JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beberapa tahun ke depan, sejumlah pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Minyak dan Gas (Migas) yang dikelola pihak asing akan berakhir masa kontrak kerja samanya (KKS). Terkait masalah ini, pemerintah telah memutuskan pengelolaan blok ini diserahkan kepada Pertamina pada 1 Januari 2018 mendatang. Salah satunya adalah blok Mahakam yang saat ini dikelola perusahaan Total E&P Indonesie, asal Prancis yang kontraknya akan berakhir pada 31 Desember 2017.

PT Pertamina (Persero) sendiri mengaku tertarik dan siap mengambil alih sejumlah WK Migas yang memiliki potensi yang bagus, seperti pengelolaan Blok Mahakam, di Kalimantan Timur. "Pertamina sudah melakukan evaluasi beberapa blok yang akan berakhir masa kontrak kerja samanya. Ada beberapa yang kami sangat tertarik dan ada beberapa yang kurang tertarik," tutur Direktur Utama PT Pertamina, Dwi Soetjipto menjawab pertanyaan anggota Komisi VII DPR RI, Totok Daryanto, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (27/5) kemarin.

"Ada kesan pemerintah maju-mundur menyikapi Wilayah Kerja yang habis masa kontrak kerja samanya. Terhadap Blok Mahakam misalnya, bagaimana posisi Pertamina?," tanya Totok.

Dwi menyebutkan, beberapa kriteria blok migas yang menarik minat Pertamina untuk diambil alih, diantaranya yaitu blok migas yang memiliki cadangan migas yang cukup baik prospek maupun operasionalnya. Kemudian blok harus memperhitungkan sub surface (cadangan migas yang tersisa) baik yang sudah terbukti maupun yang prospek termasuk operasionalnya. Kriteria lainnya dari aspek keuangan perusahaan (cash flow).

Kesiapan Pertamina, kata dia, dapat dilihat dari kemampuan pendanaan untuk mengembangkan blok tersebut, baik berupa investasi maupun biaya-biaya operasional. Kemudian didukung aspek teknis, geologis, dan sosial. Termasuk teknologi dan Sumber Daya Manusia yang berpengalaman di sektor Migas. Berupa tenaga ahli di sektor hulu migas.

Pertamina, kata Dwi, terbukti berpengalaman dan sukses mengambil alih sejumlah blok Migas. Dia mencontohkan, WK Offshore North West Java (ONWJ) dari British Petroleum (BP) pada tahun 2009, kemudian WK WMO dari CNOOC, dan WK Siak dari Chevron. Menurut Dwi, dengan masa transisi berjalan terlihat cukup bagus.

Saat WK ONWJ dikelola BP, lanjutnya, terdapat trend penurunan produksi dari 27.000 menjadi  22.000 dan 23.000 barel minyak per hari. Namun ketika dikelola Pertamina kemampuan produksinya bisa meningkat menjadi  34.000 barel oil per hari di tahun 2014.

Namun, kata Dwi Soetjipto, dibandingkan dengan perusahaan minyak nasional atau Nasional Oil Company (NOC) negara lain, Pertamina tergolong perusahaan minyak nasional yang memiliki total produksi yang sedikit. Penyebabnya, Pertamina hanya memegang 24 persen terhadap total produksi nasional. Sementara Malaysia mencapai 33 persen, Nigeria 40 persen, Norwegia 48 persen. Bahkan Brasil 59 persen, Algeria 78 persen, China 85 persen dan Saudi Arabia 99 persen.

Karena itu, lanjut Dwi, Pertamina berusaha meminta dukungan pemerintah, yakni Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memperoleh kewenangan mengelola WK Migas yang akan berakhir masa kontrak kerja samanya, terkait implementasi Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 mengenai Pengelolaan Wilayah Kerja Migas yang akan berakhir kontrak kerjasamanya. Pertamina, kata Dwi, akan berusaha "merebut kembali" blok migas potensial dari tangan asing seperti Blok Mahakam.

Di akhir RDP, Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menyampaikan tujuh kesimpulan terkait masalah blok migas khususnya pengambilalihan Blok Mahakam ini. Pertama, Komisi VII DPR RI meminta Dirut Pertamina untuk menyampaikan roadmap rencana pengelolaan Wilayah Kerja, yang akan berakhir Kontrak Kerja Samanya selambat-lambatnya 30 hari kerja dari hari ini.

Kedua, Komisi VII DPR-RI mendukung PT Pertamina (Persero) untuk mengelola Blok Mahakam dan Wilayah Kerja Migas lain yang akan berakhir Kontrak Kerja Samanya, dengan catatan Pertamina menyiapkan langkah-langkah strategis dan melakukan upaya maksimal agar tidak terjadi penurunan produksi.

Ketiga, Komisi VII DPR-RI mendorong PT Pertamina (Persero) untuk masuk lebih awal dalam masa transisi sebelum Kontrak Kerja Sama pengelolaan Wilayah Kerja berakhir agar peralihan pengelolaan Wilayah Kerja berlangsung dengan lebih baik.

Keempat, Komisi VII DPR-RI mendorong PT Pertamina (Persero) agar lebih aktif untuk melakukan peningkatan pengelolaan Wilayah Kerja Migas baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kelima, dengan banyaknya Kontrak Kerja Sama yang akan berakhir maka, Komisi VII DPR RI berpendapat bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2015 tentang pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir Kontrak Kerja Samanya, agar memberikan keberpihakan pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir‎ kontraknya kepada PT Pertamina (Persero) secara jelas.

Keenam, Komisi VII DPR-RI mendukung rencana PT Pertamina (Persero) untuk membentuk holding BUMN Migas dengan mengakuisisi BUMN Migas lain dan BUMN yang terkait sektor Migas.

Ketujuh, Dengan dibubarkannya Petral, maka Komisi VII DPR-RI mendukung PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN di bidang energi untuk segera merealisasikan visi misi secara sistematis dan terencana sebagai perusahaan Migas kelas dunia (World Oil Company).

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas),  Kementerian Energi Sunber Daya Mineral (ESDM) diketahui telah merilis Kontrak WK Migas akan berakhir masa kontraknya hingga 2019. Disebutkan ada 17 KKS Migas. Seperti Gebang berakhir 2015, Offshore North West Java (2017), Lematang (2017), Warim (2017), Blok Mahakam (2017), Attaka (2017), Tuban (2018), Ogan Komering (2018), Sanga-sanga (2018), Southeast Sumatra (2018), B (2018), NSO/NSO Ext (2018), Tengah (2018), East Kalimantan (2018), Pendopo dan Raja (2019), Bula (2019), dan Seram Non Bula (2019).

BACA JUGA: