JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum serta PT Aneka Tambang Tbk (Antam) akan mendirikan perusahaan patungan perusahaan bersama Alumunium Coorporation of China Ltd. Mereka akan membangun pabrik Smelter Grade Alumina (SGA) di Mampawah, Kalimantan Barat.

Direktur Utama Inalum Winardi Sunoto mengatakan pada tahap awal, kepemilikan saham perusahaan patungan bernama PT Inalum Antam Alumina (IAA) itu bakal digenggam China sebesar 55 persen. Sedangkan 45 persen sisanya akan dimiliki bersama oleh Inalum dan Antam.

Winardi menjelaskan, setelah itu diharapkan komposisi kepemilikan saham berubah menjadi mayoritas milik dalam negeri. "Jadi kami harapkan seperti itu, menjadi pemegang saham mayoritas, kami usahakan semaksimal mungkin dalam negeri, kami masih belum ada tender Engineering, Procurement Construction (EPC), siapa yang menang kan kita belum tahu," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (14/4).

Namun kendati dia mengaku saham dipegang domestik, sebagian besar pembiayaan dilakukan oleh China. Dari hasil produksi smelter tersebut, akan digunakan untuk memasok bahan baku bagi pabrik Inalum di Australia dan India. Kemudian di dalam smelter patungan tersebut Antam akan memasok bauksit yang dibutuhkan.

Sementara, di antara Inalum dan Antam, porsi Inalum akan lebih besar dibandingkan dengan Antam yakni 60 persen dan 40 persen. "Kemarin kami sudah lakukan joint venture agreement dengan Antam dimana Inalum mengambil porsi 60 persen di situ, dan saat ini sedang review dengan China, selanjutnya tinggal tender," katanya.

Winardi mengungkapkan, saat ini Inalum memiliki kapasitas peleburan aluminium sebesar 250 ribu ton Aluminium ingot per tahun yang membutuhkan minimal 500 ribu ton alumina per tahun. Inalum berencana untuk meningkatkan kapasitas menjadi 500 ribu ton aluminium per tahun pada 2020 yang membutuhkan minimal 1 juta ton Alumina per tahun sebagai bahan baku.

Winardi melanjutkan, pembangunan SGA ‎akan memakan waktu 2,5 tahun. Pembangunan SGA diperkirakan rampung awal 2019, untuk tahap awal akan menghasilkan 1 juta ton alumina, kemudian akan meningkat menjadi 2 juta ton. Mayoritas hasil produksi tersebut akan diolah pada pabrik Inalum yang saat ini masih mengimpor alumina.

DOMINAN INVESTOR CHINA - Menanggapi terkait kepemilikan saham mayoritas patungan bernama PT Inalum Antam Alumina (IAA), Direktur EKsekutif ReforMiner Intitute Komaidi Notonegoro mengatakan, semakin besar porsi saham untuk dalam negeri akan semakin baik. Arah kendali kebijakan tetap ada di negara lewat tangannya yaitu BUMN.

"Terkait sumber pendanaan saya kira ini pasar bebas, siapapun yang cocok dan ketemu kepentingan bisnisnya silakan masuk, kebetulan saja China yg belakangan banyak masuk," kata Komaidi, Kamis (14/4).

Komaidi menilai tidak menutup peluang negara lain yang tertarik dalam saham kepemilikan saham perusahaan patungan bernama PT Inalum Antam Alumina (IAA) bakal turut serta berpartisipasi.

Sebagai diketahui, proyek smelter ini dijadwalkan akan berlangsung selama 30 bulan dan diharapkan selesai pada kuartal IV 2019. Pada tahap awal, kapasitas smelter tersebut sebesar satu juta SGA per tahun dan akan meningkat menjadi dua juta SGA per tahun.

KILAS BALIK INALUM - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah menjadi milik Indonesia sepenuhnya. Perusahaan ini sebelumnya selama tiga puluh tahun sahamnya "dikuasai" Jepang.

Seperti yang dikutip dari laman www.inalum.co.id pada Jumat (15/4), perusahaan ini berawal dari kegagalan pemerintah Belanda menghasilkan tenaga listrik dari Danau Toba. Ini yang membuat pemerintah Indonesia membuat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di sungai tersebut.

Pada 1972, pemerintah menerima laporan studi kelaikan proyek PLTA dan Aluminium Asahan dari sebuah perusahaan konsultan Jepang, Nippon Koei. Laporan tersebut, menyebutkan bahwa PLTA layak untuk dibangun dengan sebuah peleburan aluminium sebagai pemakai utama dari listrik yang dihasilkannya.

Lalu, pada 7 Juli 1975 di Tokyo, Pemerintah Republik Indonesia dan 12 perusahaan penanam modal dari Jepang menandatangani perjanjian induk untuk PLTA dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan yang kemudian dikenal dengan Proyek Asahan. Perusahaan tersebut adalah Sumitomo Chemical Company Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd., Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., dan Mitsui & Co., Ltd.

Selanjutnya, untuk penyertaan modal pada perusahaan yang akan didirikan di Jakarta, 12 Perusahaan Penanam Modal tersebut bersama pemerintah Jepang membentuk sebuah perusahaan dengan nama Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada 25 November 1975.

Pada 6 Januari 1976, Inalum, sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd, didirikan di Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan Perjanjian Induk.

Perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd., (NAA) pada saat perusahaan didirikan adalah saham pemerintah sebesar 10 persen dan saham NAA 90 persen. Pada Oktober 1978, perbandingan tersebut menjadi 25 persen dan 75 persen dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13 persen dan 58,87 persen. Sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12 persen dan 58,88 persen.

Untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian induk, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan SK Presiden No. 5/1976 yang melandasi terbentuknya Otorita Pengembangan Proyek Asahan sebagai wakil Pemerintah yang bertanggung jawab atas lancarnya pembangunan dan pengembangan Proyek Asahan.

Inalum sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang industri peleburan aluminium dengan investasi sebesar 411 miliar yen.

Seperti diketahui bahwa berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kepemilikan Indonesia atas saham Inalum adalah sebesar 41,13 persen, sedangkan Jepang menguasai 58,87 persen saham yang dikelola Konsorsium Nippon Asahan Alumunium (NAA).

Secara de facto, perubahan status Inalum dari PMA menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013 sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Induk. Pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9 Desember 2013, dan secara de jure Inalum resmi menjadi BUMN pada 19 Desember 2013 setelah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium. PT INALUM (Persero) resmi menjadi BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2014.

Konsorsium ini beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang mewakili pemerintah Jepang dan mendapat porsi 50 persen saham. Sisanya dimiliki 12 perusahaan swasta Jepang. Menurut perjanjian, kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013.

BACA JUGA: