JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hampir semua pelaku usaha perkebunan, tambang, dan properti menggunakan lahan melebihi luas dari izin yang diberikan. Untuk itu, perlu dilakukan audit terhadap luas dan kegunaan tanah untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan praktek-praktek ilegal pemberian tanah.

"Contohnya, jika izin yang diberikan 10.000 hektare maka faktual lahan digunakan bisa jauh di atas izin itu, bisa mencapai 12.000 hektare," kata Adian Napitupulu, anggota DPR RI Komisi II Fraksi PDI Perjuangan, dalam pesan singkat yang diterima Gresnews.com, Selasa (2/6).

Kelebihan lahan ini banyak menimbulkan dampak negatif. Salah satunya rawan menimbulkan sengketa dengan penduduk. Selain itu, kelebihan lahan ini juga tidak pernah dibayar pajaknya, sehingga perlu dilakukan audit tanah guna menghentikan kerugian negara.

"Banyak penggunaan tanah ternyata tak sesuai dengan izin yang diberikan, jadi harus ada audit seluruh izin serta fungsi tanah itu," katanya.

Jika ditemukan pelanggaran-pelanggaran terkait izin lahan, baik luas maupun fungsinya maka pemerintah dapat melakukan langkah hukum untuk meminta pembayaran pajak atas kewajiban pajak yang digunakan sejak belasan tahun. Kelebihan tanah dapat dikembalikan ke rakyat melalui negara untuk dikelola menjadi lahan pertanian atau perkebunan sebagai upaya menciptakan kemandirian pangan sesuai dengan program Nawa Cita dan Trisakti.

Ia mencontohkan, apabila terdapat 4000 izin perkebunan, tambang, dan properti skala besar masing-masingnya menggunakan rata-rata sekitar 1000 hektar lahan diluar izin maka negara bisa menambah 4 juta hektare untuk pertanian tanpa membuka lahan dan jalur transportasi baru.

"Pemerintah dapat meningkatkan pendapatan pajak, meningkatkan luas pertanian tanpa membuka lahan baru, menghemat biaya pembukaan lahan, dan jalur transportasi baru," katanya.

Tak hanya itu, persoalan kasus  agraria pun akan banyak terselesaikan dan akan banyak jutaan lapangan kerja baru terbuka. Jika untuk membuka 1 hektare lahan dan jalan dibutuhkan biaya Rp2 miliar maka dengan audit ini pemerintah bisa hemat Rp8 triliun.

"Belum lagi tambahan beberapa triliun dari pajak yang tak dibayar belasan tahun. Semua itu bisa dilakukan dengan 5 lembar kertas berisi Keppres," katanya.

Sementara itu Pengkampanye Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi terdapat lebih 57 juta hektare daratan Indonesia dalam penguasaan korporasi. "Audit seharusnya tidak hanya melihat ada izin atau tidak, tetapi mesti memeriksa kualitas dari izin itu sendiri," katanya kepada Gresnews.com, Selasa (2/6).

Maraknya perizinan menjelang pilkada dan pemilu merupakan indikator yang dapat dijadikan pintu masuk membongkar praktek legitimasi penguasaan tanah dan penghancuran lingkungan melalui perizinan. Setelah itu, penting juga untuk membongkar praktek operasi dan produksi perusahaan-perusahaan pemegang konsesi.

"Lihat mereka mematuhi perizinan, UU tidak? Apakah merusak lingkungan? Apakah bebas dari konflik dengan masyarakat?" tanyanya.

Namun yang terpenting bagi DPR sebagai lembaga legislasi, harus memeriksa regulasi yang dijadikan payung eksekutif mengobral perizinan. "Karena justru peningkatan eksploitasi dan praktek land banking marak akibat regulasi sektoral berbasis komoditi yang diproduksi DPR," katanya.

BACA JUGA: