JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mengambil kebijakan mengejutkan dengan memberikan rekomendasi izin ekspor tanpa syarat pembayaran dana jaminan US$ 530 juta pada PT Freeport Indonesia. Tentu saja kebijakan itu mengundang kritik dari banyak pihak.

Salah satunya datang dari Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) Teguh Juwarno. Ia mengatakan seharusnya pemerintah tidak serta merta memberikan izin dengan tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

"Kalau seperti ini, menunjukkan kita tidak mempunyai wibawa dan posisi tawar yang cukup. Jika Freeport mau, Newmont, Exxon dan siapapun di saat berusaha di negeri ini harus patuh kepada UU di negeri ini," kata Teguh saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (11/2).

Dia menjelaskan, walaupun posisi PAN kini sebagai partai pendukung pemerintah, namun itu bukan berarti PAN mendukung kebijakan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. "Kami ingin memberikan dukungan moril agar pemerintah mempunyai ketegasan, jangan sampai pada akhirnya sikap kita ini dimanfaatkan terus oleh Freeport," katanya.

Sementara itu Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (PP) Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalla mengatakan pemberian izin eskpor konsentrat pada Freeport adalah bentuk ketidakadilan kepada pelaku industri.

"Jadi dispensasi ini jangan berlebihan karena menimbulkan ketidakadilan bagi perusahaan lain, persepsi terbentuk telah ada diskriminasi harus dihentikan," kata Bahlil dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (11/2).

Menurutnya, apabila Freeport mendapat rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat karena alasan kesulitan keuangan perusahaan pemerintah harus adil, sebab perusahaan tambang lain juga mengalami kesulitan yang sama.

Bahkan, Bahlil mengaku, jika perusahaan tambang nasional banyak juga yang membangun instalasi pemurnian dan pengelolaan mineral (smelter) sesuai amanat dalam (UU Minerba) tapi tak meminta keistimewaan. "Kalau alasannya karena masalah likuiditas, kami juga merugi terus, kenapa Freeport malah mendapatkan dispensasi terus dari Menteri ESDM. Ini yang belum kita pahami, mohon dijelaskan," katanya.

HIPMI juga meminta kepada pemerintah bersikap tegas kepada perusahaan asal Amerika dan berlaku adil kepada seluruh pelaku industri. Ia meminta hentikan dispensasi ekspor konsentrat Freeport karena dengan sikap tersebut bisa menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan bagi pengusaha lokal dan perusahaan asing lainnya.

Pengamat tambang Komaidi Notonegoro mengatakan seharusnya pemerintah konsisten dengan amanat UU Minerba mengenai masalah pemurnian dan pengelolaan (smelter). "Pemerintah harusnya konsisten," kata Komaidi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, kepada gresnews.com, Kamis (11/2/16) malam.

Ia pun menjelaskan, dalam hal pengelolaan smelter, pemerintah daerah Papua tak memiliki kewenangan dalam hal pengambilan keputusan di pertambangan Freeport. "Daerah sifatnya hanya koordinasi dalam pengelolaan dan dana bagi hasilnya. Asal pemerintah pusat konsisten saya kira masyarakat Papua relatif dapat menerima," katanya.

PERPANJANGAN IZIN - Tiga hari lalu, Kementerian ESDM telah memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan jangka waktu enam bulan ke depan dengan kuota satu juta ton. Sementara Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin ekspor Rabu, 10 Januari 2016.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan rekomendasi tersebut diberikan karena Freeport telah merespon dan bersedia memenuhi bea keluar yang ditetapkan pemerintah sebesar lima persen.

Ia menambahkan pihaknya yakin bahwa Freeport akan memenuhi target pembangunan smelter, karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sudah mengeluarkan setoran sebesar US$ 168 juta walaupun kewajiban pembangunan smelter sebesar 60 persen belum tercapai.

"Dana US$ 530 juta itu, karena usaha pemerintah untuk membuat keyakinan bahwa Freeport tetap membangun smelter. Sementara, kalau yang lima persen bea keluar harus dipenuhi," ujar dia.

Dari informasi yang dihimpun, izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia telah habis masa berlakunya pada 28 Januari 2016 lalu. Izin ini belum diperpanjang, karena Kementerian ESDM memberikan syarat pembayaran dana jaminan US$ 530 juta, jika Freeport ingin memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaganya.

Dana tersebut syarat sebagai bukti komitmen Freeport membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral di Indonesia atau smelter. Dikarenakan, Freeport dianggap belum menjalankan kewajibannya membangun smelter dengan baik.

Namun, Menteri ESDM Sudirman Said akhirnya membatalkan syarat setoran US$ 530 juta tersebut, Freeport hanya diwajibkan membayar bea keluar (BK) sebesar lima persen untuk melakukan ekspor.

"Kemendag sudah mengeluarkan izin ekspor untuk Freeport. Yang diwajibkan kalau smelter belum selesai adalah BK, itu yang paling wajib," kata Sudirman, ditemui usai Bali Clean Energy Forum, di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/2).

Ia menjelaskan, syarat setoran US$ 530 juta tidak ada dalam peraturan. Kemampuan keuangan Freeport saat ini juga tidak memungkinkan untuk membayar setoran sebesar itu. Maka dirinya membatalkan syarat tersebut, dan meminta Freeport mengajukan bukti lain saja untuk menunjukkan komitmennya melaksanakan hilirisasi mineral di Indonesia.

Saat ini, Freeport dan Kementerian ESDM masih bernegosiasi, terkait syarat yang harus dipenuhi Freeport untuk menunjukkan komitmen pembangunan smelter. "Kita duduk cari solusi apa yang bisa jadi bentuk pengganti itu," katanya.

Sebagai informasi, kewajiban membangun smelter merupakan implementasi turunan dari UU Minerba. Dalam beleid tersebut pemerintah melarang adanya kegiatan ekspor untuk beberapa komoditas termasuk konsentrat tembaga, emas dan perak yang diproduksi Freeport.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Freeport masih diperbolehkan mengekspor konsentrat dengan memenuhi sejumlah prasyarat. Selain administratif, perusahaan ini juga harus melaporkan kemajuan proyek smelternya dengan perkembangan paling sedikit 60 persen dari target pembangunan setiap enam bulan sekali. (dtc)

BACA JUGA: