JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana kenaikan harga rokok terus menjadi polemik dan memicu beragam reaksi masyarakat. Pihak-pihak yang mendukung kenaikan harga rokok berpendapat menaikkan harga rokok setinggi-tingginya adalah langkah penting untuk menyiapkan masa depan generasi bangsa yang lebih sehat. Sementara itu pihak-pihak yang mempersoalkan kenaikan harga rokok menuding wacana itu terkait dengan agenda pihak asing untuk mengguncang stabilitas dalam negeri.

Dua pendapat itu setidaknya mengemuka saat digelar diskusi bertajuk Harga Rokok Naik Untuk Siapa? di Cikini, Jakarta, Sabtu (27/8).  

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendukung kenaikan harga rokok, mengingat dampak buruk yang disebabkan oleh konsumsi rokok. Menurut Tulus, rokok tidak semata-mata berdampak buruk bagi kesehatan, namun juga terhadap lingkungan.

Mengutip data riset lembaga Oceanografi, disebutkan bahwa salah satu pencemaran air laut disebabkan oleh puntung rokok. "Puntung rokok itu penyebab pencemaran laut yang paling tinggi. Bukan hanya plastik. Plastik itu nomor dua. Sekarang banyak terumbu karang rusak karena menyimpan puntung rokok yang beracun," katanya.

Tulus juga mengatakan, berdasarkan penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Barat (NTB), sebanyak 1,4 juta batang pohon ditebang untuk pertanian tembakau. Hal itu jelas-jelas menyebabkan hutan gundul. Jika masalah pengendalian tembakau tidak diselesaikan, ia menilai 14 dari 17program Sustainable Development Goals (SDGs) yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak akan tercapai.

Program-program SDGs itu meliputi masalah-masalah pembangunan berkelanjutan. Termasuk di dalamnya adalah program pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesehatan dan pendidikan, pembangunan kota yang lebih berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta melindungi hutan dan laut.

Berseberangan dengan Tulus, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai wacana kenaikan harga rokok sarat dengan kepentingan asing. Program SDGs yang banyak dijadikan rujukan oleh pendukung kenaikan harga rokok dianggap Misbakhun sebagai upaya merongrong kebijakan nasional.

"Jangan jadikan SDGs sebagai holy book. Kita sudah punya konstitusi, punya RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Jangan sampai agenda-agenda global itu masuk ke dalam kepentingan nasional kita, hanya karena unsur-unsur asing ingin mempengaruhi pengambilan kebijakan kita," ujarnya.

Menurutnya, undang-undang nasional harus kuat menjaga kepentingan nasional. Agenda asing yang masuk harus menyesuaikan dengan agenda nasional.

Misbakhun menolak kenaikan harga rokok mengingat dampaknya bagi petani tembakau dan cengkeh. Kenaikan harga rokok dianggap Misbakhun akan memberatkan para petani. Misbakhun pun mendesak dikeluarkannya undang-undang mengenai perlindungan terhadap petani tembakau dan cengkeh.

Bicara mengenai pengendalian tembakau erat kaitannya dengan kesepakatan World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC). Kesepakatan tersebut bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi.

Pada awalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang aktif merumuskan WHO FCTC. Namun setelah FCTC disepakati, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengakses kesepakatan internasional tersebut.

TAK JAMIN BENTUK GENERASI LEBIH BAIK- Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Anhari Achadi menegaskan dukungannya terhadap kenaikan harga rokok sejalan dengan tujuan untuk menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang lebih sehat dan produktif. Anhari menilai merokok dapat memicu timbulnya beragam penyakit di kemudian hari. Anhari tidak ingin jika bonus demografi yang didapat Indonesia di masa depan akan dipenuhi oleh generasi penyakitan.

"Saya ingin mengingatkan bahwa merokok menyebabkan terganggunya kesehatan. Kita tuju bukan saat ini, tetapi masa yang akan datang. Kita bicara soal 50 tahun ke depan," katanya.

Namun Anhari menyadari, kebiasaan merokok tidak serta merta menghilang setelah harga rokok dinaikkan. Apalagi bagi mereka yang sudah kecanduan. Terkait hal itu Anhari menilai, menaikkan harga rokok tidak akan berpengaruh buruk terhadap pendapatan negara dari industri rokok, namun justru berpengaruh baik terhadap upaya pemerintah menekan angka perokok pemula. "Pendapatan dari industri rokok tetap tinggi dalam jangka waktu tertentu, seiring berkurangnya jumlah perokok muda," katanya.

Ketua Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih menyebut pokok bahasan wacana kenaikan cukai tembakau adalah pembangunan. Pembicaraan mengenai pembangunan tidak bisa dilakukan secara parsial. Pembangunan adalah soal manusia. Sedangkan pembicaraan mengenai manusia harus ditinjau secara menyeluruh. Itulah sebabnya wacana kenaikan harga rokok menurut Diah tidak bisa dinilai dari sisi cukai (ekonomi) atau kesehatan semata.

"Pesan kami soal kenaikan harga rokok ini agar ditempuh secara holistik, berdampingan dengan upaya-upaya yang lain. Misalnya dengan penegakan hukum, penguatan komunitas, terutama anak-anak sekolah," katanya.

Angka perokok pemula di Indonesia, menurut Diah, sudah sangat mengkhawatirkan. Ada kenaikan sebesar lima kali lipat dalam kurun lima tahun terakhir. Kenaikan itulah yang mendorong CISDI membantu pemerintah menurunkan jumlah populasi perokok pemula.

"Jangan sampai setelah harga rokok dinaikkan, kemudian ada sejumlah anak yang memiliki uang dan menganggap Rp50 ribu bukan jumlah yang besar, dia masih bisa membeli rokok. Harus ada aturan hukum yang jelas. Akses anak-anak untuk membeli rokok harus dipersulit," tambah Diah.

Lepas dari pro-kontra itu, Kepala Subdirektorat Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Setyati Endang Nusantari mengungkapkan jumlah industri tembakau terus mengalami penurunan sejak  2010.

"Jumlah industri rokok pada tahun 2010 sebanyak 2.600, namun mengalami penurunan pada tahun 2015 menjadi 600 unit. Penurunan tiap tahun rata-rata 25,4%. Penurunan terjadi pada industri kecil dan menengah. Adapun yang sanggup membayar pajak secara rutin tiap bulan hanya 100 unit industri," kata Endang.

Endang menambahkan 100 unit industri yang dapat membayar pajak adalah industri besar dan menengah. Sedangkan industri kecil hanya berproduksi untuk kebutuhan saja, yakni untuk mempertahankan NPPBKC (Nomor Pajak Pengusaha Barang Kena Cukai). Hal itu lumrah, karena jika suatu industri tidak melakukan produksi dalam kurun waktu satu tahun, NPPBKC-nya mati. "Jadi mereka berproduksi jarang sekali," tambah Endang.

Posisi industri kecil juga kian terdesak dengan regulasi mengenai jumlah pajak yang dikenakan pada industri rokok, yakni pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai dengan PPN sebesar 8,7%.

"Penghasilan dari harga satu batang rokok 70% sudah masuk ke kas negara, 30% masuk ke industri dengan persentase 20% merupakan bahan baku dan upah pekerja. Dengan fakta di atas bisa kita bayangkan bagaimana industri kecil bisa bertahan?" pungkas Endang. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: