JAKARTA,GRESNEWS.COM - Perundingan antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia masih berjalan alot. Sisa waktu dua bulan dari 8 bulan jangka waktu perundingan yang disepakati, (sejak bulan Februari 2017 hingga Oktober 2017), baru disepakati dua poin dari 4 poin agenda pembahasan.

Dari 4 substansi perundingan yang meliputi, kelanjutan operasi, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), stabilitas investasi, dan divestasi saham, sejauh ini baru 2 hal yang disepakati. Yakni soal bentuk landasan hukum hubungan kerjasama pemerintah dan PTFI untuk operasi penambangan di Timika Papua adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bukan lagi Kontrak Karya (KK) seperti sebelumnya. Hal lain yang disepakati adalah pembangunan smelter. PTFI sepakat untuk membangun smelter dan selesai dalam jangka 5 tahun atau paling lambat awal tahun 2022.

Soal pembangunan smelter Freeport juga terbilang terlambat dibanding sejumlah perusahaan tambang besar lainnya di tanah air. Sebab sejak UU Minerba  perusahaan tambang diamanatkan membangun fasilitas permurnian (smelter) dan melarang mengimpor dalam bentuk bahan mentah. Izin import konsetrat atau bahan mentah diperbolehkan dengan kompensasikan proses perkembangan pembangunan smelter.

Sementara Freeport baru saat ini menyepakati akan membangun smelter dalam jangka lima tahun ke depan. Sementara telah berulangkali perusahaan asal Amerika Serikat itu meminta perpanjangan izin impor konsentrat. Sedang kewajiban untuk membangun smelter tak kunjung disepakati.

Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Teguh Pamudji, perundingan antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) masih berlangsung.

"PTFI sudah sepakat nanti bentuk landasan hukum hubungan kerja pemerintah dan PTFI adalah dalam bentuk IUPK bukan lagi KK," ujar Teguh Pamudji dalam keterangan pers usai rapat koordinasi membahas perkembangan perundingan dengan PTFI, di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (26/7).

Dijelaskan Teguh, bahwa IUPK yang akan diterbitkan nanti akan berlaku sampai tahun 2021, sama dengan berlakunya Kontrak Karya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sementara terkait dengan isu kelanjutan operasi dan pembangunan smelter, telah ada titik temu antara Pemerintah dengan PTFI.
"Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2017, pemegang IUPK berhak mengajukan perpanjangan 2 kali 10 tahun dengan memenuhi persyaratan.

Sedangkan terkait pembangunan smelter, PTFI sepakat untuk membangun smelter dan selesai dalam 5 tahun atau paling lambat awal tahun 2022. Ini akan dievaluasi tiap 6 bulan, apabila perkembangan smelter tidak sesuai rencana, rekomendasi ekspor (konsentrat) dapat saja dicabut," ujarnya seperti dikutip esdm.go.id.

Sedang terkait kesepakatan tentang stabilisasi investasi dan divestasi. Saat ini telah dihitung perkiraan besaran penerimaan negara antara IUPK dengan KK oleh tim Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dan diperoleh data bahwa dalam bentuk IUPK penerimaan negara akan lebih besar.

Sementara itu, dalam konteks stabilitas investasi, masih dibahas terkait ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah yang idealnya dituangkan dalam satu paket regulasi. "Tadi sudah disepakati karena semangatnya ke depan untuk menyusun Peraturan Pemerintah yang terkait dengan satu paket regulasi, akan difasilitasi oleh Kemenkumham bersama Kementerian ESDM," urai Teguh.

Soal divestasi, lanjut Teguh, saat ini masih disusun formulasi agar pembelian saham PTFI dapat dilakukan seketika, dimana perhitungan market value dilakukan oleh Appraisal Independen. Due dillegence termasuk aspek legal dan lingkungan juga sedang dievaluasi.

"Untuk menghitung nilai saham ini kita akan meminta PTFI bersama-sama akan menunjuk independent evaluator menghitung nilai saham (dengan) tidak menghitung cadangan," jelas Teguh.

Secara keseluruhan, disimpulkan Teguh, bahwa negosiasi masih terus berlangsung sampai dengan keempat hal yang akan menjadi kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan PTFI.

"Jadi status saat ini, perundingan masih berlangsung. Meskipun 2 isu terkait kelangsungan operasi dan pembangunan smelter telah menemukan titik temu," ujarnya.

Namun menurut dia, selesainya perundingan seutuhnya itu akan ditandai dengan selesainya keseluruhan 4 isu, termasuk 2 isu lainnya yaitu stabilisasi investasi dan divestasi yang saat ini masih tahap perundingan. "Kami menambahkan, dalam minggu depan ini sudah dijadwalkan akan ada rapat koordinasi kembali antara Kementerian ESDM dengan kementerian terkait," pungkas Teguh.

BARU DUA KESEPAKATAN - Dua poin kesepakatan ini sebenarnya telah dicapai dalam perundingan pada April lalu. Kementerian ESDM dalam rilisnya 4 April lalu telah mengungkapkan dua poin kesepakatan yang dicapai dari hasil perundingan dengan PT Freeport itu.

Yakni tentang perubahan izin dari KK menjadi IUPK dan rencana pembangunan smelter. Dengan perubahan IUPK itu, Kementerian ESDM telah membolehkan PTFI melakukan ekspor konsentrat dengan membayar bea keluar (BK).

"Minggu lalu PTFI sudah sepakat dengan IUPK. Tenggat waktu delapan bulan, sejak Februari 2017 hingga Oktober 2017. Berdasarkan IUPK tersebut, PTFI dapat melakukan ekspor konsentrat dengan membayar Bea Keluar (BK). Komitmen untuk membangun smelter juga tetap menjadi kewajiban PTFI," ungkap Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Teguh Pamudji, di Jakarta, kala itu, Selasa (4/4).


Bahkan kala itu Teguh menyebut, terkait status Kontrak Karya (KK), yang dimiliki Freeport, selama masa perundingan berlangsung, maka KK PTFI tetap dihormati.

"Selama masa perundingan berlangsung KK tetap kita hormati, sampai dicapai kesepakatan bersama khususnya terkait stabilitas investasi, Ujarnya saat itu.

Menurutnya setiap kebijakan publik termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan terkait ESDM, selalu ada ruang untuk mencari jalan keluar terbaik.

BACA JUGA: