JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertainya, para anggota dewan justru optimistis RUU ini akan menjadi angin segar bagi pelaku industri tembakau di tanah air, khususnya para petani.

"Perlu dirancang secara matang tata niaga pertembakauan yang sehat dan kompetitif sehingga para petani bisa menerima nilai tambah yang layak dalam tata niaga pertembakauan," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Ichsan Firdaus dari Fraksi Golkar, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, banyak pula pihak yang menentang pengesahan RUU tersebut. Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Yayasan Jantung Indonesia, misalnya, meminta agar DPR menghentikan sama sekali pembahasan RUU Pertembakauan. Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Emil Salim mengatakan, RUU Pertembakauan membahayakan dan mendorong kecanduan dari masyarakat. Dia menilai ada penggabungan unsur tembakau sebagai budaya dan nikotin yang bersifat adiktif atau menyebabkan kecanduan.

Dua sisi yang beriringan seperti sisi mata uang ini memang masih terus membayangi rencana DPR mengesahkan RUU Pertembakauan. Di satu sisi, DPR beralasan masalah ini perlu diregulasi demi kepentingan petani tembakau, industri, pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Di sisi lain para penentang selalu mengingatkan soal bahaya merokok.

Bahkan beberapa waktu lalu, sempat muncul wacana menaikkan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus demi menekan jumlah perokok. Namun wacana ini juga menjadi kontroversi baru karena dinilai akan mematikan jutaan petani tembakau. Tak hanya bagi petani tembakau dan perokok, namun ancaman itu juga akan berdampak pada petani cengkeh di Indonesia. Karena, produksi cengkeh sebagian besar juga dipakai oleh industri rokok.

Berbagai kontroversi soal tembakau inilah yang menjadi bahasan hangat dalam diskusi yang bertajuk Politik Tembakau: Defisit Anggaran vs Perang Kepentingan yang digelar di PARA Syndicate, di Jakarta Selatan, Jumat (2/9). Bagi para pendukung RUU Pertembakauan, regulasi yang baik sangat penting agar petani dilindungi, dan di sisi lain, industri tetap bisa berjalan sehingga roda ekonomi bergerak.

Regulasi juga dinilai penting karena persoalan tembakau tak hanya menyangkut masalah ekonomi dan kesehatan tetapi juga persoalan kebudayaan kretek di Indonesia.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Wisnu Brata menuturkan, dalam konteks ini, wacana seperti menaikkan harga rokok, jika benar dilakukan, dapat dipastikan berdampak juga terhadap petani tembakau. Dengan begitu, negara akan kehilangan pemasukan dari industri rokok.

Dia menekankan sumbangan industri rokok sangat besar bagi keuangan negara. Sejumlah Rp147 triliun masuk ke negara dari industri rokok atau sekitar 11 persen dari APBN. Jika ini hilang, negara terancam merugi. "Padahal, negara belum memiliki skema mengalihkan pendapatan negara jika industri rokok terabaikan," katanya.

Makanya, lanjut Wisnu, APTI mendorong RUU pertambakauan agar bisa memproteksi kepentingan petani tembakau lokal. Misalnya, dalam RUU itu diatur besaran berapa yang diperbolehkan impor sehingga tidak membuat ancaman bagi petani tembakau lokal.

Kalau proteksi ini tidak dilakukan oleh pemerintah, melalui regulasi yang baik maka bisa saja bibit tembakau dari China akan masuk ke Indonesia. Pasalnya, industri pasti akan mencari bahan baku yang murah. Kalau ini dibiarkan pemerintah maka ini akan mengancam petani tembakau di Indonesia.

Bahkan Wisnu menyampaikan, saat ini, China tengah mengembangkan bibit-bibit tembakau unggulan Indonesia di sana. Dengan begitu, jika persoalan pertambakauan tidak diperhatikan maka gempuran tembakau asing akan mengambil kesempatan itu. "Ada bibit tembakau unggulan yang ditanam di China seluas 200 ribu hektare. Pasti ini ancaman buat kita. Kalau tidak ada pengendalian impor tembakau saya khawatir tembakau di Indonesia akan menjadi legenda," terangnya.

Selain itu, Wisnu juga mendorong agar tembakau impor tidak mendominasi. Karena jika tidak diatur melalui regulasi maka petani tembakau di Indonesia akan terancam punah. Bahkan dia menyebut, derasnya tembakau impor yang masuk ke Indonesia.

"Hampir 60 persen bahan baku (tembakau) impor menurut bea cukai. Karena kalau sudah melewati 60 persen negara sudah tidak bisa berdaulat lagi. Negara akan kesusahan mengatur," tuturnya.

Menurut Wisnu, persoalan tembakau bukan saja menyentuh aspek kesehatan. Namun menjadi perdebatan tentang kedaulatan negara. "Di sini pemerintah harus hadir dengan melakukan perlindungan terhadap petani. Karena bicara rokok bukan saja bicara aspek kesehatan tapi juga kedaulatan negara," ujarnya.


PERLU KAJIAN KOMPREHENSIF - Menanggapi itu, Ketua DPP NasDem Ferry Mursyidan Baldan menyatakan pentingnya kajian yang komprehensif terkait RUU Pertambakauan. Menurutnya, regulasi yang dibuat jangan memerangi atau memberangus tapi mengatur.

"Menegaskan perlindungan pada petani tembakau. Artinya melindungi rakyat yang menggantungkan pada sumber alam yang ada di Indonesia," katanya.

Ferry juga menekankan perlunya melakukan transparansi tentang jumlah cukai yang dihasilkan dari industri rokok. Menurutnya, itu akan menekankan pada akuntabilitasnya. Selama ini orang tak bisa mengetahui berapa yang dibayar oleh perokok dari setiap bungkusnya. "Yang ditulis di bungkus rokok itu bukan bandrolnya tapi berapa cukainya per bungkusnya," usul Ferry.

Ferry menyebut, ada ketidaktepatan berpikir dalam wacana menaikkan harga rokok yang merebak belakangan ini. Dia menolak bahwa rokok selalu dikaitkan dengan persoalan kesehatan. Pasalnya, jangan sampai petani yang memiliki tanah yang subur untuk tanaman tembakau justru dilarang menanam.

"Apakah negeri yang subur tembakau dilarang mengembangkan tembakau?" ujarnya. Dia mencontohkan seperti produksi minyak nabati dari sawit, permintaannya selalu menanjak. Maka salah sendiri jika kesempatan itu tidak dimaksimalkan dan pada akhirnya nanti justru dinikmati oleh asing.

Selain itu, Dahlan Said dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia, menyatakan wacana kenaikan harga rokok akan berdampak juga pada petani cengkeh. Pasalnya untuk sebagian besar cengkeh yang dihasilkan oleh petani dijual pada industri rokok. "94 persen cengkeh itu digunakan pada industri rokok. Sedangkan 6 persennya baru ke industri kosmetik, rempah," ungkap Dahlan.

Wacana kenaikan harga rokok, menurut Dahlan, tak hanya mengguncang petani tembakau. Namun juga berpengaruh terhadap keberlangsungan 1,4 juta petani cengkeh di Indonesia.

BACA JUGA: