JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pelaku industri migas menilai kebijakan yang dikeluar pemerintah di bidang migas masih memiliki kekurangan terutama dalam detail pelaksanaannya. Akibatnya investor lebih memilih bersikap wait and see. Untuk itu mereka mendesak pemmerintah segera melengkapi aturan pelaksanaanya lebih detil.

Keluhan itu disampaikan Executive Director Indonesian Petroleum Association (IPA)  Marjolijn Wajong saat bertemu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, saat acara diskusikan perkembangan usaha minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.

Menurut Marjolijn kepastian hukum dan kebijakan pemerintah yang mendukung investasi menjadi hal penting bagi investor minyak dan gas bumi (migas) dalam melakukan eksplorasi hingga produksi.  Sebab bisnis investasi di sektor migas membutuhkan modal besar, karenanya investor memerlukan kepastian untuk memperhitungkan keekonomian.

"Harus ada titik temu antara keinginan Pemerintah dan kepentingan investor, " katanya.

Ia juga mengingatkan perlunya menjaga keseimbangan kepentingan antara kedua pihak, sebab jika tidak, investasi akan sulit berjalan. Diakuinya, secara  konsep aturan yang dibuat pemerintah sudah cukup bagus, tetapi masih perlu detail pelaksanaannya.

Banyaknya peraturan yang dirilis pemerintah, khususnya peraturan pemerintah (Permen) ESDM, kata dia, menggambarkan pemerintah bergerak dan peduli pada perkembangan dinamika industri migas dalam negeri. Hanya saja, ia berharap, dalam merilis peraturan, pemerintah mempertimbangkan nilai keekonomian bagi investor serta ada kepastian hukum. "Kedua hal ini yang belum ada titik temu, dan bisa berdampak fatal bagi iklim investasi migas di Indonesia," ujarnya.

Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang dinilai bolong adalah tidak adanya kejelasan dan transparansi soal Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No.26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi. Dimana operator lama tetap harus melanjutkan
investasi, nantinya hasil keuntungan yang tidak bisa dibawa akan digantikan dengan operator  baru.

"Persoalannya, bagaimana bila sumber sumur tersebut tidak ada peminatnya. Pemerintah selama ini mengandalkan Pertamina akan menanggung ganti ruginya. Padahal Pertamina sendiri belum tentu mau karena memperhitungkan biayanya," bebernya.

Selain itu, kebijakan gross split yang menggunakan peraturan pajak yang berlaku menggantikan cost recovery belum memiliki kejelasan. Pihak Kementerian Keuangan hingga saat ini belum memberikan aturan turunannya, akibatnya industri ini dinilai investor tidak lagi menarik.

Sementara pengamat energi Suyitno Patmosukismo mengatakan, seharusnya kontribusi migas terhadap perekonomian nasional, tidak dilihat dari kontribusi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) semata, tetapi harus dilihat multiplier effect terhadap ekonomi dan sumber pajak.

"Industri ini memiliki multiplier effect yang besar dan sangat berperan dalam menggerakkan roda ekonomi nasional," ujarnya.

Diakuinya saat ini Indonesia tengah mengalami krisis energi, dimana produksi minyak Indonesia terus melorot dari 1,2 juta barel per hari, menjadi 800 ribu barel perhari. Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak,  untuk itu perlu dipersiapkan ketahanan dan kemandirian energi.

Menurutnya impor bisa saja dipilih sebagai salah satu opsi untuk memastikan kecukupan Strategic Petroleum Reserve (SPR). Namun yang perlu dipertimbangkan apakah opsi ini mampu kita lakukan secara finansial. Selain itu, apakah opsi ini merupakan yang terbaik, menimbang bahwa kita akan bergantung pada negara lain. Padahal di sisi lain masih ada cadangan sumber energi yang cukup dan belum tergali. Seharusnya, kegiatan eksplorasi cadangan sumber energi tetap dilakukan demi menjaga ketahanan energi.

HARUS EFISIEN - Dalam pertemuan tersebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa  iklim investasi migas dipengaruhi harga minyak dunia. Padahal harga minyak dunia sangat bergantung pada faktor eksternal. Tidak  ada orang maupun organisasi yang dapat mengendalikannya. "Tidak ada satu orang pun yang dapat memperkirakan harga minyak dunia," ujar Jonan.

Untuk mengantisipasi ketidakpastian harga minyak itulah, menurut Jonan, menyatakan sudah menjadi keniscayaan bahwa industri hulu migas harus efisien dan kompetitif dalam melaksanakan kegiatan operasinya. "Ini adalah semangat kami, juga kontraktor tentunya. Kami terjemahkan itu dalam kebijakan gross split, yang pada prinsip fairness," imbuh Menteri Jonan.

Terkait dengan  keberlangsungan investasi pada wilayah kerja yang akan habis masa berlakunya, Menteri Jonan mengatakan, Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2017 tentang Mekanisme Pengembalian Investasi pada Kegiatan Usaha hulu Migas. "Saya (pada saat itu) mendorong keras agar peraturan ini segera selesai, agar investasi terus berlangsung dan operasi migas tetap berjalan optimal," ujar Jonan.

Menurutnya dengan kepastian tersebut maka, keberlangsungan investasi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tetap berjalan optimal. Kegiatan usaha penunjang juga dapat terus berlanjut, sehingga iklim investasi tetap terjaga.

Sementara Wamen ESDM Arcandra Tahar mengatakan bahwa kebijakan gross split mengedepankan prinsip fairness dan manajemen resiko dari industri hulu migas. Skema gross split juga meminimalisir resiko ketidakpastian harga minyak.

Menurutnya risiko terbesar industri migas adalah harga minyak yang tidak stabil. Jika harga minyak lebih rendah dari yang diharapkan maka akan ada tambahan split bagi kontraktor hingga 7,5%. Begitu pula sebaliknya jika harga minyak lebih tinggi, Pemerintah yang akan mendapatkan tambahan split. "Artinya Pemerintah dan Kontraktor mempunyai resiko yang sama. Share the pain, share the gain," kata Arcandra.

Selain itu ia menambahkan bahwa PSC gross split membuat proses procurement dan eksekusi proyek di lapangan lebih cepat dan efisien. Menurutnya penghematan atau efisiensi waktu proyek bisa mencapai 25%. "Ada suatu proyek migas, dengan PSC cost recovery akan memakan waktu selama 105 bulan, tapi jika menggunakan PSC gross split hanya butuh 83 bulan," jelasnya.

Hal itu bisa terjadi, karena dalam PSC cost recovery, proses Pre-FEED bisa 20 bulan, dengan dual FEED bisa mencapai 40 bulan termasuk Pra Qualification (PQ), lalu ada proses Authorization For Expenditure (AFE) oleh SKK Migas, evaluasi FEED untuk dual FEED, dan Engineering Procurement Construction (EPC) yang memakan banyak waktu.

"Dengan skema gross split, banyak proses yang bisa dihilangkan. Proses FEED dan EPC bisa dilakukan dalam satu kali tender. Akan jauh menghemat waktu dan biaya," tutur.

Ditambahkan Wakil Kepala SKK Migas, Zikrullah, skema gross split, juga membuat proses procurement menjadi lebih sederhana. Kendati tetap ada aturan dari Pemerintah yang harus diikuti, seperti Peraturan Menteri ESDM terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Menurutnya ada sejumlah keleluasaan pada KKKS, seperti pengadaan menjadi bagian yang harus dilakukan KKKS itu sendiri. Sebab nanti dengan gross split sebagian besar pengadaan akan dilakukan oleh KKKS, bahkan tidak perlu persetujuan ke SKK Migas.  Sementara terkait TKDN kan ada ketentuan Peraturan Menteri.

BACA JUGA: