JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terungkapnya data yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait adanya pinjaman sebesar US$400 juta atau sekitar Rp5,2 triliun dari Bank Mandiri kepada perusahaan tambang PT Medco Energy International Tbk (MEDC) terus dipersoalkan. Masalahnya dana yang dipinjamkan Bank Mandiri ke Medco ini berasal dari pinjaman yang dikucurkan China Development Bank (CDB) yang merupakan dana untuk pembangunan infrastruktur.

Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mengatakan pinjaman dari China atau CDB kepada tiga Bank BUMN tidak bisa dipinjamkan ke perusahaan tambang seperti Medco. Terlebih lagi jika Medco menggunakan dana tersebut untuk mengakuisisi 76 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).

Seperti diketahui, CDB mengucurkan pinjaman sebesar US$3 miliar atau setara Rp40 triliun kepada tiga bank BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dari jumlah itu, Bank Mandiri menerima sebesar US$1 miliar atau setara Rp13,5 triliun. Nah diduga sebagian dana inilah yang dipinjamkan ke Medco. Masalahnya, seperti dikatakan pemerintah, pinjaman itu sendiri seharusnya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.

Darmadi menilai pinjaman tersebut telah menyalahi aturan karena jauh dari perencanaan awal pemerintah. Sebelumnya pemerintah menyatakan pinjaman dari CDB tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

"Harusnya pinjaman diprioritaskan ke infrastruktur. Ada tiga kategori pinjaman untuk infrastruktur, industri, dan crossborder business, jadi tidak boleh pinjaman tersebut untuk akuisisi Newmont," kata Darmadi di Jakarta, Selasa (19/4).

Politisi PDIP itu menduga penyimpangan perencanaan tersebut bakal bermasalah. "Jika deal awalnya dana kucuran dari CDB untuk infrastruktur, kenapa di tengah jalan diakalin?" katanya.

Darmadi menduga penyimpangan penyaluran dana tersebut sudah direncanakan agar bisa menampung bisnis titipan. "Ya, bisa saja ada deal khusus, tapi kalau kesempatan awal untuk infrastruktur namun berubah begitu masuk agreement," ujarnya.

Ketua Komisi VI DPR Ahmad Hafisz Tohir akan menanyakan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negera Rini Soemarno dalam rapat kerja pada kesempatan pertama terkait adanya pinjaman dari CDB yang dikucurkan ke Bank Mandiri untuk Medco tersebut.

Ia juga mempermasalahkan jika dana dari CDB untuk pembangunan infrastruktur digunakan untuk akusisi saham Newmont. Apalagi ketika itu Menteri BUMN dan Dirut Bank Mandiri telah terikat kepada janji menggunakan dana ini untuk menunjang sektor infrastruktur dan migas nasional. "Nah ini yang harus diklarifikasikan," kata Hafsiz Tohir kepada gresnews.com, Selasa (19/4).

MANTAN TERPIDANA KORUPSI - Gresnews.com mencatat, kabar bahwa Medco akan mengakuisisi 76% saham NNT dilontarkan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli pada akhir 2015.

Lantas pada 18 Maret 2016, Bloomberg menayangkan berita berjudul Indonesian Group Seeks $1 Billion Debt for Newmont Mine Deal. Narasumber berita tersebut adalah Shiv Dave, pendiri firma konsultan keuangan Emindobiz (Indonesia-Singapura), yang berkantor di Plaza Sentral Jakarta.

Lalu pada 1 April 2016, Bloomberg kembali melansir berita berjudul Indonesian Investors Said to Prepare US$2 Billion Newmont Mine Bid. Disebutkan bahwa konsorsium yang dipimpin Agus Projosasmito menyiapkan penawaran US$2 miliar (Rp26 triliun) untuk menjadi pengendali di NNT. Konsorsium dimaksud ingin menguasai 80% saham di NNT. Dinyatakan pula bahwa konsorsium itu akan mendapatkan pinjaman US$1 miliar (Rp13 triliun) dari sejumlah bank seperti BNP Paribas SA, Malayan Banking Bhd, dan Societe Generale. Dari dalam negeri, pinjaman diberikan oleh Bank Mandiri.

Agus adalah mantan Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas yang kemudian berpindah kiprahnya menjadi pimpinan Mandiri Sekuritas pada 2001 (ketika zaman Dirut Mandiri ECW Neloe). Rumor berkembang bahwa dalam konsorsium itu terdapat pula nama pengusaha seperti Kiki Barki Makmur (pengendali di PT Harum Energy, Tbk yang pernah menjadi asisten khusus Menteri Pertahanan Purnomo Yoesgiantoro), serta menantu Kiki, Sudjiono Timan (pernah menjadi terpidana korupsi di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) namun lepas di tingkat peninjauan kembali).


MENGGANGGU STABILITAS - Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aryo Irhamna mengatakan dana pinjaman dari China memiliki risiko yang tidak hanya dapat mengganggu stabilitas ekonomi tetapi bisa saja ujungnya dapat mengganggu stabilitas politik jika penggunaannya sembarangan.

"Perlu diingat bahwa kondisi ekonomi global sedang menghadapi risiko deflasi dan otoritas monter sedang mencoba instrumen kebijakan baru agar suku bunga perbankan turun sehingga pengelolaan utang luar negeri melalui konsorsium BUMN perlu diawasi," kata Aryo kepada gresnews.com, Selasa (19/4).

Aryo berpendapat dana utang dari China sebaiknya digunakan untuk pembangunan infrastruktur sehingga dana tersebut dapat mendorong aktivitas ekonomi. Bila ada perusahaan penerima dana bantuan China yang tidak relevan dengan pembangunan infrastruktur maka patut dipertanyakan.

"DPR harus memanggil Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan ketiga dirut bank BUMN untuk menjelaskan infromasi tersebut," ungkapnya.

Seperti diketahui, aliran pinjaman dari CDB ke tiga bank BUMN itu, belakangan diketahui memang tidak dikucurkan untuk pembiayaan infrastruktur seperti yang dijanjikan. Selain kejanggalan Medco, muncul juga sejumlah nama perusahaan yang akan menerima kredit dari bank BUMN dari pinjaman CDB.

PT Indah Kiat, misalnya, dikabarkan mendapatkan pinjaman dari BRI sebanyak US$175 juta (Rp2,2 triliun), dari Bank Mandiri sebanyak US$50 juta (Rp655 miliar), dan dari BNI sebanyak Rp1,067 triliun. PT Indah Kiat adalah salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group.

Selanjutnya, perusahaan yang kerap dikaitkan dengan keluarga Jusuf Kalla, PT Bosowa Energy, mendapatkan kredit dari BRI sebanyak US$143 juta (Rp1,8 triliun) dan PT Semen Bosowa sekitar US$55,7 juta (Rp730 miliar).

Grup Medco yang dikendalikan oleh Arifin Panigoro sendiri diduga akan mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri sebesar US$50 juta (Rp655 miliar) untuk PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan US$345 juta (Rp4,5 triliun) untuk PT Medco Energy International, Tbk (MEDC).


JANGGAL - Pihak Istana Negara sudah mengkonfirmasi rencana Medco mengakuisisi NNT. Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo membenarkan bahwa kedatangan pimpinan Medco yakni Arifin Panigoro, Hilmi Panigoro dan Muhammad Lutfi, pada Senin, 28 Maret 2016, adalah untuk membicarakan soal akuisisi Newmont Nusa Tenggara.

Komposisi pemegang saham NNT per hari ini sesuai informasi yang dilansir laman PT NNT: 56 persen milik Nusa Tenggara Partnership B.V (Besloten Vennootschap, privat Belanda); 17,8 persen PT Pukuafu Indah (PTPI); 24 persen PT Multi Daerah Bersaing (PT MDB); 2,2 persen PT Indonesia Masbaga Investama (PT IMI).

Dari 56 persen milik Nusa Tenggara Partnership BV itu, sebanyak 31,5 persen-nya milik Newmont Mining Corp, sisanya punya Sumitomo Corp dll. Sementara dari 24 persen milik PT MDB, sebanyak 18 persen adalah milik BRMS melalui anak usahanya Multi Capital dan sisanya 6 persen punya BUMN Pemda NTB yakni PT Daerah Maju Bersaing.

Jika benar terjadi transaksi itu maka BRMS (Bakrie Group) akan memperoleh dana sebesar 18/80 x USD$2 miliar = US$450 juta (Rp5,9 triliun).

Saham publik di tubuh Medco ini tak banyak, cuma 18 persen. Terbesar 50,92 persen dimiliki oleh Encore Energy Pte Ltd, 20,82 persen milik Credit Suisse AG SG Trust Account Client, 9,94 persen milik PT Prudential Life Assurance, 0,25 persen milik PT Medco Duta, dan 0,06 persen milik PT Multifabrindo Gemilang. Total jumlah lembar saham beredar emiten ini ada 3 miliaran lembar. Kapitalisasi pasarnya sekitar Rp4,8 triliun.

Fundamental keuangannya juga tidak terlalu bagus. Laba bersih Q3 2015 minus Rp393 miliar. Sementara itu berdasarkan LK Q3 2015 BRMS, total kewajiban (jangka pendek maupun panjang) adalah US$ 811 juta (Rp10,6 triliun). Tercatat laba bersih Rp77 miliar tapi itu karena ada pajak yang ditangguhkan sebesar Rp255 miliar.

Kepemilikan saham BRMS di PT MDB sudah dijadikan jaminan utang ke Credit Suisse AG cabang Singapura yang jumlah totalnya mencapai US$300 juta (Rp3,9 triliun).

Induk BRMS yakni Bumi Resources (BUMI) adalah pemilik 87,09 persen saham BRMS. Pemegang saham BUMI adalah publik (70,57 persen), Credit Suisse AG SG qq Longhaul Holdings Ltd (23,15 persen), dan PT Damar Reka Energi (6,28 persen). BUMI rugi Rp1,8 triliun (Q3 2015) dan Rp2,2 triliun (Q3 2014).

BACA JUGA: