JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaku ritel menilai setiap terjadi pergantian pemimpin negara, pemimpin yang baru naik tidak pernah berpikir untuk kemajuan bangsa selama 10 tahun ke depan tetapi hanya memikirkan kepentingannya sendiri untuk mencari posisi aman. Hal itu tercermin dengan melemahnya rupiah hingga menembus Rp13.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Wakil Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia Tutum Rahanta menilai pernyataan pemerintah yang selalu berdalih fundamental ekonomi kuat meski rupiah melemah, hanyalah dalih menghindari tanggung jawab kegagalan mengelola negara. Menurutnya pemaknaan fundamental ekonomi versi pemerintah sangatlah berbeda dengan pemaknaan bagi pelaku retail di lapangan.

Dia meragukan fundamental ekonomi Indonesia benar-benar kuat. Faktanya Indonesia selama ini sangat bergantung kepada luar negeri baik itu untuk memenuhi kebutuhan barang, maupun kebutuhan permodalan.

Pemerintah, kata Tutum, tak pernah memperhatikan aspek fundamental seperti perbaikan infrastruktur, perbaikan hukum seperti UU Ketenagakerjaan, perbaikan di sektor energi seperti bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan gas.

"Pernyataan para pemimpin dan pejabat negara layaknya supir tembak, dimana pernyataan tersebut tidak ada bentuk penyelamatan ekonomi negara tetapi malah justru menyelamatkan posisinya," kata Tutum di Jakarta, Sabtu (28/3).  

Dia mencontohkan pelaku retail selama ini lebih memilih impor ketimbang subtitusi perdagangan dengan daerah lain. Misalnya, Sumatera Utara kaya akan jeruk. Pelaku usaha jeruk lebih memilih mengekspor ke Singapura ketimbang ke pulau Jawa karena infrastruktur dan transportasi tidak mendukung.

Jika jeruk tersebut dikirim ke pulau Jawa maka cenderung jeruk tersebut akan busuk di tengah jalan. Lalu jika dikirim ke Singapura lebih dekat dan pelaku usaha jeruk akan mendapatkan penghasilan yang lebih ketimbang mengirim jeruk ke pulau Jawa.

"Kenapa tergantung dengan luar negeri. Luar negeri batuk-batuk, kita juga ikut batuk. Luar negeri batuknya sudah sembuh tapi kita masih terus batuk," kata Tutum menegaskan.

Sementara itu, menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini pelemahan rupiah dikarenakan pengaruh dari faktor eksternal dan internal Indonesia. Untuk faktor internal dikarenakan defisit neraca perdagangan yang masih menjadi kendala bagi pemerintahan Jokowi-JK. Kemudian angka inflasi pada bulan Februari 2015, diperkirakan tidak akan berpengaruh terhadap rupiah dengan dolar.

Lalu, untuk angka indeks harga konsumen juga tidak akan mengulang kembali deflasi yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya. Hal itu dikarenakan dalam minggu terakhir di bulan Februari telah terjadi kenaikan beberapa komoditas seperti beras dan kelangkaan elpiji.

Kemudian untuk eksternal sendiri, Hendri menduga karena pengaruh rencana The Fed yang akan mengurangi stimulus moneternya masih menjadi faktor utama melemahnya beberapa mata uang negara berkembang. Salah satunya adalah Indonesia. "Rupiah itu tidak bergantung pada satu sentimen saja," kata Hendri, Jakarta

BACA JUGA: