JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah berencana mengubah Peraturan Pemerintah (PP) No. 40/1996, PP No. 41/1996, dan UU Rumah Susun terkait kepemilikan properti oleh Warga Negara Asing. Rencananya durasi kepemilikan properti WNA yang semula dibatasi hanya selama 20 tahun akan diubah menjadi seumur hidup dan dapat diwariskan atau pun disewakan. Status hukum perdata Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia pun akan sederajat dengan Warga Negara Indonesia (WNI).

Namun langkah itu justru dianggap mencederai asas keadilan, karena hingga saat ini masih  banyak masyarakat yang belum memiliki rumah layak. Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Agustina menyatakan, menolak tegas dengan rencana pemerintah itu. Ia pun menyatakan akan melakukan gugatan apabila PP tersebut disahkan.

Menurut Agustina, proyek neoliberalisme sektor properti di seluruh dunia telah gagal. Bahkan menjadi katalisator dari krisis finansial global akhir-akhir ini. Pemberian hak istimewa dalam kepemilikan properti hunian untuk WNA akan menyebabkan buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, kaum miskin kota, dan rakyat pekerja lainnya di masa depan akan menjadi semakin sulit mendapatkan rumah yang layak, sehat dan manusiawi.

"Kekayaan kita ini bukan milik perorangan, ini milik generasi penerus bangsa. Apa jadinya jika dikuasai WNA," tandas Agustina kepada gresnews.com, Rabu (13/7).

Terkait masalah ini, Agustina menegaskan,  pemerintah tidak dapat sewenang-wenang. Jangankan dimiliki warga negara asing, apabila ada warga luar daerah yang memiliki lahan di wilayah tertentu akan tetapi tidak dimanfaatkan secara ekologis selama 2 tahun maka kepemilikannya dapat dicabut. Hal ini menandakan bahwa segala bentuk kepemilikan kekayaan tanah atau tempat tinggal harus diatur secara hati-hati dan menguntungkan bagi masyarakat dan menjamin kehidupan generasi penerus.

Ia meminta pemerintah menerapkan parameter yang jelas, sebab hak-hak warga negara asing di Indonesia dengan hak asasi kepemilikan tanah dan properti serta UU yang mengaturnya itu tidak cocok karena terlalu banyak yang harus dikorbankan. Ia menilai lebih baik pemerintah menginventarisir hak warga negara untuk dipenuhi dan bukannya mengurusi WNA dengan alasan kepentingan ekonomi.

"WNI yang terdaftar memiliki lahan dalam bentuk sertifikat hanya sekitar 17% karena Menteri Agraria tidak mencatat kepemilikan warganya sendiri, Kok sekarang malah ngurusin asing. Penuhi hak warganya sendiri," ujarnya.

Jangan sampai masyarakat banyak tidak mampu memiliki rumah, tetapi WNA malah banyak memiliki rumah di Indonesia. Ia mencontohkan seperti kasus lahan perkebunan di Sumatera. Kasus tersebut jelas kini pengusaha Malaysia merebut lahan yang sejatinya milik masyarakat para petani kecil dan buruh tani.

Mereka yang berjuang untuk menggarap tanah justru dituduh melakukan tindakan kriminal. Keluarga mereka diusir ke daerah perkotaan menjadi kaum urban dan tinggal dipemukiman kumuh. Tak sedikit jumlahnya yang diekspor ke luar negeri dan menjadi TKI.

"Kekuatan modal asing yang masuk apabila tidak dikontrol dan dibatasi dengan benar tentu akan merusak!" tegasnya.

Dalam perubahan PP tersebut, WNA hanya boleh memiliki properti hunian dalam bentuk rumah vertikal atau apartemen dan bukan rumah tapak dengan batas harga minimal Rp5 miliar serta mempunyai surat keterangan izin tinggal bukan izin wisata. Kemudian apabila WNA ingin membeli rumah tapak hanya boleh dilakukan dengan sistem sewa.

Pemerintah juga harus  tetap mempertahankan status kepemilikan properti hunian WNA dengan status "Hak Pakai" sesuai Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 41, 42 dan 43 telah dirumuskan bagaimana WNA dan BHA boleh mempunyai properti di Indonesia dengan status hukum tanah yang dipergunakan adalah Hak Pakai dalam jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu.

AKAN LAKUKAN PERLAWANAN - Sebelumnya, PP No. 40/1996, PP No. 41/1996 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Agraria No. 7 Tahun 1996 serta Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 110-2871 tanggal 8 Oktober 1996 disebutkan WNA yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah atau hunian dengan hak atas tanah tertentu yaitu hak pakai. Namun menurut Pasal 6 PP No. 40/1996, rumah hunian WNA hanya dapat dimiliki selama 25 tahun dan bisa diperpanjang kembali setelah batas waktu kepemilikannya habis selama 20 tahun. Oleh Menteri ATR/BPN sekarang akan diperpanjang menjadi seumur hidup.

"Bila kepemilikan itu dipegang oleh WNA dalam bentuk sertifikat itu tidak bisa dicabut oleh PP. Hanya boleh lewat pengadilan karena dia bukan warga negara kita," kata Agustina.

Oleh karena itu, KPA akan melakukan perlawanan habis-habisan jika peraturan tersebut benar-benar diterapkan. "Ini ibarat perjuangan kemerdekaan jilid II," tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro menyatakan wacana pemberian fasilitas properti bagi WNA ini masih dalam tataran program prioritas. Sehingga belum masuk, bahkan ke dalam draft Rancangan Undang-Undangnya. Tahapan pembahasannya pun masih sangat jauh dari pengesahan menjadi UU.

"Masih di Baleg, kan pemerintah mengajukan beberapa draft, nah sepengetahuan saya masih belum dibahas," katanya singkat kepada gresnews.com, Rabu (13/7).

BACA JUGA: