JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai industri hasil tembakau dan memangkas produksi rokok pada 2017 mendatang, akan memperburuk kondisi petani tembakau. Kebijakan yang telah sahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No 147/ PMK.010/2016 dipandang akan merugikan petani tembakau dan akan menekan pengusaha dan pabrik rokok kecil. Kendati pemerintah akan semakin diuntungkan dengan kebijakan itu.

Ketua AMTI, Budidoyo mengatakan, kebijakan itu akan memperburuk keadaan, karena selama dua hingga tiga tahun tren  produksi rokok semakin turun.   

"Sementara pemerintah akan semakin dominan menyerap hasil penjualan rokok dari pabrikan,"ujar Budidoyo kepada gresnews.com, Jumat (7/10) malam.

Menurutnya meski AMTI sempat dilibatkan dan dimintai pendapa saat merancang kebijakan cukai rokok 2017 oleh pemerintah. Namun pihaknya mengaku kecewa, sebab keputusan akhir tidak seperti yang diharapkan bagi para pelaku industri tembakau.

"Padahal sebelumnya Kami minta cukai naik hanya 5-6 persen sesuai dengan inflasi," ujarnya.

Lanjutnya, meskipun untuk tarif cukai kategori Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan III tidak dinaikkan. Tetapi pabrikan kecil tetap sulit untuk dapat bertahan,  karena dari sisi produksi ada pemangkasan produksi secara signifikan.

Menurutnya, bagi perusahaan rokok besar yang memproduksi rokok dengan mesin. Meski kenaikan cukainya sangat tinggi, namun mereka masih dapat bernafas, karena kuota produksinya ditingkatkan sangat signifikan.

Kenaikan cukai yang tinggi juga semakin memojokan petani tembakau, sebab kenaikan itu juga diikuti dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN),"Rencana pemerintah juga akan menaikkan tarif PPN rokok dari 8,7 persen menjadi 10 persen, dari harga jual eceran ( HJE)," ungkapnya.

ROKOK ILEGAL JADI SUBUR - Budidoyo mengungkapkan bahwa pembatasan produksi dan kenaikan tarif cukai yang dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi rokok dinilai tidak akan efektif. Sebab kebijakan yang semakin ketat dan memberatkan pihak pabrik rokok, maka yang terjadi rokok ilegal akan semakin subur.

Dia menambahkan, dari catatan kajian Universitas Gajah Mada (UGM, total rokok yang diproduksi dan beredar di seluruh Indonesia  setiap tahunnya hampir mencapai 350 miliar batang. Namun dari jumlah rokok yang dipasarkan tersebut, terdapat sekitar 11 persen atau hampir 40 juta miliar batang merupakan rokok ilegal.

"Kalau konsumen tidak dapat rokok yang harganya sesuai dengan kantong mereka, maka mereka mencari rokok yang lebih murah, sehingga muncul rokok ilegal," tuturnya.

Menurutnya dengan kebijakan terhadap industri rokok tersebut, pihak yang paling diuntungkan adalah pemerintah. Sebab terdapat 70 persen dari hasil produksi dan penjualan rokok masuk ke kas negara melalui pungutan cukai dan pajak.

"Jadi hanya 30 persen dari hasil penjualan rokok, yang mengalir ke pabrik. Ke  petani, bahkan akan lebih kurang dari itu," Tambah Budidoyo.

Ia menjelaskan bahwa industri merupakan satu kesatuan, ketika ada kebijakan di hilir maka akan berimbas ke hulu. Begitu juga sebaliknya. "Soal kenaikan cukai yang tinggi juga akan mengakibatkan penurunan konsumsi rokok otomatis produksi akan turun,  sehingga serapan terhadap bahan baku juga turun," ungkapnya.

Menurutnya, bahwa berapa pun kenaikan cukai yang ditetapkan. Sekitar 70 persennya dinikmati pemerintah berupa pemasukan cukai, pajak daerah, PPN dan Pph.

"Jadi kenaikan cukai tidak serta merta menaikkan pendapatan petani justru yang terjadi sebaliknya. Belum lagi kebijakan itu akan berdampak pada maraknya peredaran rokok ilegal," tambahnya.


KONSUMEN, PETANI DAN INDUSTRI RUGI - Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulfan Kurniawan juga menilai kebijakan kenaikan cukai rokok ini akan merugikan  konsumen, Petani dan industri. Hal ini akibat dari daya beli konsumen yang menurun di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.

Sementara pemerintah menjadi pihak yang menerima manfaat paling banyak dari kebijakan ini. Untuk itu Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek meminta pemerintah menggali pendapatan cukai dari sektor lain. "Dalam sejarah jaman penjajahan saja gula pernah dikenakan cukai," kata Zulfan kepada gresnews.com, Sabtu (8/10).

Selain itu kebijakan penurunan produksi juga masih belum jelas akan menggunakan mekanisme apa. "Karena setiap perusahaan tidak mungkin menurunkan jumlah produksi di tengah kebijakan pemerintah menaikkan target pendapatan cukainya," ujarnya.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah mengumumkan  sejumlah kenaikan tarif cukai rokok pada 2017 mendatang. Aturan itu telah disahkan dalam peraturan Menteri Keuangan No 147/ PMK.010/2016. Dalam kebijakan baru itu, kenaikan tarif tertinggi sebesar 13,46 persen ditujukan untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata sebesar 10,54 persen.

Selain kenaikan tarif cukai, harga jual eceran (HJE) juga dinaikkan, kenaikan rata-rata sebesar 12,26 persen. "Yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kenaikan adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai," ujar Sri Mulyani, di Kantor Ditjen Bea dan Cukai beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: