JAKARTA, GRESNEWS.COM - Program hilirisasi tambang yang dicanangkan pemerintah sejak 1 Januari 2014, rupanya malah banyak digunakan berbagai perusahaan pertambangan untuk "menawar" posisinya kepada pemerintah. Seperti diketahui, lewat program hilirisasi tambang, pemerintah melarang ekspor mineral mentah dan mewajibkan perusahaan pertambangan membangun pabrik pengolahan mineral atau smelter.

Kebanyakan pengusaha dalam negeri yang bergerak di bidang pertambangan memang berupaya mematuhi aturan ini. Buktinya berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 2014, sudah lebih dari 20 fasilitas smelter terbangun.

Deadline pengoperasian smelter bagi seluruh perusahaan pertambangan sendiri akan jatuh pada 2017 mendatang. Pada tahun itu, semua mineral yang diekspor harus sudah melalui proses pemurnian. Sayangnya, dua raksasa pertambangan di Indonesia yaitu Freeport dan Newmont malah menjadikan kewajiban membangun smelter itu sebagai "alat tawar".

Freeport misalnya, menawar kepada pemerintah untuk mendapatkan perpanjangan kontrak sebelum membangun smelter. Sementara, PT Newmont Nusa Tenggara sudah menyatakan keengganannya membangun fasilitas smelter sendiri dan menegaskan akan membangun smelter bersama Freeport dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga di Gresik, Jawa Timur. Nilai investasinya mencapai US$2,1 miliar (Rp27 triliun), dimana Newmont berkontribusi berupa komitmen pendanaan sebesar US$3 juta (Rp39,6 miliar).

Nah, janji Newmont membangun smelter itu kemudian menjadi terancam mentah lagi karena sejumlah 82% saham perusahaan itu diakuisisi oleh PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC). Banyak kalangan ragu, setelah akuisisi itu, Medco mau meneruskan kerjasama dengan Freeport membangun fasilitas smelter di Gresik.

Pemerintah sendiri sudah menegaskan, meski kepemilikan berubah, namun kesepakatan pembangunan smelter harus tetap jalan. Pihak Medco sendiri selaku pemilik baru Newmont, sudah berjanji kepada pemerintah akan menjalankan kewajiban hilirisasi mineral di dalam negeri dengan membangun smelter dengan nilai investasi sebesar US$500 juta (Rp6,5 triliun) di Gresik. Medco berjanji akan membangun smelter pada tahun 2018. Saat ini rencana pembangunan smelter itu masih dalam tahap pembahasan.

Hanya saja, janji untuk membangun smelter oleh Medco ini pun belakangan diragukan. Pasalnya, hingga saat ini, pihak Kementerian ESDM belum mendapatkan pengajuan permohonan izin pembangunan smelter oleh Medco.

"Belum belum, belum ada itu. Itu kan omongan dia (Medco) aja, belum masuk izinnya. Kalau omongan kan silakan saja, tapi belum ada itu," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono, saat dikonfirmasi gresnews.com, Kamis (25/8).

Janji membangun smelter ini dikhawatirkan memang hanya modus yang dilakukan perusahaan pertambangan, untuk meraup keuntungan. Pasalnya, seperti Freeport misalnya, realisasi janji membangun smelter tersendat karena masih ngotot untuk memastikan dulu perpanjangan kontrak hingga 2041.

Komitmen Freeport membangun smelter hingga kini juga baru sebatas komitmen yang belum direalisasikan sama sekali. Demikian pula dengan Newmont yang sahamnya sudah diambil alih Medco. Sumber gresnews.com mengatakan, pembangunan smelter dikhawatirkan hanya menjadi modus bagi Medco untuk memuluskan kucuran kredit dari bank BUMN untuk pengambilalihan saham Newmont.

"Pembangunan smelter tidak pernah sungguh-sungguh dilakukan. Pada kenyataannya biasanya pembangunan smelter cuma sebatas MoU formal belaka dengan sejumlah institusi seperti universitas dan pemda. Kenyataannya tak pernah ada investasi pembangunan smelter," ujar sumber tersebut.


AKUISISI BERMASALAH - Proses akuisisi saham Newmont oleh Medco sendiri sebelumnya memang sempat dipermasalahkan. Seperti diketahui, dana untuk akuisisi sebesar US$750 juta (Rp9,9 triliun) itu berasal dari kucuran pinjaman tiga bank BUMN yang dipimpin Bank Mandiri yang mengucurkan dana sebesar sebesar US$360 juta (Rp4,7 triliun). Sisanya berasal dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).

Sumber pendanaan yang dipakai ketiga bank ini untuk menalangi pembelian saham Newmont oleh Medco diduga berasal dari pinjaman China Development Bank sebesar US$3 miliar atau sekitar Rp40 triliun. Proses akuisisi ini disoal karena pinjaman dari CDB itu sendiri ditegaskan pemerintah untuk mengembangkan pembangunan infrastruktur di tanah air.

Tetapi Bank Mandiri, BNI, BRI justru meminjamkan kembali kepada Medco yang penggunaannya bukan untuk pembangunan infrastruktur melainkan mengakuisisi saham PT Newmont Nusa Tenggara. Tentu saja pengucuran dana pinjaman itu menjadi ramai dipersoalkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi pun ikut turun tangan dalam persoalan ini. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan, KPK akan meneliti proses transaksi pemberian pinjaman tersebut. jika memang ada indikasi korupsi, maka pihaknya tidak akan segan-segan untuk melakukan langkah lebih lanjut.

"Ya, nanti kita pelajari dulu sejalan dengan tugas KPK sesuai UU, masuk pada kerugian negara dan korupsi  tidak, termasuk segala bentuk dan modusnya. KPK akan masuk," kata Saut kepada gresnews.com, Jumat (15/7).

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menengarai peminjaman dana CDB  melalui sejumlah bank nasional ke Medco berpotensi terjadi tindak pidana. Sebab, peruntukan peminjaman yang awalnya untuk infrastruktur, berubah menjadi akuisisi PT Newmont.

"Kalau dari Mandiri ke Medco untuk akuisisi Newmont, itu memang dipertanyakan. Apalagi kalau awalnya itu untuk infrastruktur, dan memang disengaja, ini bisa masuk penyalahgunaan wewenang," kata Fickar kepada gresnews.com.

Menurut Fickar, dalam hukum perbankan, suatu peminjaman yang dilakukan oleh sebuah korporasi haruslah jelas dan sesuai peruntukan. Jika memang ditemukan perbedaan dengan tujuan awal, maka hal ini masuk ke dalam penyelewengan.

Selain itu, unsur pidana juga bisa dilihat dari jaminan yang diberikan oleh PT Medco kepada Bank Mandiri. Jika jaminan yang diberikan itu berbeda jauh dengan jumlah pinjaman, hal ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Apalagi, jika jaminan itu palsu dan tidak sesuai dengan nilainya.

Fickar menjelaskan, masalah peminjaman perbankan pada dasarnya memang merupakan ranah perdata. Tetapi ada beberapa hal yang bisa masuk dalam ranah pidana dan KPK tentu saja bisa masuk untuk ikut menyelidiki hal tersebut.

"Apalagi kalau nanti ada kerugian negara. Ini kan bisa berakibat paralel, jika Medco pembayarannya macet, otomatis Mandiri juga sulit membayar ke CDB, dan bisa saja malah nanti saham Mandiri yang punya pemerintah justru diambil CDB, kan kita bisa kehilangan aset nantinya," tutur mantan pengacara Bambang Widjojanto ini.

Pihak Bank Mandiri sendiri membantah adanya kejanggalan dalam pengucuran pinjaman kepada Medco. Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan, Newmont dan Medco adalah sama-sama nasabah Bank Mandiri. Rekam jejak keduanya dinilai baik dan layak diberikan kredit modal kerja untuk pengembangan bisnis Newmont ke depan. "Bank Mandiri mendukung perusahaan nasional membeli aset milik asing di dalam negeri," jelas Kartika beberapa waktu lalu. "Jadi ini bukan kredit untuk pembelian saham, tapi kredit modal kerja untuk operasional perusahaan," ujar Kartika menambahkan.

Kartika menyatakan, bisnis tambang Newmont di Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini sangat baik. Tambang  yang ada saat ini nilai potensi bisnisnya mencapai US$1,2 miliar (Rp15,8 triliun). Lewat nilai ini, Kartika meyakini, kredit tersebut bisa lunas dalam waktu 2,5 tahun. Belum lagi, Newmont masih ada lokasi baru tambang emas dan tembaga yang belum diolah. "Apalagi kita tahu saat ini harga emas mulai merangkak naik," kata Kartika.

BANGUN DI LOKASI TAMBANG - Dihubungi terpisah, anggota DPR Komisi VII Kurtubi mengatakan, realisasi pernyataan Medco untuk membangun smelter terkait pembelian saham Newmont akan ditunggu oleh pihak legislatif. Kurtubi menegaskan, DPR akan mengawasi agar pembangunan itu terealisasi.

"(Pembangunan) smelter pasti akan diawasi karena hilirisasi amanat perintah UU," kata anggota dewan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat ini kepada gresnews.com.

Kurtubi mengneaskan pembangunan smelter adalah kewajiban setiap perusahaan tambang agar bisa melanjutkan kegiatan bisnisnya. Oleh karena itu ia meminta setiap korporasi termasuk Medco untuk benar-benar merealisasikan pembangunan tersebut.

"Pasca UU Minerba Nomor 4/2009, perusahaan dilarang mengekspor hasil produksi yang berupa bahan mentah atau produk setengah jadi, seperti konsentrat," terangnya.

"Untuk itu Newmont (perusahaan yang mayoritas sahamnya akan dimiliki Medco) wajib memurnikan konsentratnya di dalam negeri. Menurut saya Newmont harus membangun  smelter untuk mengolah konsentratnya di lokasi tambang (Sumbawa, NTB-red), bukan di Gresik," sambung putra daerah NTB ini.

Hilirisasi produk, kata Kurtubi, harus tetap dilakukan di Sumbawa agar rakyat di daerah itu memperoleh manfaat secara langsung seperti kesempatan kerja. Hal itu tentunya bisa menambah pendapatan daerah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah. "Apalagi NTB hingga saat ini termasuk salah satu dari 7 provinsi termiskin di Indonesia," terang Kurtubi. (dtc)

BACA JUGA: