JAKARTA,GRESNEWS.COM - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan menolak usulan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang akan memasukan poin pelonggaran (relaksasi) ekspor mineral mentah  dalam revisi Undang-Undang No.4 Tahun 2009  tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Sebab usulan tersebut justru akan merugikan pelaku usaha tambang dan smelter yang sudah mulai membangun smelter.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Ditjen Ilmate) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, rencana membuka ekspor mineral mentah akan membebankan pelaku usaha tambang yang sedang membangun smelter.

Putu mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 27 smelter di Indonesia. Bahkan separuhnya sudah beroperasi dan sisanya masih tahap proses pembangunan. Maka dikhawatirkan dengan adanya relaksasi tersebut, justru akan membuat pabrik-pabrik itu rugi.

"Jadi yang mempunyai izin akan berpikir, kalau begitu masih bisa ekspor, kita tidak harus jual kepada yang bangun smelter, itu bahayanya. Jadi kasihan mereka yang telah investasi sangat besar, mereka tidak mendapatkan kepastian bahan baku" kata Putu ditemui di Warung Komando, Jakarta, Jumat (26/2).

Gusti menyebutkan baginya tak masalah bila revisi UU No.4 Tahun 2009 itu terkait persoalan kontrak atau apa yang memang mesti disesuaikan. Namun yang dikhawatirkan  apabila revisi tersebut benar mengakomodir izin ekspor mineral mentah (relaksasi ).

"Kami (Kemeperin) tidak mau ada relaksasi tersebut, jadi mohon ditinjau ulang terkait relaksasi. Jangan di kaitkan dulu sampai smelter ini beroperasi. Di lihat dulu, jadi perlu atau tidak maka jangan terburu-buru relaksasi, harus ditinjau lebih dahulu baru bisa jalan," pungkasnya.


BELUM BUKA KRAN EKSPOR MINERAL - Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono membantah jika Kementerian ESDM, akan kembali membuka ekspor mineral mentah (relaksasi).

"Kami tengah berdiskusi mengenai revisi UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, banyak yang harus dievaluasi dan dibahas. Soal isu relaksasi sudah ramai dan banyak dibicarakan, padahal diskusi soal masalah itu belum dilakukan," Kata Bambang di Warung Komando Jakarta, Jumat (26/2).

Dia menuturkan, apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kebijakan tersebut dipastikan telah diperhitungkan dari banyak aspek dan bukan hanya kebijakan yang tiba-tiba.

Lanjutnya, soal wacana membuka kembali ekspor mineral mentah (relaksasi) yang akan dimasukkan dalam revisi UU Minerba. Menurutnya sejauh ini belum ada kepastian.

"Jadi bisa dibuka atau tidak belum ada kepastian karena kita belum ada diskusi. Namun saat ini semua sudah ramai dan sudah berpikir  macam-macam," imbuhnya.

Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merencanakan merevisi UU No.4 Tahun 2009 tentang mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam revisi tersebut sempat diwacanakan untuk mempertimbangkan dibukanya kran eksport mineral mentah. Menyusul belum terealisasinya pembangunan secara keseluruhan.

Namun diakui Kementerian ESDM rencana memasukkan poin relaksasi dalam revisi tersebut belum dipastikan. Termasuk jenis mineral apa yang akan direlaksasi, apakah tembaga, nikel dan emas atau lainnya.

PERJALANAN REVISI UU MINERBA - Revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah direncanakan pemerintah sejak 2010 lalu. Apalagi kemudian muncul keputusan Mahkamah Konstitusi pada Juni 2012 yang telah membatalkan sebagian pasal dalam UU tersebut. Sejak itu revisi UU tersebut beberapa kali masuk dalam program legislasi nasional. Namun pembahasannya tak kunjung kelar.

Demikian juga pada periode 2015,  revisi UU Minerba ini dalam prioritas ke 25 dari prolegnas 2015. Namun hingga kini pembahasannya tak kunjung selesai.

Banyaknya masalah dalam UU tersebut mendorong banyak pihak mengajukan judisial review,  diantaranya persoalan perpanjangan kontrak, luasan wilayah pertambangan, penerimaan negara, pengolahan dan pemurnian, investasi, izin pertambangan rakyat (IPR), dan pengecualian ekspor untuk bauksit dan nikel.

Selain itu menurut Menteri ESDM Sudirman Said revisi UU Minerba juga didorong karena alasan munculnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dimana kewenangan pemerintah kabupaten/kota bergeser ke gubernur/provinsi.

"Jadi ini memerlukan penyesuaian dari sisi kewenangan memberikan IUP (izin usaha pertambangan), kewenangan mereview, kewenangan izin. Harus ada penyesuaian," katanya di Gedung Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Selasa (16/2) lalu.

Selain itu meski telah beberapa kali mengalami revisi, UU Minerba ini masih memerlukan reformulasi agar pasal-pasal yang diubah sesuai dengan amanah Mahkamah Konstitusi (MK).‎

Sudirman mengungkapkan bahwa sejarah terbitnya UU dan Peraturan Pemerintah (PP) seperti PP 1/2014 ini diterbitkan di ujung periode pemerintahan dan masa transisi di mana banyak aspek sebetulnya saat itu dipaksakan.

Untuk itu menurut Mantan Bos PT Pindad ini, jika UU Minerba tidak dilakukan peninjauan maka dapat dipastikan akan terjadi banyak pelanggaran. Pasalnya, aturan yang disusun tidak sesuai dengan kondisi di lapangan saat ini.

"Misalnya, smelter diputuskan pada 2014 bahwa harus selesai 3 tahun setelah PP terbit," ujar Sudirman.



BACA JUGA: