JAKARTA, GRESNEWS.COM - Skandal besar perbankan nasional berpotensi terjadi akibat penyalahgunaan fasilitas kredit dari tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ketiga bank BUMN tersebut tahun lalu mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar total US$3 miliar (Rp42 triliun) yang diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun belakangan tujuan pemberian pinjaman itu dibelokkan menjadi fasilitas kredit bagi perusahaan swasta di Indonesia yang diperuntukkan untuk mengakuisisi saham perusahaan lain atau restrukturisasi utang.

Salah satu yang paling rawan diselewengkan adalah pemberian kredit sebesar US$345 juta (Rp4,5 triliun) dari Bank Mandiri kepada PT Medco Energy International, Tbk (MEDC), grup usaha nasional yang digawangi oleh pengusaha Arifin Panigoro. Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi duduk sebagai Komisaris Utama Medco saat ini.

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mencium gelagat janggal terkait pemberian fasilitas kredit kepada Medco itu yang diduga akan dipakai sebagai instrumen dana untuk mengakuisisi mayoritas saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Apalagi, di dalam struktur pemegang saham NNT saat ini terdapat salah satu perusahaan dari Grup Bakrie yakni PT Multi Daerah Bersaing (MDB) yang menguasai di atas kertas saham NNT sebesar 24%.

Dia mengatakan pemberian fasilitas kredit infrastruktur yang akan dipakai untuk mengakuisisi saham semacam itu adalah cermin kebijakan yang tidak sehat di kalangan pemerintahan dan perbankan.

"Ini yang saya harap pemerintah harus waspada dan hati-hati. Atau justru (pemerintah) turut "bermain" dalam pengambilalihan saham Newmont tersebut?" kata Ferdinand kepada gresnews.com, Jumat (8/4), melalui sambungan seluler.

Ferdinand mencontohkan satu kasus ketika dahulu ada grup usaha nasional yang mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia dengan menggunakan dana pinjaman dari bank nasional. Pernyataan Ferdinand ini merujuk pada peristiwa ketika perusahaan Grup Bakrie pernah mengakuisisi saham PT Indocopper Investama dan masuk sebagai pemegang saham Freeport Indonesia.

"Kita tidak mau modus yang sama terjadi pada Newmont. Terlebih saat ini terjadi penurunan pendapatan pada Medco akibat anjloknya harga komoditas minyak, gas, dan energi," ujar Ferdinand.

Ferdinand mencurigai rencana aksi korporasi Medco yang janggal itu dan sikap pemerintah yang cenderung diam. Pertanyaannya, kata dia, mengapa pemerintah tidak menugaskan BUMN tambang Indonesia seperti PT Aneka Tambang, Tbk (ANTM) untuk mengakuisisi saham NNT. "Kenapa harus Medco? Ini kan aneh dan patut dicurigai," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies Marwan Batubara juga mencium kejanggalan yang sama seperti Ferdinand. Dia menegaskan, rencana aksi korporasi Medco yang menggunakan dana dari Bank Mandiri itu menyalahi amanat Konstitusi.

"Tolak akuisisi saham Newmont oleh Medco Energy melalui dana kredit Bank Mandiri dari pinjaman China. Pemerintah jangan boleh merestui. Yang harus beli holding BUMN tambang. Itu amanat konstitusi," kata Marwan kepada gresnews.com, Jumat (8/4), per sambungan seluler.

Marwan mengatakan negara akan sangat dirugikan jika bukan perusahaan holding BUMN yang mengakuisisi saham NNT. "Percuma buat holding BUMN tambang kalau di dalam negeri cuma jadi penonton," katanya.

Mencium gelagat amis rencana aksi korporasi itu, Ketua Komisi VI DPR (bidang BUMN) Ahmad Hafisz Tohir mengatakan pihaknya akan memanggil direksi ketiga bank BUMN yakni Bank Mandiri, BNI dan BRI.

"Masih diperpanjang rapatnya. Minggu depan rencananya tiga pimpinan bank BUMN akan kita panggil kembali ke Komisi VI DPR RI," kata politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu kepada gresnews.com, Jumat (8/4).

RANGKAIAN KEJANGGALAN - Gresnews.com mencatat, kabar bahwa Medco akan mengakuisisi 76% saham NNT dilontarkan oleh Menteri Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli pada akhir 2015.

Lantas pada 18 Maret 2016, Bloomberg menayangkan berita berjudul Indonesian Group Seeks $1 Billion Debt for Newmont Mine Deal. Narasumber berita tersebut adalah Shiv Dave, pendiri firma konsultan keuangan Emindobiz (Indonesia-Singapura), yang berkantor di Plaza Sentral Jakarta.

Lalu pada 1 April 2016, Bloomberg kembali melansir berita berjudul Indonesian Investors Said to Prepare US$2 Billion Newmont Mine Bid. Disebutkan bahwa konsorsium yang dipimpin Agus Projosasmito menyiapkan penawaran US$2 miliar (Rp26 triliun) untuk menjadi pengendali di NNT. Konsorsium dimaksud ingin menguasai 80% saham di NNT. Dinyatakan pula bahwa konsorsium itu akan mendapatkan pinjaman US$1 miliar (Rp13 triliun) dari sejumlah bank seperti BNP Paribas SA, Malayan Banking Bhd, dan Societe Generale. Dari dalam negeri, pinjaman diberikan oleh Bank Mandiri.

Agus adalah mantan Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas yang kemudian berpindah kiprahnya menjadi pimpinan Mandiri Sekuritas pada 2001 (ketika zaman Dirut Mandiri ECW Neloe). Rumor berkembang bahwa dalam konsorsium itu terdapat pula nama pengusaha seperti Kiki Barki Makmur (pengendali di PT Harum Energy, Tbk yang pernah menjadi asisten khusus Menteri Pertahanan Purnomo Yoesgiantoro), serta menantu Kiki, Sudjiono Timan (pernah terjerat korupsi di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) namun lepas di tingkat peninjauan kembali).

Baca: Belajar Lepas Korupsi dari Sudjiono Timan

Pihak Istana Negara sudah mengkonfirmasi rencana Medco mengakuisisi NNT. Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo membenarkan bahwa kedatangan pimpinan Medco yakni Arifin Panigoro, Hilmi Panigoro dan Muhammad Lutfi, pada Senin, 28 Maret 2016, adalah untuk membicarakan soal akuisisi Newmont Nusa Tenggara.

Komposisi pemegang saham NNT per hari ini sesuai informasi yang dilansir laman PT NNT: 56% milik Nusa Tenggara Partnership B.V (Besloten Vennootschap, privat Belanda); 17,8% PT Pukuafu Indah (PTPI); 24% PT Multi Daerah Bersaing (PT MDB); 2,2% PT Indonesia Masbaga Investama (PT IMI).

Dari 56% milik Nusa Tenggara Partnership BV itu, sebanyak 31,5%-nya milik Newmont Mining Corp, sisanya punya Sumitomo Corp dll. Sementara dari 24% milik PT MDB, sebanyak 18% adalah milik BRMS melalui anak usahanya Multi Capital dan sisanya 6% punya BUMN Pemda NTB yakni PT Daerah Maju Bersaing.

Jika benar terjadi transaksi itu maka BRMS (Bakrie Group) akan memperoleh dana sebesar 18/80 x USD$2 miliar = US$450 juta (Rp5,9 triliun).

Saham publik di tubuh Medco ini tak banyak, cuma 18%. Terbesar 50,92% dimiliki oleh Encore Energy Pte Ltd, 20,82% milik Credit Suisse AG SG Trust Account Client, 9,94% milik PT Prudential Life Assurance, 0,25% milik PT Medco Duta, dan 0,06% milik PT Multifabrindo Gemilang. Total jumlah lembar saham beredar emiten ini ada 3 miliaran lembar. Kapitalisasi pasarnya sekitar Rp4,8 triliun.

Fundamental keuangannya juga tidak terlalu bagus. Laba bersih Q3 2015 minus Rp393 miliar. Sementara itu berdasarkan LK Q3 2015 BRMS, total kewajiban (jangka pendek maupun panjang) adalah US$ 811 juta (Rp10,6 triliun). Tercatat laba bersih Rp77 miliar tapi itu karena ada pajak yang ditangguhkan sebesar Rp255 miliar.

Kepemilikan saham BRMS di PT MDB sudah dijadikan jaminan utang ke Credit Suisse AG cabang Singapura yang jumlah totalnya mencapai US$300 juta (Rp3,9 triliun).

Induk BRMS yakni Bumi Resources (BUMI) adalah pemilik 87,09% saham BRMS. Pemegang saham BUMI adalah publik (70,57%), Credit Suisse AG SG qq Longhaul Holdings Ltd (23,15%), dan PT Damar Reka Energi (6,28%). BUMI rugi Rp1,8 triliun (Q3 2015) dan Rp2,2 triliun (Q3 2014).


ALIRAN KREDIT
- China Developmnet Bank (CDB) telah mengucurkan dana senilai US$3 miliar atau sekitar Rp42 triliun kepada Bank Mandiri, BNI, dan BRI.

Penelusuran gresnews.com, dana pinjaman dari China tersebut sejatinya diperuntukkan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Fokus penggunaan dana pinjaman itu untuk kegiatan pembangunan infrastruktur yang dimaksudkan untuk bisa mendorong aktivitas ekonomi.

Selain kejanggalan Medco, muncul juga sejumlah nama perusahaan yang akan menerima kredit dari bank BUMN dari pinjaman CDB.

PT Indah Kiat, misalnya, dikabarkan mendapatkan pinjaman dari BRI sebanyak US$175 juta (Rp2,2 triliun), dari Bank Mandiri sebanyak US$50 juta (Rp655 miliar), dan dari BNI sebanyak Rp 1,067 triliun. PT Indah Kiat adalah salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group.

Selanjutnya, perusahaan yang kerap dikaitkan dengan keluarga Jusuf Kalla, PT Bosowa Energy, mendapatkan kredit dari BRI sebanyak US$143 juta (Rp1,8 triliun) dan PT Semen Bosowa sekitar US$55,7 juta (Rp730 miliar).

Grup Medco yang dikendalikan oleh Arifin Panigoro sendiri diduga akan mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri sebesar US$50 juta (Rp655 miliar) untuk PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan US$345 juta (Rp4,5 triliun) untuk PT Medco Energy International, Tbk (MEDC).

BACA JUGA: