JAKARTA,GRESNEWS.COM - Empat tahun sudah berlalu, revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) belum juga rampung digodok oleh DPR. Banyak pihak berharap adanya perbaikan iklim investasi dengan revisi UU migas tersebut. Sejumlah pihak pun merasa perlu memasukan aspek tata kelola (governance) yang baik dalam manajemen BUMN Migas dalam revisi UU Migas. Penerapan aspek governance yang mengedepankan aspek transparansi dan akuntabilitas dari BUMN itu sendiri penting untuk diperbaiki dan ditingkatkan agar pengelolaan migas nasional dapat sesuai dengan amanat konstitusi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) masih terjadi disektor migas, hal tersebut tentunya telah membuat pendapatan negara tidak optimal. Untuk dapat menghindari KKN yang terus berulang, maka pengelolaan SDA migas perlu dijalankan dengan penguatan aspek governance melalui tata kelola yang baik oleh pemerintah (good governance) maupun oleh BUMN (good corporate governance, GCG).

Peraturan yang ada saat ini yaitu Peraturan Menteri BUMN No. 01/MBU/2011 dianggap tidak cukup mengakomodir pelaksanaan kelola migas, dibutuhkan hirarki yang lebih tinggi seperti Undang-undang untuk memayungi sektor migas.

Pakar energi kelistrikan dan mantan Dirut PLN Nur Pamudji menyatakan jika BUMN yang ada menjalankan prinsip GCC, maka BUMN tersebut akan menjadi kredibel saat perusahaan lain akan bekerja sama atau melakukan relasi bisnis. Hal ini juga berdampak pada perusahaan maupun investor yang akan memiliki trust, sehingga percaya diri untuk melakukan aksi-aksi korporasi selanjutnya. Oleh karena itu, aspek governance pada lembaga pemerintah seperti KESDM atau SKK Migas, maupun BUMN seperti Pertamina dan PLN, perlu tertuang dalam regulasi tertulis, sehingga semua orang di dalam atau di luar institusi dapat mempelajari.

"Perusahaan akan tertarik untuk berinvestasi jika GCG di sektor Migas itu dijalankan dengan baik," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (31/10).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan GCG Pertamina adalah dengan menjadikannya sebagai perusahaan terbuka bagi publik dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Untuk tetap mempertahankan agar 100 persen saham Pertamina atau BUMN yang lain tetap dimiliki negara ialah dengan mengatur statusnya secara khusus. Dengan mengatur secara khusus, maka BUMN seperti Pertamina ataupun PLN dapat ditetapkan sebagai non-listed public company (NLPC).

"DPR dan Pemerintah perlu membuat aturan khusus NLPC tersebut dalam UU Migas yang baru," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Andang Bachtiar selaku anggota Dewan Energi Nasional (DEN), ia berharap pemerintah dan DPR lebih serius dalam memperhatikan penetapan kebijakan dan aturan yang khusus terkait kegiatan eksplorasi migas. Hal ini penting dilakukan agar negara dapat menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. Ia juga berpendapat BUMN yang mengelola Migas seperti Pertamina harus diberi peran khusus untuk mengelola dana migas (petroleum fund), sehingga dapat mendukung kegiatan eksplorasi yang berefek meningkatnya cadangan migas nasional.

"Dalam 3-4 tahun ke depan, BUMN migas kita juga harus siap untuk melanjutkan pengelolaan sekitar 20 kontrak migas yang akan berakhir," ujar Andang Bachtiar, Senin, (31/10).

Dalam kondisi tersebut, sangat penting bahkan mendesak aspek GCG Pertamina dalam UU Migas yang baru. Ditambah maraknya intervensi dari pihak-pihak di luar Pertamina atau lembaga lainnya sehingga berpotensi menimbulkan KKN, serta telah menghambat kemajuan di sektor Migas khususnya BUMN dan optimasi penerimaan negara. Dalam Penerapannya, GCG memerlukan pelaksanaan peratutran yang konsisten dan tidak berubah-ubah. Maka pelanggaran terhadap prinsip GCG harus dikenakan sanksi hukum.

"Itulah pentingnya GCG masuk UU, agar ketika ada pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum," tegasnya.

Sementara itu, Sa´id Didu selaku mantan sekretaris Menteri BUMN menyatakan bahwa dalam penerapan prinsip governance dalam pengelolaan migas ada berapa hal yang harus diperhatikan. Antara lain ialah aset sumber daya migas harus bisa dimonetisasi atau dikonversi sehingga memiliki nilai jual yang lebih. Peran operator dan regulator migas juga dibuat tetap terpisah sehingga negara harus memiliki operator migas yang kuat.

Said juga mengatakan setiap risiko bisnis migas harus berhenti di korporasi dan jangan sampai melibatkan melibatkan pemerintah atau negara. Untuk maksud tersebut, DPR dan pemerintah yang saat ini masih mengerjakan revisi UU Migas dapat memanfaatkan kajian dan proposal tentang NLPC yang telah dilakukan oleh Kementerian BUMN periode 2004-2009.

"Itulah alasannya kenapa aspek GCG menjadi sangat penting diatur," ungkapnya, Senin (31/10).

Oleh karena itu, ia sangat bersepakat pentingnya pemerintah menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam pengelolaan migas nasional serta ketentuan-ketentuannya harus dituangkan dalam UU Migas yang baru nanti. Selain itu, mengingat peran Pertamina yang strategis sebagai pengelola sektor migas nasional, maka ia mendukung agar dibuatnya aturan khusus tentang GCG Pertamina berupa NLPC, yaitu perusahaan yang terdaftar di bursa dan terbuka untuk publik, namun seluruh kepemilikan sahamnya tetap dimiliki oleh negara.

Perlu diketahui, melalui Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012, BUMN telah ditetapkan sebagai lembaga yang mewakili pemerintah dalam mengelola aset sumber daya alam milik negara pada sektor strategis dan menyangkut hajat hidup rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Dengan wewenang BUMN strategis tersebut, maka Pertamina misalnya, akan menjadi pengelola aset atau kustodian atas cadangan terbukti minyak sebesar 3,6 miliar barel dan cadangan terbukti gas 141 TCF.

"Pengelolaan aset migas oleh Pertamina tersebut harus diiringi pula dengan peningkatan aspek GCG di internal Pertamina," tegasnya.

PERBAIKI IKLIM INVESTASI - Cadangan terbukti minyak Indonesia saat ini tinggal 3,6 miliar barel. Setiap tahun, kurang lebih 300 juta barel disedot. Kalau tak ada penemuan cadangan baru, produksi minyak Indonesia akan habis 12 tahun lagi. Gas juga demikian meski masih lebih baik dibanding minyak. Pada 2031, PT Pertamina (Persero) memperkirakan bahwa Indonesia sudah menjadi net importir gas Bahkan impor gas kemungkinan sudah mulai dilakukan pada 2019.

Maka kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru harus digiatkan. Indonesia harus mendorong investor-investor untuk mencari migas di cekungan-cekungan yang lokasinya di laut dalam itu. Tetapi masalahnya, sekarang perusahaan-perusahaan migas enggan melakukan eksplorasi di Indonesia. Banyak pajak dan regulasi yang menyulitkan investor. Menurut SKK Migas, Indonesia termasuk dalam 13 negara dengan iklim investasi hulu migas terburuk di dunia.

Sekarang yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat iklim investasi di sektor hulu migas Indonesia atraktif. Salah satunya lewat revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang sekarang sedang diupayakan oleh pemerintah dan DPR.

Kepala Divisi Humas SKK Migas, Taslim Z Yunus, dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (29/10) menegaskan UU Migas harus bisa menjawab tantangan ke depan yakni ketahanan dan kedaulatan energi bangsa Indonesia. UU Migas yang baru harus membuat sistem kontrak, perpajakan, kelembagaan, dan perizinan yang ramah untuk investor, baik lokal maupun asing. Taslim menuturkan, saat ini perizinan untuk eksplorasi migas di Indonesia terbagi di ´banyak atap´, ini salah satu masalah yang perlu benar-benar diperhatikan.

Contohnya untuk mencari data cadangan migas, investor harus ke Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM, lalu lelang wilayah kerja (WK/blok) migas dilakukan oleh Ditjen Migas Kementerian ESDM, tapi investor berurusan dengan SKK Migas untuk kontrak-kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC).

"Mestinya satu atap, jangan banyak atap. Akhirnya komitmen eksplorasi jadi nggak jalan. Kami usul dibuat jadi 1 atap dan dikelola 1 entitas bisnis supaya lebih efektif dan efisien," tegasnya.

Sebelumnya anggota Komisi VII DPR, Zulkieflimansyah, mengatakan bahwa kehadiran asing di industri hulu migas Indonesia memang masih diperlukan. Maka revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), yang sekarang sedang diupayakan pemerintah dan DPR, tak boleh dilandasi oleh semangat anti asing.

Tapi juga tak boleh terlalu liberal, harus tetap menjaga kepentingan nasional. "Untuk industri-industri tertentu, kita membutuhkan asing. Jangan ekstrim terlalu liberal, tapi juga jangan ekstrim anti asing," pungkasnya.

Perusahaan-perusahaan asing seperti Exxon, Statoil, Talisman sudah menginvestasikan uang sebesar US$ 3,99 miliar alias Rp 52 triliun selama periode 2002-2016 untuk eksplorasi migas di Laut Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua. Investasi itu tak akan kembali alias hilang begitu saja karena tak berhasil menemukan cadangan migas yang cukup ekonomis untuk diproduksi. (dtc)

 

BACA JUGA: