JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai telah gagal mengelola kekayaan alam sesuai amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nyatanya, kini banyak sumber-sumber kekayaan alam justru dikuasai asing sehingga rakyat justru tak bisa menikmati hasil kekayaan alam.  

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hadi Daryanto mengakui, pemerintah memang perlu menggalakkan kebijakan politik untuk mengembalikan kemakmuran masyarakat lewat pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Selama ini, kata dia, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan potensi alam dinilai masih kurang berpihak kepada rakyat.

Hadi mengatakan, negara memang perlu hadir dalam melaksanakan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, amanat itu sudah menjadi kewajiban negara untuk memakmurkan rakyat dalam pengelolaan SDA. "Negara berkewajiban memakmurkan rakyat," kata Hadi dalam diskusi bertajuk Perspektif Kebangkitan Bangsa Melalui Politik Sumber Daya Alam Nasional yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (20/5).

Dia tak menampik selama ini ada kecenderungan keberpihakan negara kepada modal asing. Akibatnya, selama ini kedaulatan pengelolaan SDA masih belum maksimal dimanfaatkan untuk masyarakat. "Apakah kita masih berdaulat? Secara administratif, ya. Tetapi de facto-nya tidak," kata Hadi.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang menegaskan pentingnya nasionalisme untuk mempertahan kadaulatan nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam. Ia memaparkan, selama ini banyak juga perusahaan pertambangan nasional yang bertindak nakal dengan menjual izin konsesinya kepada perusahaan asing.

Dia menyebut ada 7 perusahaan sejak 2011 bergerak di Papua yang memiliki izin, tetapi tidak membuka lahan tetapi menjual kembali kepada perusahaan asing. "Itu sudah menjual tanah air kita. Artinya kalau bicara nasionalisme, dimana nasionalisme kita?" terang Awang.

Lebih lanjut Awang menekankan pentingnya melakukan pembenahan untuk menjaga sektor SDA. Pemerintah sebaiknya membenahi dari sektor regulasi. "Kita tinjau ulang regulasi kita. Dan APBN untuk masyarakat juga harus diperbesar," terangnya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan jangan sampai rakyat ditinggalkan oleh pemerintah tetapi mereka harus didampingi.

Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh asing memang terhitung sudah keterlaluan. Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor minyak dan gas bumi misalnya, sudah mencapai 70%. Penguasaan asing di sektor tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah mencapai 75%. Sementara di sektor pertambangan tembaga dan emas sebesar 85%.

Penguasaan asing di sektor perkebunan juga sangat besar, dimana untuk sektor perkebunan sawit sudah mencapai sebesar 50%. Jumlah ini menunjukkan betapa lemahnya posisi pemerintah untuk melindungi aset negara. Selain itu peran pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik agraria di sektor pertambangan juga sangat lemah. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 38 konflik di sektor pertambangan dengan luas konflik 197.365,90 hektare.

Indonesia ada beberapa gunung yang dikuasai oleh asing dan dijadikan area pertambangan. Pertama, Gunung Tembagapura yang ada di Mimika, Papua dikuasai oleh Freeport sejak 1967. Kedua, Gunung Meratus yang ada di Kalimantan Selatan dikuasai oleh PT Antang Gunung Meratus (AGM) sejak 1999. Ketiga, Gunung Salak yang ada dibogor dikuasai oleh PT Chevron. Keempat, Gunung Pongkor yang dikuasai PT Aneka Tambang (Antam). Kelima adalah Gunung Ceremai yang ada di Jawa Barat yang dikuasai Chevron baru-baru ini.

PERPPU REFORMA AGRARIA - Terkait semakin menggilanya penguasaan asing atas pengelolaan sumber daya alam, aktivis lingkungan senior dari Institut Hijau Chalid Muhammad mengusulkan agar pemerintah memiliki keberanian politik menindak perusahaan yang nakal yang melakukan monopoli penguasaan tanah. "Sumber agraria itu sudah terkonsentrasi pada perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat tidak memiliki akses sehingga mereka tersingkir," ujarnya.

Menurut Chalid, kalau pemerintah ingin melakukan reforma agraria seperti janjinya, pemerintah harus konsekuen menjalankan undang-undang. "Perusahaan yang menguasai melebihi ketentuan itu dicabut lalu kembalikan kepada rakyat. Pemerintah harus melakukan revolusi hukum untuk memastikan reforma agraria berjalan," tegasnya.

Reforma Agraria merupakan salah satu program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Presiden Jokowi-JK. Dalam program tersebut akan dilakukan redistribusi tanah, legalisasi aset dan pemberdayaan masyarakat.

Sejumlah 9 juta hektare tanah akan dialokasikan untuk redistirbusi dan legalisasi. Kemudian pemerintah menetapkan tanah seluas 4,5 juta hektare untuk diredistribusikan pada penerima manfaat. Sementara 4,5 juta hektare lainnya masuk dalam skema  Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA).

PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi aset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.

PRONA dimulai sejak tahun 1981 berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PRONA bertugas memproses pensertipikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan.

Chalid menjelaskan, perusahaan seperti Sinarmas memiliki lahan jutaan hektare, namun kepemilikannya dipecah-pecah dengan menggunakan anak perusahaan dan menggunakan nama lain. Ini, menurutnya, merupakan upaya untuk mengaburkan kepemilikan tanah demi mengakali aturan.

Karena itu, kata Chalid, yang mesti dikeluarkan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Reforma Agraria. "Karena jika pemerintah hanya mencari peluang celah hukum untuk melakukan titik masuk akan terhambat. Jika harus membuat undang-undang akan terhambat diproses poitik. Sebagian perusahaan multinasional punya orang yang mewakilinya di DPR," terangnya.

Menurutnya dasar untuk mengeluarkan Perppu juga sudah terpenuhi. Kegentingan yang mendasarkan harus menerbitkan Perppu sudah terpenuhi. Salah satu alasannya yakni meningkatnya konflik agraria yang terjadi belakangan ini. Lainya adalah rasio gini penguasaan tanah sudah mencapai 0,65. Angka tersebut hampir mendekati satu, dan jika sudah mendekati angka satu maka akan diklasifikasi sebagai negara gagal.

"Dalam kondisi itu, masyarakat kehilangan tempat sehingga memaksa mereka untuk pindah ke kawasan konservasi dan hutan lindung, ini bahaya. Ini kan ada urgensinya," pungkasnya.

BACA JUGA: