JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana akan memungut Dana Ketahanan Energi (DKE) dari semua bahan bakar fosil. "Nanti seluruh energi dari fosil akan dikenakan pungutan," kata Sudirman di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (30/12).

Dengan demikian, kata Sudirman, selain minyak mentah, jenis komoditas pertambangan yang masuk kategori fosil diantaranya, batubara dan gas alam akan dikenakan pungutan DKE. Pemerintah, kata dia, mempunyai dasar yang kuat untuk mulai membatasi penggunaan energi fosil di Indonesia.

Dengan mengutip DKE, Sudirman berharap, pemerintah bisa membangun ketahanan energi melalui pembangunan infrastruktur energi terbarukan. "Jika secara substansi kita miliki keyakinan DKE meskipun berbeda, namun dibutuhkan untuk membangun ketahanan energi kedepan, maka fokusnya yaitu, mendorong pembangunan energi baru dan terbarukan," jelasnya.

Sudirman menjamin, bahwa dana pungutan energi (DKE) akan dikelola dengan baik dan menimbulkan manfaat, khsusnya untuk sektor energi. DKE, kata dia, bisa digunakan untuk melakukan eksplorasi migas, geothermal dan batubara, sebab investasi untuk eksplorasi mengalami penurunan.

"Kalau dilihat dari sisi kebutuhan yang sangat mendesak untuk disediakan yaitu stimulus untuk membangun energi baru dan terbarukan dan stimulus untuk melakukan eksplorasi migas, geothermal dan batubara. Karena investasi sedang mengalami penurunan," paparnya.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemerintah harus duduk bersama Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas pungutan DKE. Alasannya, berdasarkan UU Energi pungutan dana tersebut harus dibahas bersama DPR.

Selain itu, secara politis, hal ini penting agar tidak terjadi kegaduhan dimata publik. "Saya kira ini tujuannya baik, sehingga pemerintah perlu melakukannya dengan cara yang baik pula. Tapi jangan sampai nantinya malah jadi gaduh baik dipermasalahkan rakyat maupun DPR karena tidak ada aturan yg jelas," kata Komaidi kepada gresnews.com, Rabu (30/12).

Komaidi menilai, rencana DKE yang dipungut dari batubara dan gas alam merupakan hak pemerintah asal memiliki dasar hukum dan dikomunikasikan dengan DPR selaku wakil publik. "Kalau dari pungutan semua itu tidak dikomunikasikan ke DPR dan transparan serta tanpa dilandasi payung hukum yang jelas, maka yang akan terkena dampak kan publik juga atau masyarakat," tegasnya.

Sebelumnya, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dana ketahanan energi jelas merupakan sebuah pungutan liar karena tak ada dasar hukumnya. Tulus menuturkan semestinya pemerintah membuat payung hukum sehingga jelas dan transparan, sebelum mengumumkan adanya pungutan dana ketahanan energi.

"Harusnya pemerintah harus lebih dulu membentuk payung hukum sebelum menerapkan kebijakan dana ketahanan energi," kata Tulus saat ditemui di Warung Komando, Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Selasa (29/12).

Kemudian, kata dia, harus dibentuk kelembagaan independen agar lebih transparan pengelolaannya dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain. "Jika tidak itu sama saja pungli," katanya menegaskan.

PELANGGARAN UU - Sudirman Said memang mengaku sudah mengkomunikasikan masalah DKE ini ke DPR. Dia mengatakan, setelah masa reses anggota DPR selesai pada pertengahan Januari mendatang, DKE akan diusulkan masuk dalam Rancangan APBNP 2016.

Hanya saja, dari anggota DPR sendiri, menentang rencana pemerintah memungut DKE. Ketua Komisi VI Hafizs Tohir menyatakan pungutan DKE yang akan dilakukan pemerintah per 5 Januari 2016 mendatang adalah pelanggaran terhadap undang-undang. "Kebijakan ini liar karena sama sekali tidak berdasar hukum baik itu UU tentang energi maupun peraturan turunannya seperti peraturan pemerintah (PP)," katanya dalam keterangan yang diterima gresnews.com, Rabu (30/12).

Ia menyatakan Menteri ESDM telah salah menafsirkan Pasal 30 UU Energi tentang ketahanan energi. Maksud ketahanan energi dalam pasal ini, kata Hafizs, adalah pemerintah wajib menjaga ketersedian energi yang cukup bagi rakyat dan kesiapan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu ketika terjadi situasi yang tidak normal.

"Misalnya dalam hal kesiapan BBM, dalam situasi tidak normal negara dalam hal ini di wakili Pertamina hanya mampu bertahan dalam kurun waktu 18 hari masih kalah jauh dengan Singapura yang mampu bertahan selama 3 bulan," katanya.

Kemudian tafsir berikutnya yakni cara pemerintah mengusahakan dan mengembangkan energi alternatif selain minyak dan gas seperti potensi panas bumi, tenaga surya, bio energi dan lain-lain. Ujung dari ketahanan energi ini berimbas pada ketahanan ekonomi yang nantinya akan menjadi salah satu faktor ketahanan nasional dalam percaturan global.

"Jadi, bukan tafsirnya kemudian memungut Dana Ketahanan Energi dari rakyat. Ini logika pedagang namanya," ujar Hafizs.

Ia pun mengkritisi alasan saat subsidi BBM di cabut yakni untuk pembiayaan sektor produktif, namun saat ini malah rakyat yang disuruh menanggung DKE. Penurunan harga BBM yang ditetapkan pemerintah dengan harga yang diperdagangkan di kisaran US$34-US$36/barel juga dianggap masih jauh dari harga wajar minyak dunia.

Hafizs mengatakan seharusnya harga yang ditetapkan pemerintah masih bisa jauh lebih murah. Hal ini lantaran harga BBM mengikuti mekanisme pasar, sayangnya saat harga minyak dunia naik, pemerintah terkesan cepat pula menaikan harga BBM. Namun, disaat turun, rakyat masih di suruh menanggung, padahal penurunan harga BBM dapat dijadikan momentum tepat untuk menggairahkan pelaku usaha, meningkatkan daya beli masyarakat serta menggeliatkan perekonomian nasional.

"Ini rezim anti subsidi sekaligus rezim minta disubsidi. Aneh! Negara-negara dengan ekonomi kapitalis liberalis saja logikanya tidak seperti pemerintah sekarang ini. Ini sudah kebablasan penafsirannya," katanya.

Jika benar diterapkan pada tanggal 5 Januari, sedangkan pembahasan bersama DPR masih menunggu masa reses berakhir, yakni pertengahan Januari, kata Hafizs, maka dengan sangat jelas pungutan DKE liar karena tidak melalui persetujuan DPR, dan tak masuk dalam nomenklatur apapun. Ia menyatakan maladministrasi pemerintahan seperti ini tak boleh diteruskan.

"Jika diteruskan, maka pemerintah seakan mengulang saat pengelolaan kartu sakti pemerintah yang juga tak ada nomenklaturnya," katanya.

Kembali ia menekankan, pemerintah tidak bisa menggunakan pasal 30 UU No 30 tahun 2007 tentang energi untuk melakukan pungutan dari penjualan BBM, dengan dalih demi kepentingan penelitian Energi Baru Terbarukan (EBT). Pasal tersebut menyebutkan dana EBT dapat berasal dari APBN, APBD dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus didahulukan, dan tidak ada kewenangan pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada rakyat. "Setiap pungutan harus masuk dalam kategori PNBP yang lebih dulu ditetapkan dengan PP," katanya.

TERLALU BANYAK PUNGUTAN - Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengtaakan, dia memahami kontroversi DKE sebagai bentuk respons publik yang merasakan adanya terlalu banyak jenis pungutan dari negara, termasuk yang tak resmi namun manfaat yang dirasakan belumlah optimal. Untuk itu, pemerintah harus mewaspadai dinamika sosio-politik ini agar tak menimbulkan gejolak.

Sejarah mencatat jatuh bangunnya peradaban dan kekuasaan disulut oleh beban pajak dan pungutan yang tinggi. "Secara normatif pungutan ini dimungkinkan di UU No 30/2007 tentang Energi dan PP 79/2014 tentang Ketahanan Energi Nasional," katanya lewat pesan kepada gresnews.com, Rabu (30/12).

Tetapi pungutan oleh negara sesuai Pasal 23A UUD hanya berupa pajak atau pungutan lain (non-pajak) yang diatur dengan UU. Karena belum ada UU sebagai pelaksanaan Pasal 23A tentang pungutan bukan pajak, maka pemerintah harus tunduk pada UU No 20 tahun 1997 tentang PNBP.

Lalu akan dibuat PP sebagai aturan pelaksanaan atau dapat menggunakan skema BLU lalu earmarking seperti CPO Fund. "Tanpa ada PP yang mengatur jenis dan tarif pungutan DKE, pungutan DKE berpotensi melanggar UUD dan UU," katanya.

Hal ini akan menambah persoalan di ruang publik, ditambah kemasan isu yang seolah tak peka pada beban rakyat. Namun, ia tak menampik pentingnya DKE, walaupun pemerintah tetap harus memperhatikan sisi regulasi dan governance agar tak menimbulkan dampak buruk ke depannya.

"Setidaknya mulai diwacanakan bahwa pungutan ini masih konsep atau ide dan bisa diterapkan jika PP terbit dan dimasukkan dalam APBNP 2016," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Maritje Hutapea menyatakan, nantinya akan ada lembaga baru untuk mengelola DKE dan memberikan subsidi EBT. Penarikan DKE ini juga diperlukan agar Indonesia tak lagu menyumbang kenaikan suhu dunia akibat pengolahan bahan bakar fosil.

Perlu diketahui, Indonesia masuk dalam salah satu negara penyumbang polutan terbesar di dunia, dan sebanyak 70 persen kenaikan suhu disebabkan oleh produksi bahan bakar fosil. "Memang EBT ini mahal jika dibandingkan fosil, nah harga pembelian EBT dari pengusaha ke pemerintah tak pernah ketemu lantaran mahal. DKE salah satu solusinya," katanya kepada gresnews.com, Selasa (29/12).

Nantinya dana ini juga akan kembali ke masyarakat dengan pemberian subsidi EBT yang akan digunakan masyarakat, sehingga masyarakat pun tak membeli listrik EBT dengan harga yang mahal. "Filipina juga sudah menerapkan dana yang serupa," ujarnya.

Ia menyatakan mekanisme di negara tersebut yakni terdapat satu unit transmition company yang diberi insentif EBT oleh pemerintahnya. Sedang, pelanggan/konsumen wajib membayar biaya tambahan sebwsar 0,04 Peso per Kwh. Maka harga yang dibayarkan sebesar listrik yang digunakan dikali harga listrik, kemudian ditambah 0,04 Peso dikali besaran listrik yang digunakan. "Nah, ini yang dikumpulkan untuk dana ketahanan energi buat developer cari investor," katanya. (Gresnews.com/Agus Irawan)

BACA JUGA: