JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemidanaan terhadap korporasi yang terlibat dalam perkara korupsi selama ini selalu menjadi wacana yang hangat, namun tak pernah ada implementasinya. Kerap kali, dalam sebuah kasus korupsi, pada pihak korporasi yang misalnya ketahuan menyuap pejabat negara, tanggung jawab pidana dilimpahkan pada orang-orang di manajemen. Itu pun jarang menyentuh posisi tertinggi semisal direktur utama atau pemilik perusahaan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun beberapa kali mengemukakan wacana untuk melakukan terobosan dengan memidanakan korporasi. Namun pada tataran aksi, hal itu belum terlihat. Dalam kasus suap terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta terkait reklamasi, misalnya, KPK hanya menyentuh mantan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja. Namun APL selaku korporasi, tetap beroperasi. 

Meski begitu, KPK sepertinya tetap tak kehilangan semangat untuk berupaya agar memiliki kekuatan hukum menindak korporasi. Untuk itu, para pimpinan KPK telah berbicara dengan Mahkamah Agung (MA) untuk menyusun Peraturan MA (Perma) yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dapat menjerat korporasi.

"Saya rasa mungkin tidak lama lagi ada peraturan dari MA yang mengatur pidana korporasi sebagai pelaku korupsi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa (9/8).

Alex mengatakan, selama ini dalam sebuah kasus korupsi yang paling banyak menikmati keuntungan adalah korporasi. Hal ini juga membuat negara sulit memulihkan kerugian negara karena kerugian negaranya dinikmati korporasi. "Dengan adanya Perma ini, bagaimana caranya supaya kita bisa menarik kerugian negara itu dari sektor korporasi kalau pelakunya itu melakukan tindak pidana atas nama korporasi atau melaksanakan tugas selaku pegawai atau pejabat sebuah korporasi perusahaan," ujarnya.

Nantinya, dasar hukum untuk menjerat kejahatan korporasi adalah dari Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Ayat (1) pasal tersebut diatur, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Menanggapi rencana KPK ini, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan apresiasinya. Menurut Fickar, ini adalah langkah positif yang diambil lembaga antirasuah itu untuk memberantas tindak pidana korupsi. Apalagi pemidanaan korporasi itu sendiri memang telah diatur oleh undang-undang.

Selain itu, korporasi adalah subjek hukum, sehingga bisa ditindak jika melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. "Itu bentuknya Perma (Peraturan MA-red), karena kalau aturan dasarnya UU hampir semua yang potensi tindak pidananya dilakukan korporasi sudah ada, seperti UU Tipikor, TPPU, terorisme, kehutanan, lingkungan hidup sudah ada," kata Fickar kepada gresnews.com, Senin (12/9).

Mengenai bagaimana tata cara peradilan itu sendiri, menurut Fickar, tidak jauh berbeda dengan peradilan yang dilakukan terhadap perseorangan. Korporasi akan lebih dulu dikaji mengenai identitas perusahaan tersebut. "Sudah banyak korporasi subjek hukum pidana. Orang yang diadili jelas, nama, tempat, warga negaranya apa, pekerjaannya itu kan jelas, yang menjadi subjek pidana korporasi, akta pendirian kapan, ya semua identitas perusahaan tapi ada juga perwakilan," terang Fickar.

Sedikit perbedaan untuk peradilan korporasi, menurut Fickar, adalah perwakilan. Suatu perusahaan yang tersangkut masalah hukum akan diwakilkan oleh salah satu direksinya dalam peradilan.

Majelis hakim akan bertanya seputar perbuatan yang dilakukan para direksi demi kepentingan perusahaan. Dan jika terbukti bersalah, maka hukuman yang dijatuhkan berupa pidana denda, seandainya ada kerugian negara maka juga akan dibebankan kepada korporasi tersebut.

"Bisa jadi diwakili atas nama diri sendiri atau korporasi, bisa juga atas nama korporasi, hukumannya korporasi denda. Yang paing keras terorisme dan TPPU, bisa dibubarkan, hanya ada di dua UU itu saja setahu saya," terang Fickar.

SEGERA TERBIT - Sebelumnya, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan pihaknya telah berdiskusi dengan sejumlah hakim agung untuk merumuskan tata cara peradilan bagi korporasi. Namun bagaimana tata cara serta poin yang dibahas, Yuyuk mengaku belum mendapat informasi secara rinci.

"Belum dapat draf lengkap, tapi Perma ini mengatur pemidanaan korporasi yang selama ini belum ada dan belum selesai," kata Yuyuk kepada wartawan.

Meskipun begitu, pembahasan mengenai peraturan ini menurutnya akan selesai dalam waktu dekat. Setelah selesai, MA akan mengirimkan Perma ini kepada sejumlah pengadilan khususnya yang menangani tindak pidana korupsi. "Mengenai Perma tentang pidana korporasi, masih dilakukan pembahasan dan mungkin akhir bulan ini akan selesai," ujarnya.

Salah satu Hakim Agung Surya Jaya dipergoki keluar Gedung KPK pada Kamis (8/9) lalu. Kepada wartawan, Surya mengakui bahwa dirinya dan para pimpinan sedang membahas mengenai tata cara peradilan korporasi. Surya Jaya mengatakan, draf Perma saat ini sudah selesai. Sehingga tinggal menunggu pengesahannya saja. "(Draf) sudah selesai. (Pengesahannya) ditunggu saja," kata Surya.

Dihubungi terpisah, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, selama ini hukum tidak begitu jelas menafsirkan apakah korporasi dapat dipidana atau tidak jika terlibat dalam kasus korupsi. Oleh karena itu, pihaknya bersama KPK membahas lebih jauh mengenai peraturan tersebut

Menurut Suhadi, selama ini baru UU Lingkungan Hidup yang bisa mendakwa korporasi. "Selama ini korporasi belum terjerat dalam UU Tipikor, karena kalau dihubungkan dengan ketentuan KUHP, hanya manusia yang menjadi subjek hukum," pungkasnya.

Padahal, UU Tipikor telah memasukkan korporasi sebagai subjek hukum. Contohnya adalah Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."

Suhadi menyatakan, draf Peraturan MA ini sudah hampir rampung, namun belum seutuhnya dibahas oleh MA. "Secepatnya (akan dibahas). Pembahasan draf tergantung aktivitas pembahasannya," kata Suhadi.

TUNTUNAN PENEGAK HUKUM - Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, peraturan MA mengenai pemidanaan korporasi akan menuntun penegak hukum terkait berbagai mekanisme penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan korporasi bermasalah. "Jadi bagaimana polisi, KPK, dan kejaksaan punya semacam pedoman saat masuk ke pengadilan," kata Syarif, Jumat (10/9).

Menurut Syarif, isi draf rancangan Perma yang sedang dibuat ini berisi prosedur penyelidikan, penjelasan mengenai siapa yang harus mewakili korporasi, dan bagaimana jika pengurus atau orang yang bertanggung jawab terhadap korporasi meninggal dunia serta aturan dan tata cara penyitaan aset milik korporasi.

Selain bagi aparat penegak hukum, Perma tersebut nantinya akan membantu para hakim. Majelis tentunya akan dimudahkan dalam memeriksa suatu perkara dan mengambil keputusan pada saat membacakan vonis di pengadilan.

"Hakim akan melihat bahwa ini sesuai dengan kisi-kisi yang dibuat dalam peraturan MA. Dengan demikian, hakim akan lebih jelas melihat perkara," tuturnya.

Pemidanaan korporasi, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, merupakan langkah untuk membuat efek jera dengan tujuan membuat tersangka korporasi mengalami kebangkrutan.

Sementara Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pembahasan prosedur soal itu sudah sampai tahap akhir. Aturan pemidanaan akan disampaikan ke sejumlah pihak, termasuk kepada korporasi.

BACA JUGA: