JAKARTA, GRESNEWS.COM - Investasi dapat menjadi penggerak perekonomian suatu daerah. Namun agar investasi yang ditanamkan bermanfaat pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan pendukung untuk menarik investasi ke daerah. Tanpa adanya kebijakan pendukung justru dapat merugikan daerah tersebut.

Dosen Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Agus Tony Poputra mengatakan upaya pemerintah menarik investasi ke daerah dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Namun, tanpa kebijakan yang matang upaya investasi yang diharapkan pemerintah justru bisa berakibat daerah tujuan investasi tersebut.

Agus menuturkan terdapat tiga kerugian akibat investasi ke daerah tanpa kebijakan yang matang. Pertama, dapat merusak lingkungan dimana memerlukan biaya besar untuk memperbaikinya. Investasi besar yang masuk ke daerah kebanyakan adalah pertambangan dan perkebunan.

Menurutnya, kedua jenis investasi tersebut memiliki korelasi kuat dengan perusakan lingkungan. Tanpa kebijakan pendukung dan pengawasan yang memadai untuk memitigasi dampak lingkungan dari aktivitas keduanya, maka kerusakan lingkungan merupakan suatu keniscayaan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bencana yang akan diderita oleh masyarakat lokal.

"Demikian juga, biaya yang ditanggung untuk menanggulangi bencana dan normalisasi lingkungan bisa jauh lebih besar dari pendapatan yang telah diterima pemerintah dari investor dalam bentuk pajak, royalti, retribusi, dan lain sebagainya," kata Agus, Jakarta, Senin (27/4).

Kedua, berpotensi menciptakan pengangguran struktural bagi tenaga kerja lokal yang bisa memicu konflik horizontal. Investasi yang masuk ke daerah akan memanfaatkan aset yang dikelola masyarakat. Walaupun masyarakat menerima uang pengganti atas aset tersebut namun mereka kehilangan pekerjaan. Investasi yang masuk dapat saja mensyaratkan ketrampilan yang tidak dimiliki tenaga kerja lokal sehingga lapangan kerja baru yang terbuka akan diisi oleh warga pendatang.

Dia mencontohkan pada kegiatan pertambangan, tenaga kerja lokal yang terserap sangat sedikit dan itupun untuk mengisi formasi bawah, seperti satpam dan pekerja kasar. Kondisi ini memicu kecemburuan yang sering menjadi penyebab konflik horizontal.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di daerah tidak tercapai. Pada beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki banyak aktivitas pertambangan justru memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Bahkan sampai kegiatan pertambangan selesai tidak ada kontribusi berarti yang dinikmati daerah dan sekedar menciptakan "daerah-daerah hantu". Penyebabnya kebanyakan pasokan untuk aktivitas pertambangan dan kebutuhan pekerja didatangkan dari luar daerah dan dana yang diperoleh perusahaan kebanyakan ditempatkan di pusat atau di luar negeri.

"Dana yang kembali ke daerah terutama hanya berupa penghasilan untuk pekerja lokal. Hal ini mengakibatkan dana perusahaan tidak menjadi sumber pembiayaan bagi perbankan di daerah," kata Agus.

Oleh karena itu, Agus mengusulkan beberapa tindakan dan kebijakan yang perlu diambil pemerintah untuk meminimalkan dampak merugikan dari investasi di daerah. Pertama, pemerintah jangan memaksakan diri untuk menarik ataupun menerima investasi dalam bidang pertambangan ataupun perkebunan jika potensi yang dimiliki daerah tidak terlalu besar ataupun berbenturan dengan kegiatan usaha yang telah dilakoni masyarakat ataupun pengusaha lokal. Ini akan mendatangkan mudharat yang lebih besar ketimbangan manfaat bagi daerah.

Kedua, pemerintah perlu membenahi kebijakan dalam bidang perlindungan lingkungan dari aktivitas ekonomi  yang merusak disertai pengawasan yang lebih baik. Di samping itu perlu memperketat perizinan dalam bidang pertambangan termasuk mengevaluasi izin usaha pertambangan yang telah dilimpahkan ke daerah. Disinyalir pelimpahan wewenang tersebut telah menimbulkan kesulitan dalam mengendalikan aktivitas pertambangan di daerah.

"Ini mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan tanpa ada pihak yang bertanggung jawab, penggelapan pajak dan royalti, serta tumpang tindih lahan pertambangan dan perambahan wilayah hutan," kata Agus.

Ketiga, perlunya pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang sesuai dengan sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini sangat kritikal agar  lebih banyak masyarakat lokal yang memiliki ketrampilan dan dapat terlibat dalam aktivitas bisnis yang dilakukan investor di daerah. Dengan demikian, dapat mengurangi pengangguran struktural serta menurunkan angka kemiskinan.

Ujungnya dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah serta mengurangi potensi konflik horizontal. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa daerah yang kaya sumber daya pertambangan seperti Papua, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi hampir tidak dijumpai sekolah kejuruan, politeknik, maupun balai latihan yang berbasis pertambangan.

Keempat, pemerintah perlu memperkuat pola “inti-plasma” di sub sektor perkebunan, peternakan, dan perikanan. Ini dibutuhkan untuk menyelaraskan kepentingan investor dengan masyarakat agar keberadaan investasi di daerah.

"Hal itu dapat bermanfaat bagi masyarakat dan mengurangi masalah antara masyarakat dengan perusahaan," kata Agus.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengungkapkan berdasarkan arahan dari Presiden Jokowi, pemerintah saat ini menekankan perlunya membangun dari pinggiran warga negara yang ada di pedesaan dan tempat jauh dari pusat kota. Kemudian meningkatkan pembangunan yang salah satunya pembangunan manusia, dimana menjadikan semagat revolusi mental sebagai pedoman menjalankan program ke depan.

Untuk membangun pinggiran warga negara yang ada di pedesaan dan tempat jauh dari pusat kota, Kementerian ESDM akan meningkatkan sumber-sumber energi yang ada di daerah masing-masing salah satunya energi baru terbarukan. Misalnya daerah Sukabumi kaya akan sumber angin, kemudian di daerah lain memiliki sungai yang banyak kedepannya dibangun pembangkit mikro hydro.

Dia menuturkan potensi energi hydro dengan membentuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mampu menghasilkan listrik sebesar 75 GigaWatt, kemudian tenaga surya mampu menghasilkan tenaga listrik dalam waktu lima tahun ke depan sebesar 123 GW, energi laut menghasilkan listrik sebesar 60 GW.

"Pasar energi baru terbarukan belum terbentuk, demand belum terbentuk. Jadi harus habis-habisan. Bagaimana politik anggaran, bagaimana leadership ditumbuhkan untuk membangun energi baru terbarukan," kata Sudirman.

BACA JUGA: