JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan di hadapan para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, Jumat (14/8), Presiden Joko Widodo kembali menegaskan tekad pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Salah satu yang disinggung Jokowi adalah soal pembangunan waduk.

"Kita bangun lebih banyak waduk dan pelabuhan-pelabuhan untuk mendukung tol laut dengan tambahan banyak galangan kapal," demikian ucap Presiden dalam pidato tersebut.

Pemerintah sendiri seperti ditegaskan Jokowi, memang tidak main-main dalam pendanaan pembangunan infrastruktur ini. Dalam APBN 2016, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp313 triliun rupiah untuk pembangunan infrastruktur, temasuk pembangunan waduk di dalamnya.

Pemerintahan Jokowi-JK merencanakan pembangunan 49 proyek bendungan selama lima tahun ke depan untuk menjaga persediaan air dan peningkatan produksi pertanian. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan pada 2016 akan ada delapan bendungan baru yang digarap. Sementara tahun ini ditargetkan sudah 13 bendungan yang dimulai pembangunannya.

"Tahun depan ada sekitar delapan bendungan yang akan dilelang dengan nilai kontrak Rp 8 triliun," kata Basuki, beberapa waktu lalu.

Kedelapan bendungan itu antara lain Bendungan Ciawi senilai Rp1,69 triliun di Jawa Barat, Bendungan Sukamahi senilai Rp1,1 triliun di Jawa Barat, Bendungan Kolhua senilai Rp569 miliar di Nusa Tenggara Timur (NTT), Bendungan Rukoh senilai Rp553 miliar di Aceh, dan Bendungan Kuil senilai Rp1,5 triliun di Sulawesi Utara.

Selanjutnya, Bendungan Sukoharjo senilai Rp1 triliun di Lampung, Bendungan Cipanas senilai Rp2,1 triliun di Jawa Barat, dan terakhir Bendungan Sindangheula senilai Rp496 miliar di Banten. Dengan dibangunnya delapan bendungan baru pada 2016, maka pada dua tahun masa pemerintahan Jokowi–Jusuf Kalla, telah dibangun sebanyak 11 bendungan baru.

Sementara itu pada Juni, Kementerian PU-Pera  melakukan pemancangan tiang pertama (groundbreaking) tiga bendungan yang telah masuk perencanaan 2015. Ketiga bendungan itu adalah Tanju di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mila di NTB, dan Karian di Banten. "Ketiganya masih dalam proses lelang dan akan dipercepat prosesnya sehingga bisa segera dimulai konstruksinya," kata Basuki.

Investasi Bendungan Tanju sebesar Rp330, 26 miliar dan Mila sekitar Rp198 miliar. Kedua bendungan itu seharusnya sudah di-groundbreaking pada Mei 2015, namun terkendala administrasi yang belum selesai. Sementara itu, Bendungan Karian mengalami pengulangan lelang dan tersisa dua konsorsium yang memperebutkan bendungan dengan nilai kontrak Rp1,68 triliun tersebut.

Basuki menambahkan pembangunan 3 proyek bendungan/waduk baru mulai bulan depan. Tahun ini, akan ada 13 proyek bendungan baru yang menjadi bagian dari 49 proyek bendungan selama 5 tahun ke depan.

"Semua satker (satuan kerja) saya telepon sendiri untuk pantau perkembangannya. Ada yang masih lelang ada yang sebentar lagi kontrak. Yang lambat-lambat saya dorong terus supaya pembangunan dimulai lebih cepat. Dalam waktu bulan Juni nanti bisa di groundbreaking bendungan Tanju di NTB, Mila di NTB, Karian di Banten," ujar Basuki.

ANTISIPASI KEKERINGAN - Pemerintah tengah berupaya mempercepat proyek pembangunan waduk, khususnya 13 bendungan yang direncanakan dimulai pembangunannya tahun ini. Pembangunan bendungan tersebut dikebut guna mengantisipasi dampak el nino tahun ini dan di tahun-tahun mendatang.  "Untuk jangka menengah PUPR melakukan percepatan pembangunan 13 bendungan yang tersebar di 10 provinsi di tahun 2015 ini," kata Basuki.

Sebelumnya sudah ada penandatanganan kontrak konstruksi empat bendungan yang masuk dalam 13 bendungan prioritas yang akan dibangun tahun ini. Yaitu Bendung Aseloreng (Sulawesi Selatan), Tanju (NTB), Mila (NTB), dan Karian (Banten). Proyek bendungan yang telah ditandatangi kontrak konstruksinya, dalam 3 tahun ditargetkan proyek bendungan selesai. Namun dengan adanya percepatan ini diharapkan bisa lebih cepat selesai.

Caranya dengan mewajibkan kontraktor kerja 2 shift setiap hari selama 7 hari dalam seminggu. Misalnya Bendungan Raknamo di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT)? akan tuntas 2 tahun lebih cepat dari 2019 menjadi 2017.

Sementara untuk jangka pendek, pemerintah juga melakukan antisipasi dengan pembagian pompa air, pembuatan embung dan juga penyuluhan penghematan air kepada para petani. Untuk itu, pemerintah telah menyediakan dana sebesar Rp2 triliun.

Meski demikian, menurut Basuki, fenomena el nino yang berdampak pada terjadinya kekeringan ini memang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dia mengatakan, situasi masih terhitung normal dan belum ada dampak yang terlalu parah.

"Status tinggi muka air waduk per 12 Agustus 2015 sebanyak 18 waduk berstatus normal, 55 waduk di bawah rencana dan 18 waduk berstatus kering," papar Basuki, dalam rapat koordinasi antisiasi dampak el nino yang digelar di Auditorium Kementerian PUPR, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (13/8).

Basuki memaparkan, luas lahan pertanian irigasi (bukan tadah hujan) ada sejumlah 7,14 juta hektare. Lahan pertanian yang kekeringan dengan irigasi bersumber dari waduk seluas 548 hektare (0,06% dari total 859.115 hektare lahan sawah irigasi dari waduk).

Lahan non waduk lebih besar yaitu lahan yang sumber airnya dari bendung misalnya. Ada seluas 214.942 hektare atau 6% dari total 6.186.053 hektare lahan sawah irigasi non waduk. "PU upayakan mendatangkan pompa-pompa, lalu embung yang masih ada air dipompa dan buat sumur bor," jelas Basuki.

Dilihat dari kondisi waduk terbesar yaitu Kedung Ombo, menurut Basuki, ketersediaan air waduk jauh lebih baik dari keadaan terburuk yaitu tahun 2003. "Dua minggu lalu saya cek, tinggi muka air waduk Kedung Ombo masih 86-87 meter, sedangkan kondisi 2003 tinggi muka air hanya 73-74 meter, bahkan lebih rendah dari tahun 1997," ungkap Basuki.

"Tidak perlu panik dengan El-Nino, karena berulang. Namun kita tetap perlu waspada. Terutama lahan pertanian yang sedang mengupayakan swasembada pangan, irigasi harus diperbaiki untuk menjaga ketersediaan air lahan sawah," tutup Basuki.

PERLU DIKAJI ULANG - Meski pembangunan bendungan dinilai penting dalam mengatasi kekeringan, namun sepertinya kebijakan pembangunan bendungan secara masif seperti yang direncanakan pemerintah memang harus dikaji ulang. Pasalnya, proyek berharga triliunan itu dinilai belum tentu efektif mengatasi dan menyelesaikan masalah kekeringan.

Ambil contoh apa yang terjadi di Jawa Barat yang selama ini menjadi lumbung padi utama nasional. Dampak kekeringan yang terjadi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini, luasan lahan pertanian yang mengalami kekeringan mencapai 90.000 ha, tahun sebelumnya luasan kekeringan mencapai sekitar 60.000 tersebar di wilayah selatan, tengah dan utara Jawa Barat

Meluasnya dampak kekeringan ini, menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan terjadi selain karena dampak el nino juga karena terjadi salah urus daerah aliran sungai. Hal inilah yang  berdampak pada terjadinya kekeringan yang melanda seluruh wilayah Jawa Barat.

"Bukan saja kekeringan yang terjadi di lahan pertanian, namun kekurangan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga pun terjadi, sama dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya kekurangan air bersih saat kemarau terjadi. Warga secara alamiah kembali memanfaatkan air-air sungai yang secara kualitas tidak layak dikonsumsi," kata Dadan dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (16/8).
 
Dadan mengatakan, strategi pengelolaan air dengan membangun infrastruktur waduk/bendungan skala besar yang salah satu fungsinya untuk pemenuhan akses air untuk irigasi dan penyediaan air baku perlu kembali dievaluasi. Dia bilang, belajar dari kasus di Jawa Barat, faktanya, berangkat dari pengelolaan sumber daya air di DAS Citarum dengan tiga bendungan besar Jawa Barat seperti Saguling, Cirata dan Jatiluhur ternyata gagal mengatasi masalah kronis kekeringan lahan pertanian dan kekurangan air bersih bagi kehidupan warga yang berada di DAS Citarum.
 
Dadan mengatakan, lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, sebagian Indramayu yang berada dalam aliran air tiga bendungan tersebut mengalami kekeringan. "Bukan saja lahan pertanian yang kering, air bersih pun sangat sulit diperoleh warga, bahkan warga sekitar tiga waduk tersebut," ujarnya.

Kekeringan ini bukan saja berdampak pada penurunan produksi pangan rakyat akibat puso dan gagal panen, namun kekeringan dan kekurangan air bersih juga berdampak pada konflik sosial di warga, yang kerap terlibat konflik rebutan air. "Ini sudah menjadi bencana lingkungan hidup, mengancam keselamatan rakyat dan keamanan nasional," kata Dadan Ramdan.
 
Belajar dari pengalaman ini, kata dia, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek-proyek pembangunan bendungan khususnya yang akan dilakukan di Jawa Barat. Dia bilang, soal kekeringan, penyebab utamanya lebih pada kerusakan lingkungan seperti kondisi hutan yang semakin menyusut dan degradasi layanan daerah aliran sungai yang semakin meningkat.

Jika pemerintah serius mengatasi kekeringan dan ingin menyejahterakan petani, kata Dadan, seharusnya dua persoalan di atas menjadi perhatian serius. Isu tata kelola hutan dan pengelolaan DAS harus menjadi pertimbangan strategis pemerintah dan pemerintah dalam mengelola air dibandingkan dengan skema pembangunan waduk/bendungan skala besar yang membutuhkan lahan luas dan biaya sosial yang mahal.
 
Dadan mengatakan, sebaiknya pemerintah dan pemerintah daerah berfikir dan bertindak lebih strategis dalam jangka panjang. Jawa Barat misalnya, kini daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya terus berkurang. "Pemerintah harus mengubah strategi penanganan kekeringan dan banjir di musim hujan ini yang berisfat reaktif dan respons sesaat dan tidak menjawab akar masalah pokoknya," kata dia.

Upaya-upaya nyata seperti mencegah alih fungsi hutan dan lahan-lahan hijau di daerah-daerah tangkapan air, merawat kerusakan situ-situ alamiah dan buatan yang sudah ada serta membangun embung-embung air, situ-situ dalam skala kecil, menurutnya, lebih penting dilakukan. "Bukan bendungan atau waduk skala besar. Selain itu, kita pun harus siap-siap menghadapi potensi ancaman banjir yang akan semakin parah," pungkas Dadan Ramdan.

BELAJAR DARI KASUS JATIGEDE - Pemerintah bisa belajar dari kasus pembangunan waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat yang sudah direncanakan sejak tahun 1960 di era Presiden Soekarno yang hingga saat ini masih terus tertunda akibat kuatnya perlawanan masyarakat. Rencana penggenangan waduk Jatigede yang sedianya dilakukan pada 1 Agustus kemarin, masih tertunda karena masih banyak persoalan sosial yang belum selesai.

Persoalan utama adalah persoalan ganti rugi kepada para warga yang wilayah tempat tinggalnya terkena dampak pembangunan waduk tersebut. Pembangunan waduk skala besar seperti Jatigede, dan Kedung Ombo, memang selalu membawa cerita dampak sosial dan lingkungan yang kompleks yang penyelesaiannya juga cukup menelan biaya mahal menyaingi biaya pembangunan fisik waduk itu sendiri.

Dalam kasus Jatigede misalnya, waduk ini akan berdampak tidak saja pada hilangnya tempat tinggal penduduk, tetapi juga fasilitas penunjang hidup lainnya seperti areal persawahan, hutan, sekolah dan juga beberapa situs bersejarah yang tidak ternilai harganya.

Dari infografis yang beredar terkait penolakan atas proyek Jatigede ini diketahui, penggenangan waduk Jatigede akan menenggelamkan setidaknya 33 situs cagar budaya diantaranya makam-makam keramat yang selama ini menjadi sumber pemasukan warga dari hasil wisata spiritual. Waduk ini disebutkan juga akan menenggelamkan geopark Cinambo yang merupakan laboratorium kebumian.

Waduk ini juga akan menenggelamkan 1389 hektare lahan hutan dengan sekitar 800 ribu tegakan pohon beserta satwa langka dan endemik yang hidup di dalamnya. Juga termasuk 3100 hejtare lahan sawah dan 11.000 rumah penduduk, termasuk rumah-rumah adat dan sekolah.

Dampak ikutan yang terjadi akibat pembangunan waduk Jatigede memang sangat besar sehingga pemerintah seharusnya berpikir ulang dengan rencana pembangunan 49 waduknya yang juga berpotensi mengalami hambatan serupa.

Belum lagi, kata Dadan Ramdan, risiko bencana yang akan terjadi karena pembangunan waduk berada di daerah rawan gempa. "Daerah di Indonesia memang rata-rata rawan gempa. Tapi kalau kita lihat Jatigede ini, ini berada pada titik patahan aktif Baribis. Itu yang membuat semakin rawan, begitu," kata Dadan.

Semua risiko itu tentunya harus dihitung ulang meski tak dipungkiri pembangunan waduk juga akan membawa dampak positif bagi kehidupan warga. Direktur Jenderal Sumberdaya Air (SDA) Kementerian PUPR Mudjiadi menjelaskan, beroperasinya Waduk Jatigede punya arti penting bagi masyarakat sekitar. Ada ribuan hektar sawah yang bergantung pada air yang mengalir dari Waduk ini.

"Waduk ini akan mengairi 90.000 hektare sawah di Sumedang. Kalau ini sudah beroperasi, sawah di Sumedang bisa tanam dua kali bisa panen dua kali setahun," kata Mudjiadi beberapa waktu lalu.

Selain untuk pengairan area persawahan, waduk ini juga akan menjadi sumber tenaga penggerak turbin untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air. "Ada PLTA kapasitas 110 mega watt. itu sudah ditenderkan oleh PLN dan sekarang sudah memasuki tahap konstruksi. PLTA itu butuh penggerak dari aliran air, kalau airnya nggak ada, ya nggak ngalir listriknya," tegas dia.

Hanya saja, apakah manfaat itu nilainya sebanding dengan harga yang sosial, lingkungan yang harus dibayarkan? Inilah yang mesti dihitung ulang oleh pemerintah. (dtc)

BACA JUGA: