JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 semakin mengendur. Sikap Dewan perwakilan Rakyat (DPR) mendadak melunak setelah mendengarkan keterangan pihak pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait PP tersebut. Pihak pemerintah membantah adanya pasal-pasal yang akan memangkas kewenangannya untuk mengontrol Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang hadir dalam RDP tersebut dalam kapasitasnya menggantikan Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkapkan, DPR tidak perlu risau dengan keberadaan Pasal 2A Ayat (1) PP 72 Nomor 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara. DPR, kata Sri Mulyani, tetap memiliki peran melakukan fungsi pengawasannya soal potensi penjualan aset BUMN tanpa melalui makanisme APBN.

"Posisi PP 72 2016 hanya memperkuat PP sebelumnya yakni PP Nomor 44 tahun 2005," ujarnya alam RDP di Ruang Komisi VI, Nusantara I Komplek Parlemen Jakarta, Rabu (8/2)..

Soal Pasal 2A Ayat (1) yang selama ini menjadi kekhawatiran DPR menurut Sri Mulyani, tidak perlu lagi diperdebatkan. Dalam penilaian Menteri Keuangan, kekhawatiran terhadap potensi kehilangan aset negara melalui PP 72 tahun 2016 tidak akan terjadi.

Pasalnya, penjualan atau pun privatisasi terhadap anak perusahaan BUMN tidak begitu saja dilakukan lantaran harus menggunakan mekanisma UU yang lain. "Pemerintah tetap meminta persetujuan DPR jika anak eks BUMN dijual. Karena penjualan dan privatisasi itu menggunakan pasal yang lain," kata Sri Mulyani.

Misalnya pada Pasal 2 Ayat (2), menurut Ani--panggilan akrab Sri Mulyani, memang BUMN bertransformasi dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara dipisahkan. Namun begitu, konsekuensinya akan tetap sama karena negara tetap memiliki kewenangan, karena negara tetap sebagai pemegang saham mayoritas memperkuat posisi negara dalam kebijakannya, meskipun aset negara telah bertransformasi menjadi kekayaan negara yang dipisahkan.

Lebih jauh Sri Mulyani mengungkapkan, memang ada perbedaan treatmen alias perlakuan pada kekayaan negara yang dipisahkan. Kalau dalam pengelolaan manajemen, imbuh Sri Mulyani, memang patuh kepada aturan Perseroan Terbatas (PT) namun ketika menyangkut persoalan kepemilikan, maka keterlibatan DPR ada disitu karena itu masuk dalam kategori dalam kepemilikan negara. "Karena negara tetap menjadi pemilik saham anak perusahaan BUMN," ungkap Sri Mulyani.

Poin utama yang diperdebatkan DPR dalam PP 72 2016 ini masih seputar fungsi kontrol DPR akan melemah terhadap BUMN melalui Pasal 2A Ayat (1). Salah satu pasal yang dikhawatirkan DPR adalah adanya potensi kerentanan hilangnya aset negara yang menjadi celah pemerintah dalam Pasal 2A angka 1 melakukan PMN tanpa mekanisme APBN.

Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: "(1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara".

MULAI MENCAIR - Ihsan Yunus dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) justru bertanya-tanya soal motif pemerintah menerbitkan PP 72 tahun 2016. Ihsan mengungkapkan, semua celah yang dikhawatirkan DPR terkait kontrol DPR terhadap eks BUMN memang terjawab dalam keterangan Sri Mulyani. Namun soal pengalihan saham antar BUMN masih menyisa persoalan seperti dalam Pasal 2 A Ayat (1).

"Penyertaan modal negara yang berupa saham dalam BUMN yang Persero itu (inbreng) tanpa melalui DPR," kata Ihsan saat diminta tanggapannya di tempat yang sama.

Lebih lanjut Ihsan menuturkan skema pengalihan saham dari satu BUMN ke BUMN yang lain tidak lepas dari mekanisme APBN. Pada poin saja menurut Ihsan yang menjadi pertimbangan pembuatan BUMN karena semua yang dikhawatirkan telah jawab.

Dengan alasan itu, Ihsan mempertanyakan soal penerbitan PP tersebut. "Hanya untuk itu dibuat PP ini, kan jadi pertanyaan. Apalagi PP itu disahkan saat DPR sedang reses 30 Desember kan aneh. Ada apa?, tanya Ihsan.

Dia menambahkan, karena PMN itu merupakan kekayaan negara tentu mekanismenya juga melalui APBN yakni dengan persetujuan DPR. Dia melihat alasan utama Pemerintah membuat PP itu hanya untuk memuluskan mekanisme peralihan saham itu. Padahal kalau mau ada peralihan saham tidak perlu membuat PP tersendiri. DPR selama ini tidak pernah menghalang-halangi adanya peralihan saham tersebut asalkan sesuai dengan aturannya.

Sebaliknya, anggota Komisi VI dari fraksi Golkar Endang Srikarti Handayani menganggap penyampaian menteri Sri Mulyani sangat lengkap soal kekhawatiran yang selama ini dikeluhkan DPR. Dengan begitu tak perlu diperdebatkan lagi langkah Pemerintah untuk melaksanakan PP 72 Tahun 2016.

"Sudah sempurna sekali lalu apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Kan nggak mungkin sembrono Ibu Menteri itu cuma kita saja yang harua bersinergi," ujar politisi yang akrab dipanggil Endang itu.

Soal pengalihan saham seperti dalam pasal 2A Ayat (1) menurut Endang juga tak perlu dikhawatirkan. Saham itu, sambung Endang, dalam bentuk kertas bukan dalam bentuk tunai. "Tak perlu lagi diperdebatkan itu," tukasnya.

BACA JUGA: