JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pekan lalu, surat CEO Freeport-McMoRan Inc, Richard Adkerson Surat bertanggal 28 September 2017 itu intinya kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Hadiyanto bocor dan beredar. Isinya berupa penolakan PT Freeport Indonesia pada proposal pemerintah soal divestasi 51% saham.

Bukan hanya berani menolak skema divestasi, Freeport juga menuntut perjanjian stabilitas investasi untuk keberlangsungan tambangnya paska perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sikap pemerintah yang semula nampak gagah dimata publik, entah mengapa berputar haluan sampai mengakomodasi keinginan Freeport dengan menyiapkan pijakan hukum berupa rancangan peraturan pemerintah (rpp) untuk mendukung usulan stabilitas investasi.

Isi rpp tersebut salah satunya memberikan perlakukan khusus sistem perpajakan Freeport dengan IUPK. Misalnya tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25% lebih rendah dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35%.   

Mengenai bocornya surat tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan berkomentar banyak. "Kalau mengenai masalah Freeport, karena kami sedang melakukan negosisasi saya tidak memberikan dulu, supaya tidak sepotong-sepotong agar tidak menimbulkan pemahaman yang agak membingungkan bagi semua pihak, jadi saya tidak menyampaikan apa-apa, termasuk berbagai hal itu," kata Sri Mulyani usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (3/10).

Namun Sri Mulyani tak membantah saat ini tengah mempersiapkan rpp yang akan mengatur mengenai peralihan kebijakan penerapan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Kita sekarang menyiapkan peraturan pemerintah yang mengatur penambangan saat beralih dari KK menjadi IUPK. Itu akan membutuhkan kewajiban fiskal dan non fiskal yang perlu diatur berdasarkan undang-undang yang baru, yaitu undang-undang pertambangan," tuturnya di Gedung Energy Building, Jakarta, Selasa (3/10).

Menurut hasil kajian tim Kementerian Keuangan, kebijakan peraturan saat ini pajak penghasilan (PPh) badan usaha pertambangan dalam KK pajaknya lebih besar dari kebijakan PPh final saat ini sebesar 25%. Pembayaran pajak yang lebih besar tersebut juga diemban oleh perusahaan pertambangan yang sedang berseteru dengan pemerintah yakni PT Freeport Indonesia.

"Saat ini kami mengerjakannya karena menurut undang-undang saat ini bahwa semua pajak akan sesuai dengan perkiraan sementara. Banyak di antara sepuluh kontrak tidak hanya Freeport tetapi juga penambang lainnya sesuai dengan (kontrak) yang dibuat dua dekade yang lalu yang jauh lebih tinggi dari PPh saat ini 25%," imbuhnya.

Menkeu memberi sinyal bahwa PPh badan usaha pertambangan akan disetarakan dengan PPh final yang ada yakni 25%. Adapun dalam rezim KK, Freeport dikenakan PPh badan sebesar 35%.

Pihaknya juga akan mengkaji perpajakan lain seperti royalti, pajak pertanahan dan properti, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembagian pemerintah daerah. "Kita masih mempersiapkan agar kita bisa menggunakan peraturan pemerintah ini untuk mengatur apa kewajiban pajak dan non pajak semua di IUPK," tukasnya.

TEMUAN BPK - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengumumkan 33 laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu (DTT) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) I-2017. Salah satu yang menjadi tujuan pemeriksaan DTT mengenai kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2013-2015.

Melansir IHSP I-2017, Selasa (3/10) hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan pertambangan mineral pada Freeport Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Pemerintah melalui PP Nomor 45 tahun 2003 yang telah diubah dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 telah menetapkan besaran tarif iuran tetap dan royalti tambahan. Akan tetapi BPK menemukan Freeport Indonesia masih menggunakan tarif yang tercantum dalam KK yang lebih rendah dan tidak disesuaikan dengan tarif baru tersebut.

Atas temuan tersebut ditemukan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) periode 2009-2015 sebesar US$ 445,96 juta atau setara Rp 5,97 triliun (kurs Rp 13.400).

Lalu BPK juga menemukan bahwa dasar penghitungan pencairan jaminan reklamasi yang dilakukan Kementerian ESDM tidak akurat. Sehingga terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi yang seharusnya masih ditempatkan pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,43 juta atau setara Rp 19,16 miliar.

BPK juga menemukan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan-undangan dalam KK PTFI meliputi penerimaan selain denda keterlambatan yang belum dipungut. Biaya concentrate handling yang dikeluarkan PTFI akan mengurangi royalti yang dibayarkan kepada pemerintah.

Pada 2013-2015 terdapat komponen yang tidak tepat dibebankan sebagai biaya concentrate handling sehingga mengakibatkan kekurangan penerimaan royalti oleh pemerintah sebesar US$ 181,45 ribu atau setara Rp 2,43 miliar. Jika ditotal kerugian negara mencapai Rp 5,99 triliun.

BPK juga menemukan permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian, seperti hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PTFI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI, karena sampai tahun 2015 kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.

Kemudian pengelolaan limbah tailing PTFI dipandang belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia dan pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut, sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan. (dtc)

BACA JUGA: