JAKARTA, GRESNEWS.COM – Program swasembada pangan pemerintah yang ditargetkan tercapai 2017 seharusnya ditempuh dengan memperbaiki kebijakan-kebijakan strategis. Diantaranya memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dengan ketersediaan lahan produksi pangan yang terus berkurang.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Pada 2000, laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,25 persen atau 206 juta jiwa. Pada 2006, jumlah penduduk mencapai 222 juta jiwa dan pada 2010, telah mencapai 237 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49 persen.

BPS pun memproyeksikan jumlah penduduk pada 2015 sebanyak 255 juta jiwa, sedangkan tahun 2020 sebanyak 271 juta jiwa, dan 2025 sebanyak 284 juta jiwa. Gresnews.com mencoba mencari tahu bagaimana kondisi ketersediaan luas lahan pertanian di satu sampel daerah berdasarkan data dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah. Ternyata kondisinya berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang terus meningkat.

Untuk penyusutan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, saja terus bertambah dari tahun ke tahun. Luas lahan sawah pada 2002 adalah 33,636 Ha lalu tahun tersebut terjadi penyusutan luas lahan sawah sebesar 34 Ha. Penyusutan lahan terus terjadi tahun 2004 sebesar 95 Ha dan 2007 sebesar 106 Ha.

Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan pemerintah tidak serius untuk mewujudkan program swasembada pangan sesuai nawacita Presiden Jokowi. Targetnya Indonesia akan swasembada pangan untuk komoditas beras, jagung, kedelai, dan daging pada 2017.

"Kenyataannya, kita sudah memasuki pertengahan 2015 dan impor malah bertambah. Impor daging sapi dan kedelai," ujar Viva saat dihubungi gresnews.com, Jumat (28/8).

Lalu Viva berpendapat pemerintah tidak memiliki grand design untuk program swasembada pangan ini. Padahal ada fakta pertambahan penduduk dan berkurangnya lahan tanam. Ia mencontohkan kebutuhan daging sebanyak 60 persen ada di Jabodetabek. Seharusnya pemerintah membangun sentra-sentra peternakan di Jawa Barat. Sebab prinsipnya mendekatkan sentra konsumen dengan produsen untuk kurangi cost.

Tapi itu malah tidak dilakukan. Ia berpendapat tanah di Indonesia sebenarnya luas dan sudah seharusnya pemerintah mendirikan sentra produksi jagung, daging, beras dan gula. Kalau ada sentra tersebut, produknya bisa terdistribusi sesuai potensi di daerah masing-masing. Tapi karena semua belum juga dilakukan pemerintah, program swasembada dianggap hanya sebagai pemanis bibir (lips service).

HARGA TAK TERKENDALI - Menurutnya, pemerintah saat ini justru melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sebab pemerintah tidak mampu mengendalikan harga dan pasokan.

Padahal pemerintah wajib untuk mengendalikan harga dan wajib menyediakan keterjangkauan pangan. Hilangnya daging sapi beberapa waktu lalu menurutnya menunjukkan pemerintah tidak melaksanakan UU.

Viva menuturkan soal kelangkaan daging sapi, pemerintah tidak bisa menyalahkan masyarakat peternak sapi. Sebab 70 persen masyarakat peternak sapi cenderung menyimpan sapinya menjadi tabungan untuk peristiwa penting tertentu seperti kebutuhan sekolah atau pernikahan anak.

Swasembada pangan tidak hanya menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan saja. Tapi juga swasembada juga menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Kehutanan. Sehingga pengaturannya harus terintegrasi. Jadi pemerintah jangan hanya fokus untuk sektor produksi pangannya saja. Tapi pemerintah juga harus memberikan perhatian praproduksi.

Ia mencontohkan pemerintah harus memikirkan praproduksi seperti bagaimana lahan tanam, air untuk irigasi, ketersediaan pupuk, benih, dan infrastrukturnya. Untuk mewujudkan swasembada pangan, Viva berpendapat pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan di sektor-sektor pangan.

Misalnya soal lahan dan ketersediaan pangan. Lalu pemerintah juga harus mengubah paradigma kebijakan konvensional ke aplikatif dan sesuai perkembangan modern. Semua hal di atas menurutnya harus dipertimbangkan pemerintah. Sebeb ketika suatu negara tidak kuat untuk memenuhi kebutuhan pangannya, tentu juga akan tidak kuat secara politik karena untuk memenuhi pangan saja harus mengimpor.

KETERSEDIAAN LAHAN - Ia menambahkan sulit untuk mewujudkan swasembada bila yang terjadi penurunan luas lahan tanam. Luas lahan tanam berkurang akibat alih fungsi lahan produktif untuk industri. Lalu terjadi degradasi tanah dan lahan yang tadinya subur menjadi tidak subur. Selanjutnya, politik anggaran untuk swasembada pangan juga masih kecil jumlahnya.

Menurut Viva, petani dan nelayan identik dengan masyarakat miskin. Sebab kepemilikan lahannya hanya 0,3 ha per kepala keluarga. Berbeda dengan petani-petani di luar negeri yang satu kepala keluarganya memiliki lahan pertanian hingga 5 ha. Ia pun mempertanyakan program Jokowi yang akan memberikan tanah sebanyak 2,5 ha bagi petani. "Mana? Hanya ngomong doang kan," tutur Viva.

Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kurniawan Sabar menuturkan untuk lahan pertanian produktif saja ternyata banyak yang dialihfungsikan atau tercemar dengan produksi tambang. Misalnya di Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Jambi.

"Daerah tersebut menjadi tempat industri tambang batubara yang merupakan industri ekstraktif dalam penguasaan kawasan hutan," ujar Kurniawan saat dihubungi gresnews.com, Kamis (27/8).

Menurutnya, industri ekstraktif merupakan salah satu aktor besar untuk pelepasan kawasan hutan menjadi tambang. Ketika kawasan industri tambang dibuka tentunya akan berdampak pada deforestasi hutan. Lalu ketika di hutan bersangkutan masih ada hak masyarakat petani yang dirampas di areal konsesi, tentu akan menghilangkan hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber penghidupannya.

Ia menuturkan perusahaan-perusahaan industri ini bisa masuk ke kawasan hutan biasanya juga tanpa melalui prosedur pelibatan proses Amdal dan izin lingkungan hingga akhirnya bisa keluar izin usaha. Jadi adanya industri ini berpengaruh selain mengancam berkurangnya luas areal lahan juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar hutan yang kebanyakan berprofesi dengan bertani atau berkebun.

BACA JUGA: