiran KKS (terminasi) yang belum memenuhi komitmen pasti eksplorasi. Besarannya ditetapkan berdasarkan jumlah komitmen pasti eksplorasi yang belum dilaksanakan pada saat kontrak kerja sama diakhiri.

Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi yang lebih menguntungkan negara.

BACA JUGA: