JAKARTA, GRESNEWS.COM - Krisis harga minyak dunia yang terjadi telah membawa dampak negatif pada berbagai sektor di luar minyak dan gas bumi (migas). Efek domino ini terus menjalar bahkan sampai ke Indonesia, yang berakibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, terkendalanya kemajuan pembangunan pembangkit listrik, turunnya penyerapan angka tenaga kerja, tertundanya proyek infrastruktur, hingga dampak sosial lainnya yang lebih luas di masyarakat.

Akibat langsung yang dirasakan pada sektor migas adalah berkurangnya kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas yang baru, berkurangnya program pengeboran dan perawatan sumur, pengurangan tenaga kerja, serta turunnya minat investor terhadap penawaran wilayah-wilayah kerja baru oleh Pemerintah. Apabila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, Indonesia harus bersiap memasuki babak baru krisis energi.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang memasuki krisis energi, dan dampak dari kondisi ini juga mulai dirasakan oleh sektor-sektor lain. Sikap pemerintah yang tegas sangat diperlukan agar risiko krisis energi di dalam negeri tidak berdampak lebih luas pada industri lainnya," ujar peneliti dan pengamat energi Pri Agung Rakhmanto, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (9/4).

Beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami penundaan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan perlambatan kinerja perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil migas. Tekanan APBD yang paling besar terjadi di Provinsi Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) migas berkurang secara signifikan sejak 2014–2016, yaitu sebesar Rp4,02 triliun.

"Secara tidak langsung dampak dari krisis ini telah mempersempit peluang masyarakat untuk berusaha dalam sektor ekonomi lainnya," tambah Pri Agung.

Di sisi lain, ketidakpastian pasokan gas yang diperuntukkan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), juga menjadi salah satu kendala pada proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan pemerintah. Belum lagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator masih sibuk berkutat pada persoalan harga gas dengan pihak suplier. "Akibatnya, sampai sekarang belum dapat dipastikan pasokan gas akan diperoleh dari lapangan gas yang mana," ujar Pri.

Kemudian, banyak perusahaan jasa pendukung di industri migas yang sudah tidak lagi beroperasi dan bahkan lebih dari 24 ribu pekerja sektor migas mengalami kehilangan pekerjaan. Begitu juga di sektor perhotelan dan pariwisata. Tingkat okupansi bisnis perhotelan di wilayah penghasil migas mengalami penurunan drastis sebesar 40-50 persen, sehingga diikuti dengan pengurangan pegawai sebesar 5-20 persen.

"Krisis migas yang terjadi ternyata memberikan efek domino kepada sektor-sektor lainnya, baik yang langsung ataupun tidak langsung," tegas Pri.

Pengamat Sosial dari Universitas Nasional Sigit Rochadi mengatakan, dampak krisis akan jauh lebih luas terjadi di sektor-sektor lainnya seperti pengangguran, kegoncangan ekonomi keluarga, menurunnya kesejahteraan ekonomi, hingga berujung pada munculnya persoalan-persoalan kriminalitas. "Melihat gambaran di atas, Pemerintah Indonesia harus segera mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi dampak dari krisis migas ini," kata Sigit.

Dia menilai, kebijakan yang mendorong investasi migas sangat diperlukan demi kembali meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. "Terutama untuk menemukan sumber-sumber cadangan baru di Indonesia," paparnya.

Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini. Dibutuhkan langkah tepat dari Pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik.

Penetapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 yang mengatur perubahan aturan kontrak bagi hasil sektor migas menjadi gross split–sebelumnya cost recovery–oleh sebagian kalangan dipandang kurang pas dan mengurangi daya tarik investasi, karena pembuatan aturan tersebut lebih cenderung hanya memperhatikan satu pihak saja.

"Seharusnya, pembuatan kebijakan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yakni Pemerintah dan Investor," kata Sigit Rochadi.

Pri Agung membenarkan, aturan pada Permen ESDM baru tersebut mendapat banyak sorotan dari publik ataupun pengamat. "Kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik/kekayaan negara, fleksibilitas untuk memilih skema antara gross split atau cost recovery yang masih ambigu dan angka bagi hasil yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan tersebut, adalah beberapa hal dari Permen ESDM No. 08/2017 yang kiranya perlu dikaji ulang," Pri Agung menambahkan.

"Pemerintah harus menggandeng pelaku dan pengamat industri migas dalam mencari skema terbaik, untuk mengentaskan Indonesia dari risiko krisis energi yang saat ini terjadi," pungkasnya.

UNTUNGKAN KONTRAKTOR - Sementara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, skema bagi hasil gross split yang belum lama diterapka, dinilai menguntungkan pihak kontraktor minyak dan gas (migas). Jonan menilai para kontraktor kerja sama lebih besar perannya dalam pengadaan barang dan jasa proyek tersebut.

"Apa manfaat gross split? semua KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) bisa mengadakan sistem pengadaan yang enggak diatur sistem pengadaan pemerintah," kata Jonan beberapa waktu lalu.

Dengan tidak adanya campur tangan pemerintah dalam sistem pengadaan tersebut, dinilai lebih mempercepat proses sehingga menjadi lebih efisien. "Maka akan mempercepat proses. Ini sangat akan mendorong enterpreneurship dan efisiensi," terang Jonan.

Oleh karena itu, Jonan mengatakan, pihak kontraktor tidak perlu khawatir dengan aturan ini, karena tidak merugikan, namun justru menguntungkan. "Ini yang penting, tidak ada bagi-bagi (konsesi). Kalau wilayah kerja habis, ditunjuk kontraktor baru, enggak ada share down. Harus ikut lagi (proses tender)," ungkap Jonan.

Selama ini, pemerintah memang menilai sistem lama yaitu cost recovery, memang merugikan. Tercatat sebanyak 42% penghasilan dari realisasi produksi minyak nasional, habis untuk cost recovery. Tahun 2016 misalnya, realisasi produksi minyak Indonesia mencapai 831.000 barel per hari (BPH). Sedangkan produksi gas mencapai 1,4 juta barrel oil equivalent per day (BOEPD).

Total nilai produksi migas Indonesia mencapai US$25,2 miliar, atau setara Rp327,6 triliun. Namun dari jumlah itu, sebesar US$10,5 miliar habis untuk cost recovery, yaitu biaya operasi hulu migas yang harus diganti negara kepada kontraktor. Sedangkan split (bagian) untuk kontraktor sebesar US$3,8 miliar. Bagian negara hanya US$10,9 miliar atau 43%. Kontraktor mengantongi cost recovery yang diklaim pada negara dan bagi hasil sebesar US$3,8 miliar, totalnya 57%.

Sementara itu, hingga kuartal I-2017, total nilai minyak dan gas yang sudah diproduksi mencapai US$6,9 miliar atau Rp89,7 triliun. Bagi hasil untuk negara sebesar US$3,4 miliar atau sekitar 49%. Lalu cost recovery US$2,4 miliar dan bagian kontraktor US$1,1 miliar.

Sekretaris SKK Migas, Budi Agustyono, mengungkapkan tahun ini pihaknya menargetkan penerimaan negara dari bagi hasil migas sebesar US$10,62 miliar. Jadi sampai 31 Maret 2017 sudah tercapai 32% dari target penerimaan. "Realisasi sampai Maret, bagian pemerintah US$ 3,4 miliar atau 32% dari target," kata Budi, Jumat (7/4).

Diakuinya, cost recovery terus mengalami kenaikan, sementara produksi migas turun terus. Akibatnya pendapatan negara dari bagi hasil migas tergerus oleh cost recovery.
Bertambahnya cost recovery yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi migas adalah hal yang wajar saja.

Tak bisa disamakan dengan mobil yang setelah diservis lalu kinerjanya pasti meningkat. "Mobil begitu servis jelas lebih enak tarikannya. Kalau di hulu migas belum tentu. Ini yang susah kami juga bingung kalau dibandingkan dengan industri selain hulu migas," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: