JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dunia penerbangan Indonesia belum bisa lepas dari masalah. Terakhir dua maskapai yakni Lion Air dan Air Asia salah menurunkan penumpang asal luar negeri yang diturunkan di terminal domestik. Sanksi pun dijatuhkan pada kedua maskapai tersebut, namun Lion Air melakukan perlawanan hukum.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi sanksi Lion Air selama 6 bulan tak boleh menambah rute baru atas aksi mogok pilotnya yang menyebabkan penerbangan Lion Air telat (delay) di mana-mana. Sanksi tersebut ditanggapi Lion Air yang pada 16 Mei 2016 lalu mengajukan penundaan penerbangan di 93 rute domestik dan 2 rute internasional ke Kemenhub selama 1 bulan, terhitung 18 Mei 2016 ini. Atas pengajuan ini, Kemenhub mengabulkannya.

Sanksi lainnya yang diterima Lion Air yakni pembekuan ground handling selama 5 hari mulai 25 Mei 2016 mendatang. Sanksi ini buntut dari peristiwa salah terminal di mana penumpang dari Singapura diantarkan ke terminal domestik.

Anggota Komisi V DPR Fauzih Amro mengusulkan agar rute maskapai yang bermasalah dibekukan selama sebulan. "Sanksi itu harus memberikan efek jera, sekarang saya kira Kementerian Perhubungan sudah cukup keras, dan menyebabkan dituntut balik (oleh maskapai). Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran berharga bagi kita, saya bangga dengan teman-teman di Perhubungan," ujar Fauzih dalam diskusi Ada Apa dengan Bandara Kita? di Gado-Gado Boplo, Jalan Gereja Teresia, Jakarta Pusat, Sabtu (21/5/2016).

Anggota Komisi V DPR lainnya Nizar Zahro juga mendukung bila Kemenhub sebagai regulator membekukan rute maskapai bermasalah. Menurutnya sanksi perlu diberikan pada maskapai yang melakukan kelalaian terus menerus berulang kali. "Kalau sanksi tersebut sesuai karena Lion Air sebagai maskapai harus mengedepankan pelayanan," kata Nizar di Gedung DPR RI, Jumat (20/5).

Ia berharap sikap tegas Kemenhub memberikan sanksi tersebut menjadi bahan pembelajaran bagi Lion Air dan maskapai lainnya agar selalu mengedepankan kualitas pelayanannya. Diharapkan persoalan-persoalan yang sama di dalam dunia penerbangan komersial pun tidak terjadi kembali di kemudian hari.

DIANGGAP MASIH RINGAN - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengapresiasi Kemenhub yang memberikan sanksi pada Lion Air. Namun YLKI berpendapat sanksi tersebut masih terlalu ringan. "Seharusnya sanksi itu berdimensi akumulatif karena terbukti pelanggaran demi pelanggaran dilakukan Lion Air, beberapa tahun terakhir ini," kata Tulus kepada gresnews.com, saat dimintai tanggapan soal sanksi bagi maskapai Lion Air, Jumat (20/5) malam.

Ia menyebutkan, sanksi tersebut seharusnya jadi momentum bagi Lion Air untuk memperbaiki kinerjanya dan meningkatkan pelayanan pada konsumen. Bukan malah melakukan perlawanan hukum yang justru akan menjadi kampanye negatif bagi konsumen. "Sikap Lion semacam itu justru akan menjadi pemicu bagi konsumen untuk memboikot Lion," jelasnya.

Seperti diketahui, Direktur Umum Lion Air Edward Sirait merasa keberatan atas sanksi yang diberikan oleh Kemenhub karena tidak logis dan sewenang-wenang. Perlawanan oleh Edward tak main-main. Lion Group melaporkan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo ke Bareskrim Mabes Polri pada Senin 16 Mei 2016. Dasar laporan itu awalnya terkait surat pembekuan izin rute baru PT Lion Mentari Airlines selama enam bulan dari Kementerian Perhubungan pada tanggal 11 Mei 2016. Pembekuan rute baru itu diberikan setelah adanya insiden mogok pilot Lion Air dan berimbas pada keterlambatan jadwal penerbangan maskapai tersebut.

Laporan dengan Nomor LP/512/V/2016 itu dibuat oleh Head of Corporate Lawyer Lion Grup Harris Arthur Hedar. Dalam LP yang diperlihatkan oleh Harris, Suprasetyo dilaporkan atas dasar dugaan tindak penyalahgunaan wewenang dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP dan 335 KUHP.

Laporan ke polisi itu juga sebagai pintu masuk terkait pembekuan izin ground handling PT Lion Group yang dikeluarkan oleh Suprasetyo pada tanggal 17 Mei 2016, atau satu hari setelah laporan Harris ke polisi.

Langkah hukum yang ditempuh oleh Lion Group, disebut Edward, sebagai bagian dari upaya mencari keadilan. Pembekuan izin oleh Kemenhub ia nilai tak masuk akal. Menurutnya institusi tak layak dihukum bila perbuatan melawan hukum dilakukan oleh seseorang (pekerja). Kemenhub dinilai tidak melakukan investigasi secara menyeluruh. Padahal, Edward berharap ada proses data dan informasi jelas. Sanksi pun dianggap tak mengindahkan asas praduga tak bersalah.

CARI AKAR MASALAH - Tragedi salah terminal dengan diturunkannya penumpang rute internasional di terminal domestik, berbuntut panjang. Terbaru adalah dilaporkannya Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub oleh Maskapai Lion Air.

Mantan KSAU dan pengamat penerbangan Chappy Hakim menilai, secara umum akar permasalahan penerbangan di Indonesia adalah kesenjangan antara pertumbuhan penumpang dengan infrastruktur yang ada. "Kesenjangan yang terjadi dari pertumbuhan penumpang dan manajemen pengelolaan SDM plus infrastruktur itu lama-lama makin jauh, inilah kemudian yang menyebabkan banyak hal," kata Chappy dalam diskusi Ada Apa dengan Bandara Kita? di Gado Gado Boplo, Jalan Gereja Teresia, Jakarta Pusat, Sabtu (21/5).

"Kesenjangan ini menyebabkan delay, accident, pasar begitu tinggi, tiket murah, orang-orangnya itu juga, regulator itu-itu juga, fasilitas air controller itu-itu juga," katanya.

Ia menuturkan, permasalahan salah terminal yang terjadi di Bandara Soekarno Hatta tak bisa selesai begitu saja dengan memecat sopir bus pembawa penumpangnya. Perlu ada penyelesaian yang komprehensif sifatnya bukan tambal sulam. "Lion Air dan Air Asia penerbangan internasional dibawa ke domestik, ini seakan biasa, sopir dipecat dan seolah selesai begitu saja. Meskipun ada ada penyelidikan dan sebagainya," jelasnya.

Chappy menilai maskapai penerbangan di Indonesia terlalu sibuk pada penambahan penumpang. Sisi lain, kesiapan SDM dan infrastruktur seakan dikesampingkan. "Kita bangga sekali dengan pertumbuhan penumpang, artinya pertumbuhan ekonominya tinggi. Harus ada antisipasi peningkatan pelayanan, dan ini harus berjalan bersama-sama. Selalu fokus pada pertumbuhan penumpang inilah yang kita lihat sekarang," katanya.

Terkait kelebihan kapasitas tersebut, Chappy lantas membahas mengenai Bandara Soekarno-Hatta yang sudah tak sesuai kapasitasnya lagi. Pesawat yang akan naik maupun turun harus menunggu sekitar 30 menit sampai 1 jam akibat padatnya jadwal. Kelebihan kapasitas yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta menyebabkan pelayanan terhadap penumpang tidak maksimal.

Chappy mengusulkan pemerintah dapat memaksimalkan aerodrome (bandar udara) yang sudah ada untuk menunjang fungsi dari Bandara Cengkareng. "Bagaimana mengembangkan aerodrome-aerodrome yang sudah ada. Aerodrome aerodrome mana yang akan dikembangkan. Sekarang ini banyak bupati dan gubernur mengharapkan jadi international airport. Tidak bisa kayak gitu. Harusnya ada masterplan," tutur Chappy.

"Hal ini juga terkait security dan prosperity. Tugas pemerintah bagaimana seberapa besar difokuskan kepada security dan prosperity. Kalau tidak berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, air transportation kita akan ketinggalan. Jangan terlena," jelasnya.

Chappy menambahkan, lebih dari 50 persen perputaran uang dari industri penerbangan Indonesia dinikmati oleh orang di luar negeri. Sementara Indonesia sendiri masih terlalu fokus pada penambahan penumpang dengan membeli pesawat baru. "Kita lupa bangunan dan SDM yang harus disiapkan," imbuhnya. (Aji Prasetyo)

BACA JUGA: