JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyadari terdapat ketidakharmonisan sejumlah peraturan perundang-undangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan operasional BUMN dalam pelaksanaannya saling berbenturan dengan peraturan lainnya.

Hal itu berakibat pada munculnya perbedaan penafsiran yang akan berpengaruh terhadap kepastian hukum di bidang pengurusan, pengawasan, dan pembinaan BUMN. Dalam Rencana dan Strategis BUMN tahun 2015-2019 disebutkan tantangan yang paling berpengaruh, diantaranya persepsi pemerintah daerah yang masih menganggap BUMN sebagai institusi publik. Hal itu memunculkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat BUMN untuk beroperasi layaknya korporasi.

Dari Rencana Strategis itu juga dicatat bahwa tantangan yang perlu mendapat perhatian adalah Kementerian BUMN tidak lagi merupakan kementerian yang memonopoli pembinaan terhadap perusahaan BUMN.  Mengingat adanya badan lain yang menyerupai BUMN yang tidak di bawah pembinaan Kementerian BUMN. Badan tersebut berupa Badan Layanan Umum (BLU), Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Usaha Milik Negara lainnya.

Upaya pembinaan dan pengawasan BUMN juga tidak dapat dilepaskan dari isu deregulasi sektoral. Beberapa BUMN yang selama ini menikmati fasilitas perlindungan usaha dari pemerintah harus memulai berbenah dan meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi persaingan usaha. Untuk itu perlu ada harmonisasi kebijakan baik dengan pengambilan kebijakan pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Selain itu, dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN terdapat 22 hal yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan sehingga diperlukan revisi. Aturan itu dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perekonomian yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional.

Ketentuan  yang perlu direvisi dalam Revisi UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, diantaranya:

1. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan
2. Modal Perum tidak terbagi atas saham
3. Pengertian Menteri, maksudnya menimbulkan kerancuan karena secara prinsip Menteri dapat berkedudukan sebagai pemegang saham dan sekaligus pejabat publik
4. Rumusan pengertian persero
5. Istilah privatisasi. Maksudnya, privatisasi diartikan sebagai penyerahan kepemilikan saham kepada masyarakat. Hal ini kurang sejalan dengan protokol pasar modal yang mengartikan go private sebagai pengembalian saham.
6. Maksud dan tujuan pendirian BUMN
7. Perlakuan khusus terhadap BUMN dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang ikut mengatur BUMN.
8. Sumber penyertaan modal negara terhadap BUMN
9. Penegasan pemberlakuan sistem pengelolaan PT terhadap pengelolaan persero.
10. Penegasan menteri sebagai wakil negara selaku pemegang saham
11. Calon anggota Direksi dari internal perusahaan
12. Larangan jabatan rangkap dalam kampanye pemilu
13. Banyak ketidakjelasan dalam pengaturan Perum
14. Saham BUMN menjadi penyertaan modal pemerintah pusat dalam rangka pendirian BUMN
15. Penetapan unit instansi pemerintah sebagai BUMN
16. Ketentuan PSO (Public Service Obligation)
17. Pemeriksaan eksternal
18. Karyawan BUMN yang diangkat menjadi Direksi
19. Ketentuan direksi, dewan komisaris, dewan pengawas, dan karyawan bukan sebagai penyelenggara dan pemerintah
20. Penegasan piutang BUMN bukan piutang negara
21. Sinergi BUMN, dimana dalam UU BUMN belum mengatur masalah ini
22. Permohonan pailit terhadap BUMN. 

POSISI KEUANGAN BUMN - Menanggapi hal itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan saat ini perusahaan BUMN Indonesia bukan berada pada zaman Orde Baru yang menjadikan perusahaan BUMN sebagai ´sapi perah´. Saat ini perusahaan BUMN dikelola oleh orang-orang profesional.

Di satu sisi, jika keuangan negara masih tetap dijadikan satu dengan keuangan BUMN dampaknya akan banyak orang pintar yang berpotensi sebagai direksi akan takut menduduki posisi tersebut, karena jika perusahaan BUMN mengalami kerugian maka akan dianggap sebagai kerugian negara dan dikenakan hukuman tindak pidana korupsi.

"Bisa saja kerugian yang dialami perusahaan BUMN dikarenakan lalai, tidak sengaja sehingga menyebabkan kerugian negara," kata Hikmahanto kepada gresnews.com, Jakarta, Rabu (4/5).

Hikmahanto mengatakan adanya korupsi baik di sektor publik maupun sektor swasta harus dapat dibuktikan dengan adanya niat jahat dan perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Jika mengacu kepada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak tercermin keharusan untuk membuktikan adanya niat jahat. Kemudian dalam kedua pasal tersebut tidak ditemukan istilah ´dengan sengaja´.

Meski UU Tipikor tidak mencantumkan kata-kata ´dengan sengaja´ maka dalam tindak pidana korupsi harus tetap dibuktikan dengan niat jahat untuk memperkaya secara tidak sah. Bila tidak, kelalaian bahkan kerugian karena keputusan bisnis dalam BUMN akan berujung pada adanya tindak pidana korupsi.

"Inilah yang terjadi pada sejumlah direksi BUMN yang menghadapi kasus hukum. Sebagian dari mereka mendapat putusan bebas dari pengadilan, mereka harus menghadapi proses hukum karena dianggap merugikan negara," kata Hikmahanto.

Namun di lain pihak,  peneliti ICW Donal Fariz menjelaskan ada perubahan terhadap Pasal 2 huruf G dan I UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 6 Ayat (1), Pasal 9 Ayat (1) huruf b, Pasal 10 Ayat (1) dan (3) huruf b serta Pasal 11 huruf A UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, nantinya akan menjadikan posisi BUMN menjadi swasta dan tidak masuk ke dalam keuangan negara.

Donal menambahkan BPK nantinya tidak bisa melakukan audit keuangan negara, sehingga jika BUMN melakukan penyimpangan maka negara tidak bisa lagi melakukan pengawasan terhadap BUMN. "Peran BUMN akan sulit diawasi dan praktik suap serta praktik korupsi tidak bisa dijerat," ujar Donal kepada gresnews.com.

BACA JUGA: