JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga kini masih menunggu surat jawaban dari Inpex Corporation terkait reaksi pemerintah atas permintaan perusahaan asal Jepang tersebut dalam pengembangan fasilitas kilang Liquefied Natural Gas (LNG) Blok Masela. Seperti diketahui, sebelumnya, Inpex mengajukan tiga permintaan terkait pengelolaan blok Masela.

Pertama, Inpex meminta agar Internal Rate of Return (IRR) dapat naik menjadi 15 persen. Kedua, penambahan kapasitas kilang LNG dari 7,5 MTPA (million tonnes per annum) ke angka 9,5 MTPA. Ketiga, pengembalian biaya penyusunan rencana pengembangan (PoD) kilang LNG skema offshore yang dikategorikan sebagai sunk cost sebesar US$1,2 miliar dan penggantian kontrak bagi hasil produksi (production sharing Contract/PSC) selama sepuluh tahun.

Wakil Menteri (Wamen) ESDM Arcandra Tahar mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum juga menerima surat jawaban dari Inpex mengenai sejumlah usulan terkait pengembangan Blok Gas Abadi Masela yang ada di Maluku itu. Dia menyebutkan, pihak Inpex mungkin saja sudah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM, Igansius Jonan.

"Untuk surat dari Inpex saya belum terima, kemungkinan langsung ke Pak Menteri," kata Arcandra, di Kantornya Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/1).

Terkait permintaan Inpex itu, pemerintah memang sudah menegaskan sikapnya. Soal permintaan perpanjangan kontrak selama 10 tahun, pemerintah sudah menegaskan tak akan memberikan perpanjangan yang diminta. Inpex sendiri meminta perpanjangan itu dengan alasan ada waktu yang hilang akibat pergantian skema pengembangan Masela dari offshore menjadi onshore.

Pemerintah menegaskan, pemerintah tetap akan menambah durasi kontrak sebagai pengganti waktu yang hilang, walau tak sampai 10 tahun. "Tadi dengan Pak Jonan kita bicara masalah Masela. Jadi masih ada 2 pending issues, pertama mengenai moratorium kontrak 10 tahun yang diminta Inpex, kita sudah punya jalan keluarnya. Nggak kita kasih 10 tahun lah, tapi nanti ada," kata Menko Maritim Luhut Pandjaitan, beberapa waktu lalu.

Hal senada juga disampaikan Arcandra Tahar. Arcandra menambahkan, pemerintah tak mau memberi perpanjangan kontrak 10 tahun kepada Inpex karena waktu yang hilang akibat pergantian skema pengembangan tidak sampai 10 tahun. Selain itu, kajian untuk pengembangan Masela pun tak diulang dari nol hanya karena perubahan skema dari offshore menjadi onshore.

Tambahan durasi kontrak akan diberikan pemerintah sesuai dengan lamanya waktu yang hilang akibat pergantian skema tersebut. "Hitungan kita nggak segitu karena sewaktu di-switch dari offshore ke onshore nggak semuanya hilang, masih banyak komponen yang bisa dipakai sekarang, sebagian besar. Kita akan kasih tapi tidak 10 tahun," terang Arcandra.

Soal peningkatan kapasitas produksi gas Masela dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA yang diusulkan Inpex, Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah setuju untuk menaikkannya, tetapi tak sampai 9,5 MTPA seperti keinginan Inpex. Pemerintah akan menghitung dulu berapa tambahan pasokan gas yang dibutuhkan. "Plan-nya kan 7,5 MTPA, kita lagi hitung butuh tambahan berapa. Lebih dari 7,5 MTPA, tapi nggak sampai 9,5 MTPA," kata Jonan.

Inpex beralasan, peningkatan kapasitas produksi ini diperlukan supaya pengembangan Masela dengan skema onshore bisa memenuhi skala keekonomian. Terkait hal ini, Luhut mengungkapkan, kapasitas kilang yang disepakati hanya 7,5 MTPA ditambah 474 MMBTU untuk gas industri.

JANGAN TURUTI INPEX - Soal permodalan, Luhut menjelaskan, proyek Blok Masela termasuk industri pendukungnya akan menelan biaya sebesar US$25 miliar atau sekitar Rp325 triliun dengan kurs US$1=Rp13.000. "Capex (Capital Expenditure/belanja modal) kira-kira US$16 miliar. Kita akan turun ke industri petrokimia sampai pupuk yang kira-kira habiskan US$9 miliar. Sehingga total US$25 miliar," ujar Luhut.

Selain itu, kapasitas produksi yang diberikan sebesar 7,5 mtpa (million tonnes per annum), dan 474 mmscfd (million standard cubic feet of gas per day). Luhut berharap, sektor industri bisa maksimal menyerap produksi gas dari Blok Masela.

"Ini akan berjalan mulai pada pre-FEED (Pre-Front-End Engineering and Design) akan diselesaikan antara 2017-2018, FID (Final Investment Decision) kuartal I-2019 paling lambat dengan commercial operation paling lambat 2022," terang Luhut.

Soal, tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return /IRR), Arcandra mengatakan, IRR Blok Masela belum mencapai 15 persen sesuai dengan keinginan Inpex. Hanya saja, menrut dia, angka tersebut masih dalam tahap wajar. Toh, menurut dia, Inpex tidak keberatan dengan besaran IRR di bawah 15 persen. "Kami tidak pernah mematok mematok IRR 15 persen. Kurang dari itu," jelas Arcandra.

Terkait permintaan Inpex itu, Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, pemerintah harus tetap ngotot untuk tidak menuruti kemauan Inpex. Sikap tegas pemerintah, kata dia, harus ditunjukkan ketika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Minggu (15/1) mendatang, untuk membahas sejumlah kesepakatan Blok Masela.

"Kalau pemerintah harus ngotot seperti Blok Masela, dikontrak atau perpanjangan kontrak selama tujuh tahun, jangan mau sampai 10 tahun sesuai permintaaan Inpex," kata Uchok kepada gresnews.com, Kamis (5/1).

Kata Uchok, pengembangan atau pengerjaan tetap harus melalui pipa di darat, atau sistem onshore sebagaimana diputuskan pemerintahan. "Kemudian, kalau Inpex tidak mau, dengan persyaratan di atas, bisa dikasih kepada perusahaan lain, atau diberikan kepada Pertamina," jelasnya.

Selain itu, kata dia, dana sebesar US$1,2 miliar sebagai sunk cost yang diminta Inpex dikembalikan, bisa saja diberikan, namun harus diaudit dulu dana untuk studi eksplorasi ini. "Jangan-jangan dana sebesar US$1,2 miliar bukan untuk hanya studi, tetapi untuk mainkan opini publik, atau lobi-lobi politik, makanya perlu diaudit biar jelas arah belanja kemana saja," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: