JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik Kejaksaan Agung saat ini tengah berupaya mencari dalang kasus penjualan aset milik negara seluas 4,8 hektare di Jalan Kalimalang Raya, Kelurahan Lembangsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Adhi Karya (Tbk). Aset tersebut diketahui dijual ke seorang pengusaha bernama Hiu Kok Ming.

Aset tersebut awalnya merupakan milik Kementerian Pekerjaan Umum yang kemudian dialihkan ke Adhi Karya sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun entah dengan alasan apa, Adhi Karya malah menjual aset tersebut ke Hiu Kok Ming. Kasus penjualan aset negara itupun kemudian terendus pihak Kejaksaan Agung dan penyidik Kejagung saat ini tengah melakukan pemeriksaan intensif terhadap para saksi.

Ada 10 orang saksi yang telah diperiksa untuk mengungkap dalang kasus penjualan aset yang diduga rugikan negara sebesar puluhan miliar itu. Para saksi kebanyakan dicecar soal status aset tersebut. Salah satu saksi yang ditanya pihak penyidik terkait status aset tersebut adalah Asisten Deputi Layanan Hukum Kementerian BUMN Dwi Ary Purnomo.

"Yang bersangkutan diperiksa terkait status tanah yang dialihkan oleh PT Adhi Karya seluas 4,8 hektare, sebab aset itu milik Departemen PU tapi dijual ke pihak lain," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, Rabu (5/10).

Rum memaparkan, dalam kasus ini ditemukan unsur melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara. Dan saat ini penyidik terus memperkuat bukti-bukti untuk menetapkan orang yang paling bertanggung jawab. "Jika cukup bukti tentu penyidik akan tetapkan tersangkanya," kata mantan Wakajati DKI Jakarta ini.

Namun Rum menyatakan, Kejaksaan Agung tak akan buru-buru tetapkan tersangka hingga bukti-bukti cukup. Sebelumnya penyidik juga telah memeriksa Matnur Ismail yang saat itu menjabat sebagai Camat Tambun Selatan. Selain itu penyidik memeriksa R. Yanceu Herlianti selaku Kepala Desa saat itu.

Kasus penjualan aset milik negara oleh PT Adhi Karya ini terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi pada 2015 silam. Saat itu PN Bekasi menggelar sidang perkara penipuan dan penggelapan dengan terdakwa, Njio Tjat Tjin alias Iskandar yang dituding merugikan Hiu Kok Ming selaku pelapor hingga miliaran rupiah.

Dalam persidangan disebutkan, salah satu direksi PT Adhi Karya menjual tanah yang terletak di Kampung Buaran, Kelurahan Lambang Sari, Kecamatan Tambun Selatan yang merupakan aset milik perusahaan negara itu kepada Hiu Kok Ming dengan harga Rp15,86 miliar.

Perjanjian jual beli tersebut dilakukan PT Adhi Karya di hadapan Notaris Kristono SH.Mkn. Dalam akta jual beli itu disebutkan, pihak PT Adhi Karya bertindak mewakili perusahaan BUMN itu untuk melakukan pengalihan dan pengoperan terhadap aset negara kepada Hiu Kok Ming.

Namun ironisnya, jual beli yang dilakukan PT Adhi Karya itu ternyata tidak dilaporkan ke pihak Kementerian BUMN. Padahal, sesuai PP RI No 3 tahun 1997 tentang penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan perseroan harus ada izin dari Kementerian BUMN. Sehingga dalam hal ini pihak PT Adhi Karya terkesan mengabaikan dan menabrak peraturan pemerintah.

PT Adhi Karya dalam melakukan penghapusan aset negara milik PT Adhi Karya disinyalir melakukan kongkalikong dengan Hiu Kok Ming. Pasalnya, penjualan aset milik perusahaan milik negera itu dilakukan dengan penuh rekayasa. Penjelasannya, bukti-bukti perjanjian pengalihan dan pengoperan hak atas tanah di Notaris Kristono SH.Mkn antara PT Adhi Karya dengan Hiu Kok Ming dilakukan pada tanggal 14 Desember 2012. Sementara, perjanjian pengikatan jual beli antara Hiu Kok Ming dengan Widjijono Nurhadi itu terjadi pada 1 November 2012 di hadapan Notaris Priyatno SH.Mkn.

Dari situ diketahui, pihak Hiu Kok Ming terlebih dahulu melakukan penjualan tanah kepada Widjijono Nurhadi, sebelum PT Adhi Karya melakukan pengalihan dan pengoperan tanah negara tersebut. Selain itu, ada selisih harga dalam penjualan tanah negara itu yang mengakibatkan kerugian negara. Sebab, Hiu Kok Ming menjual tanah tersebut seharga Rp77,5 miliar. Sementara PT Adhi Karya menjual kepada Kok Ming hanya dengan harga Rp15,86 miliar.

BANYAK DIDERA KASUS - Kasus penjualan tanah milik negara oleh Adhi Karya ini semakin memperpanjang daftar kasus yang mendera perusahaan konstruksi milik negara itu. Sebelum kasus ini merebak, Adhi karya juga dibelit beberapa kasus korupsi.

Yang terbesar tentu saja kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang yang menyeret mantan Direktur Operasi I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, dalam kasus ini, negara dirugikan hingga Rp463 miliar.

Selain Teuku Bagus yang yang terjerat Hambalang, beberapa petinggi Adhi Karya lain juga pernah terlibat kasus korupsi. Seperti mantan Kepala PT Adhi Karya Wilayah VII Imam Wijaya Santosa divonis 5 tahun di Pengadilan Tipikor Denpasar. Kasusnya adalah korupsi klaim asuransi yang harusnya dimasukkan ke dalam rekening PT Adhi Karya Divisi Konstruksi VII, namun dimasukkan dalam rekening pribadinya. Akibatnya, sejak 2012 negara dirugikan sebesar Rp900 juta.

Kemudian ada juga kasus mantan Kepala Cabang V PT Adhi Karya Wilayah Jateng dan DI Yogyakarta yang divonis 5 tahun di Mahkamah Agung. Ia terlibat kasus penyuapan kepada Bupati Kendal Hendy Boedoro dan Kepala DKPD (Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah) Kendal Susilo Rp13,5 miliar.

Banyaknya kasus yang mendera PT Adhi Karya ini tentu bertolak belakang dengan slogan yang digaungkan Komisaris Utama PT Adhi Karya Fadjroel Rachman yang ingin membangun Adhi Karya bebas korupsi. Begitu diangkat, Fadjroel langsung  mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mengaku kedatangannya untuk melaporkan harta kekayaan sekaligus berupaya menggandeng KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di perusahaan milik BUMN tersebut.

Fadjroel mengaku tak ingin perusahaan yang kini menjadi tanggung jawabnya kembali terseret kasus korupsi. Untuk itu, Fadjroel pun ingin bekerja sama dengan KPK untuk membangun sistem dan mengawasi kinerja PT Adhi Karya.

"Kerja samanya dalam mengontrol pengadaan barang jasa, keterlibatan nanti di dalam tender segala macam, betul-betul mengikuti kaidah sesuai dengan prinsip jadi tidak ada gratifikasi, dan korupsi," kata Fadjroel beberapa waktu silam.

Fadjroel ingin menjadikan Adhi Karya sebagai perusahaan BUMN yang bersih dan bekerja dengan prinsip good governance. Menurut dia, sebagai perusahaan yang sudah go public,  saham Adhi Karya akan merosot jika tidak menjalankan prinsip tersebut.

Apalagi, lanjut dia, Presiden Joko Widodo telah berpesan padanya untuk menjadikan Adhi Karya sebagai perusahaan BUMN yang bersih dan meraih untung. Sayangnya, niat itu masih seperti jauh panggang dari api, bukannya bersih dari korupsi, Adhi Karya lagi-lagi malah terjerat kasus korupsi.

BACA JUGA: