JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pemerintah menahan laju keterpurukan ekonomi dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke III dinilai tak sepenuhnya tepat sasaran.  Salah satu kebijakan yang ditawarkan pemerintah Joko Widodo dalam paket kebijakan ekonomi III ini adalah pemangkasan harga bahan bakar minyak, listrik dan gas. Namun kebijakan tersebut berpotensi tidak tepat sasaran sehingga dinilai kontraproduktif.

Salah satunya kebijakan di sektor ini adalah pemberian insentif listrik untuk pelanggan industri. Namun kebijakan tersebut  hanya akan dimanfaatkan  oleh industri tanpa ada jaminan imbal balik kepada masyarakat atau negara. Selain itu kebijakan tersebut juga bukanlah hal yang utama dalam menghadapi perlambatan ekonomi. Sebab, saat ini masalah utama dalam perlambatan ekonomi adalah persoalan fluktuatif mata uang dan inflasi.

Pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai masalah yang paling utama saat ini adalah kurs mata uang dan inflasi. Oleh karena itu menurunkan harga BBM, kemudian pemberian insentif listrik justru akan  merubah tatanan dan pola kebiasaan masyarakat yang ada. Ada penurunan dan insentif listrik, seharusnya harga komoditas juga turun, sehingga menguntungkan masyarakat.  

Namun jika harga komoditas tetap tidak mampu diturunkan, sementara harga kurs mengalami kenaikan, dan angka inflasi terus naik tentu pemerintah kembali menaikan harga listrik. Akibatnya akan menimbulkan ketidakpastian sehingga menyusahkan pelaku industri dan masyarakat.

"Masa sudah diturunkan, tapi tiba-tiba tarif listrik dinaikkan lagi. Saya khawatir akan menimbulkan ketidakpastian," kata Iwa kepada gresnews.com, Jakarta, Kamis (8/10).

Menurut Iwa,  seharusnya pemerintah tidak menurunkan harga BBM dan listrik, apalagi di tengah kondisi harga minyak dunia mengalami penurunan. Hal ini berakibat turunnya pendapatan pemerintah, sehingga ke depan akan sangat berbahaya bagi Indonesia. Seharusnya pemerintah menunggu perekonomian stabil baik nilai kurs dan angka inflasi.

"Jadi ini kebijakan kontraproduktif. Seharusnya saat  rupiah stabil, inflasi stabil dan harga stabil, pemerintah baru menjalankan kebijakan tersebut," kata Iwa.

HARUS SELEKTIF - Sementara itu, Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengatakan pemberian insentif itu harusnya selektif. Pemerintah memberikan insentif tersebut kepada perusahaan-perusahaan yang benar-benar mengalami masalah dalam keuangannya. Sehingga kebijakan pengurangan tarif listrik tersebut tepat sasaran. Dia menambahkan jika pemerintah sudah memberikan insentif, pelaku industri juga harus bisa memberikan imbal balik kepada pemerintah.

Artinya, jangan sampai pemerintah sudah memberikan insentif kepada pelaku industri tetapi tidak memberikan dampak kepada masyarakat. Menurutnya dengan ada insentif listrik berupa penundaan pembayaran berarti menimbulkan kerugian negara dalam hal cost of money. Artinya, memberikan penundaan sehingga menimbulkan opportunity lost sehingga biayanya ditanggung oleh negara.

Untuk itu peran pemerintah harus bisa menjamin pemberian insentif tersebut bisa dinikmati oleh negara dan masyarakat. Dia menambahkan pemerintah juga harus melakukan kajian survei kepada pelaku industri yang memiliki masalah keuangan. Sebab dampak dari kebijakan itu negara tidak menerima uang tepat waktu Akibatnya negara hilang kesempatan untuk mendapatkan uang.

"Saya khawatir kasih insentif tetapi tidak efektif, sebab sektor mana saya yang akan diberikan. Lalu industri mana yang layak dan tepat diberikan," kata Marwan kepada gresnews.com.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sebelumnya mengatakan dalam paket kebijakan ekonomi jilid III, pemerintah memberikan tiga insentif untuk pelanggan industri. Pertama, tarif listrik untuk industri golongan I 3 dan I 4 akan turun sebesar Rp12 per Kwh sampai Rp13 per Kwh. Penurunan tersebut karena mengikuti turunnya harga minyak bumi.

Kedua, memberikan diskon tarif hingga 30 persen untuk pemakaian listrik dari pukul 23.00 sampai 08.00 pada saat beban sistem ketenagalistrikan rendah. Ketiga, penundaan pembayaran tagihan listrik sampai 40 persen dari tagihan listrik 6 bulan sampai 10 bulan pertama. Kemudian ketika melunasinya dapat dilakukan secara mencicil. Kebijakan tersebut berlaku untuk industri padat karya dan industri berdaya saing lemah.

"Jadi sisanya bisa dicicil di bulan ke-13 selama setahun" kata Sudirman.

SIAPKAN PAKET IV - Setelah paket kebijakan ekonomi jilid III  yang mencakup kemudahan investasi, penyaluran kredit, dan peningkatan daya beli masyarakat diluncurkan.  Upaya menstimulus laju ekonomi tak akan berhenti sampai disini.  Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan tengah merancang dan menyiapkan paket kebijakan jilid IV.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengaku tengan mempersiapkan beberapa kebijakan terbaru. Namun pengumuman paket itu harus menunggu pekan depan, karena masih dalam tahap finalisasi.

"Kebijakan IV, sebenarnya sudah ada, tapi nanti saja. Masak kita bocorkan sekarang. Lebih kurang sudah punya, tapi nanti lah seminggu lagi baru kita cerita," papar Darmin di Istana Negara, Rabu (7/10)

Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung menjelsakan paket kebijakan ekonomi memang sengaja dikeluarkan secara bertahap, sesuai arahan dari Presiden Jokowi. Tujuannya agar kebijakan disiapkan lebih matang dan masyarakat bisa memahami dengan mudah. Menurutnya presiden telah titipkan kepada para menteri , bahwa akan ada paket kebijakan keempat.

Selain itu, strategi mencicil paket-paket kebijakan itu untuk menjaga momentum sentimen positif dari investor terhadap kebijakan pemerintah. Diharapkan hal itu mampu mendorong nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS)

"Kami yakini, paket kebijakan ketiga yang diumumkan pemerintah, OJK, dan BI mudah-mudahan tingkatnya lebih nendang," ujar Anung. (dtc)

BACA JUGA: