JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masih mandek. Padahal pembahasan UU ini dinilai penting karena sudah banyak pasal-pasal dalam UU tersebut yang tidak berlaku lantaran dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Mandeknya pembahasan UU tersebut dinilai mengherankan mengingat sejak tahun 2010 UU Migas selalu masuk prioritas dalam program legislasi nasional. Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Regulasi dan Kelembagaan Migas Firlie Ganinduto, mengatakan, revisi UU Migas sudah seharusnya menjadi skala prioritas yang perlu dibahas oleh pihak pemerintah dan DPR.

"Kalau dilihat selama ini banyak peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (Permen) yang tumpang tindih, sehingga untuk sinkronisasi sulit dilakukan, sebab tidak adanya UU Migas yang baru, maka kalau dibiarkan sektor migas akan semakin buruk,” kata Firlie di Jakarta, Jumat(21/10).

Dia menyebutkan, selama revisi UU Migas belum diterbitkan, maka polemik dan permasalahan di sektor migas akan terus muncul, yang membuat merosotnya kepercayaan investor untuk berinvestasi ke dalam negeri. Firlie menjelaskan, UU Migas yang baru diharapkan dapat mengakomodir persoalan hulu dan hilir migas dengan baik.

Jika UU Migas baru juga tidak bisa mengakomodir persoalan hulu dan hilir, maka akan berdampak terhadap kerugian negara. "Contohnya, soal hilir harus terakomodasi dengan baik, karena jika dilihat tren ke depan bangsa kita akan tetap menjadi nett importer, bagaimana kalau minyak di negeri kita telah habis sama sekali dan kita harus 100 persen impor, maka yang terjadi perdagangan atau impor minyak juga harus diatur dan dibuat fleksibel," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energi Wacth Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahean mengatakan, lamanya pembahasan revisi UU Migas terjadi karena proses pembahasan UU ini sarat dengan tarik menarik kepentingan yang tidak kunjung usai. Akibatnya, sehingga draf UU saja sudah beberapa kali berubah.

"Ini kelemahan DPR yang tentu tidak baik bagi masa depan sektor ini. Perlu terobosan terlebih RUU Migas ada beberapa pasalnya yang telah dibatalkan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga termasuk posisi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Ini harus fokus diselesaikan dengan mengutamakan kepentingan negara," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Sabtu (22/10).

Dalam hal ini, ada beberapa aspek yang mestinya memang harus dipikirkan para pembuat UU. Pertama, posisi negara dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus diperkuat. Hal ini terkait dengan prinsip dasar dalam Pasal 33 UUD 45 yang menegaskan salah satunya kekayaan alam adalah milik negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, harus ditegaskan hak kepemilikan migas ada pada negara dan negara harus memperoleh keuntungan.

Terkait hal ini, seharusnya Pertamina, sebagai badan usaha milik negara, mendapatkan prioritas dalam upaya mengelolaan migas. Sayangnya dalam UU Migas yang berlaku saat ini, Pertamina justru diposisikan sama dengan kontraktor asing yang harus mengikuti tender. Hal ini dinilai sangat merugikan negara selaku pemegang 100 persen saham Pertamina.

Hal-hal semacam itu, diakui anggota Komisi VII DPR Kurtubi memang menjadi perdebatan alot diantara fraksi-fraksi di DPR. "Lambatnya revisi UU Migas tidak bisa terhindarkan, karena seluruh fraksi di Komisi VII memiliki argumen dan pandangan terkait poin-poin revisi," kata Kurtubi beberapa waktu lalu.

Dia mengakui, posisi pemerintah terkait kuasa pertambangan migas memang menjadi posisi paling krusial. Sesuai mandat konstitusi, kata Kurtubi, pemerintah tidak boleh terlibat dalam kegiatan hulu migas, tetapi punya kepanjangan tangan dengan menugaskan badan usaha khusus milik negara.

“Nah, pembicaraan mengenai status badan usaha inilah yang menyita waktu. Sejumlah fraksi mengusulkan dibentuk badan usaha khusus dan beberapa fraksi mendorong pemanfaatan BUMN yang sudah ada,” ujarnya. Kurtubi pun mengusulkan agar badan usaha khusus tersebut diserahkan kepada Pertamina.

Sementara poin penting lainnya, seperti pernah diungkapkan mantan Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika, adalah terkait badan-badan yang mengatur kegiatan sektor hulu migas. Ada beberapa poin yang diusulkan terkait ini yaitu pemerintah menghapus Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan mengembalikan tugas dan fungsinya ke Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM.

Kedua, pemerintah juga menghapus keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan meleburkannya ke tubuh Pertamina. "Dibubarkannya BP Migas, semua terkait BP Migas dicabut, ini bagaimana kedudukan hukum BP Migas digantikan SKK Migas, sekarang kontra belum diamandemen itu menimbulkan masalah hukum," papar Kardaya.

Selain masalah itu, poin penting lainnya yang dibahas adalah terkait memberlakukan kembali konsep lex specialis di industri migas. Kemudian mempercayakan kewenangan agregasi gas bumi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sahamnya dimiliki penuh oleh pemerintah.

"Terakhir adalah memberikan hak kepada perusahaan negara untuk memonetisasi kekayaan alam (migas) yang ada di perut bumi Indonesia dengan pencatatan yang transparan," ujarnya.

TERBITKAN PERPPU - Direktur Eskskutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengakui, pembahasan revisi UU Migas memang akan berjalan alot dengan banyaknya kepentingan di DPR. "Saya berharap pemerintah dan DPR secepatnya menentukan waktu RUU Migas tersebut disahkan menjadi UU,” kata Komaidi kepada gresnews.com, Sabtu (22/10).

Terkait persoalan pelaksana kegiatan hulu migas, dia menegaskan, semuanya terserah pemerintah apakah badan usaha milik Negara (BUMN) berdiri sendiri atau digabungkan dengan PT Pertaminan (Persero) yang telah berpengalaman. Nah, sementara mengisi kekosongan aturan hukum, dia menyaranan agar pemerintah menerbitkan aturan yang sifatnya sementara. "Sementara pembahasan revisi UU Migas tak berjalan di DPR, lebih baik pemerintah terbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu)," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi. Dia menegaskan, jika proses revisi UU Migas tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat, ia menyarankan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Ini sekaligus untuk menyelamatkan nasib SKK Migas, sehingga amanat Mahkamah Konstitusi (MK) dapat segera dilaksanakan, mengingat status lembaga SKK Migas yang masih bersifat sementara. "Ini kan nyatanya proses revisi UU sudah bertahun-tahun. Dan ini sudah merupakan amanah dari MK, tapi nggak pernah selesai. Nah saya menduga ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan perubahan tadi, dan kemudian menghambat dengan cara yang halus," ungkapnya.

"Karena dulu sejarahnya penyusunan UU itu tidak lepas dari intervensi pihak-pihak asing yang menguntungkan mereka. Saya khawatir ini terulang. Kalau kemudian ini sampai berlarut-larut, maka tepat bagi Presiden untuk membuat Perppu tadi. Akan lebih cepat. Paling nggak menyelamatkan SKK Migas yang bukan lembaga yang legal lagi sekarang ini. Karena sudah dibatalkan oleh MK. Jadi ada urgensi untuk membuat Perpu tadi," pungkasnya.

Sementara itu, Kurtubi, juga meminta pemerintah mencari alternatif kebijakan jika revisi UU migas tak juga berjalan. "Misal sekarang yang paling mendesak RUU migas harus segera diperbaiki. Kalau menunggu yang normal, lewat usulan DPR saya khawatir sampai akhir tahun ini selesai. Ada 10 fraksi berbeda pendapat yang susah titik temunya. Tapi kalau memang dianggap darurat, karena UU migasnya sudah cacat, keluarkan Perpu," tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu juga sudah mengajak Menteri ESDM Ignasius Jonan yang baru dilantik untuk segera memabahas UU Migas dan UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Menurutnya, kedua UU ini, khususnya UU Minerba, harus menjadi prioritas pemerintah karena dunia usaha memerlukan kepastian hukum. Apalagi sektor migas dan minerba adalah penyumbang terbesar pendapatan negara.

"Di Prolegnas (program legislasi nasional) ada dua UU yang harus kita bahas bersama, yaitu UU Migas dan UU Minerba. Ini 2 sektor yang kontribusinya sangat besar bagi penerimaan negara," kata Gus Irawan.

Gus mengingatkan, sektor minerba butuh kejelasan kebijakan dari pemerintah pasca 11 Januari 2017. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014), aturan turunan dari UU Minerba, mengatur bahwa relaksasi ekspor konsentrat hanya berlaku sampai 11 Januari 2017.

"PP 1/2017 pun sesungguhnya bertentangan dengan UU Minerba, dan hanya berlaku sampai 11 Januari 2017. Harus segera disusun payung hukum baru. Tidak boleh terjadi kevakuman," tegas Gus Irawan. (dtc)

BACA JUGA: