JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perubahan iklim atau climate change merupakan isu bersama yang sedang dibahas sebagian besar negara di dunia. Seriusnya ancaman lingkungan membuat isu tersebut menjadi topik pembahasan utama pada tingkat internasional yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perhatian dunia soal lingkungan pertama kali ditandai oleh terbentuknya Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992.

Dari inisiatif UNFCC itu, melahirkan forum penting untuk mewadahi agenda pembahasan internasional. Salah satunya lewat Conference of Parties (COP) ke-21 perubahan iklim yang berlangsung di Paris, Senin (30/11) 2015.

Kerangka kerjasama ini merupakan suatu konferensi perubahan iklim antar negara-negara sebagai tindak lanjut menggantikan skema Protokol Kyoto yang telah berakhir 2012 lalu.

Secara spesifik dalam perundingan, masing-masing negara terlibat secara strategis menjadi representasi penting mendukung negosiasi capaian kesepakatan mereduksi emisi karbon guna mencegah terjadinya pemanasan global (global warming).

Pertemuan COP 21 Paris sesuai rencana digelar mulai 30 November sampai 11 Desember 2015 dengan melibatkan 136 negara.

Sebelum berlangsungnya proses perundingan itu, negara berkembang maupun maju telah menyepakati target pengurangan emisi yang dimuat dalam kerangka Komitmen Kontribusi Nasional atau Intended Nationally Determined Contribution (INDC).

Dalam posisi ini, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang turut menyepakati pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, pada pertemuan COP Paris 2015, fokus pembahasan kerjasama negara-negara menitikberatkan pada upaya menghadapi ancaman perubahan iklim melalui langkah-langkah political push mencapai suatu kesepakatan bersama.

"Presiden telah menyampaikan komitmen Indonesia kepada leaders ketika pidato di COP 21 Paris yaitu penurunan emisi dari business as usual pada 2030 dan 41 persen melalui kerjasama internasional," kata pria yang akrab disapa Tata itu kepada gresnews.com, Selasa (1/12).

Menurutnya, dalam upaya menuju pencapaian itu, tentu dibutuhkan concern bersama mengatasi ancaman perubahan iklim. Untuk itu, pada kesempatan konferensi pembahasan perubahan iklim di Paris, pemerintah berupaya mendorong tercapainya kesepakatan soal dukungan negara maju terhadap negara berkembang dalam upaya mengurangi emisi melalui transfer tekonologi, peningkatan kapasitas termasuk financing mitigasi perubahan iklim.

KEBAKARAN HUTAN JADI ANCAMAN - Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Toferry P. Soetikno menyampaikan, Indonesia tetap optimis mengejar target 29 persen pengurangan emisi.

Namun diakui, dilihat kondisi saat ini, ada tren peningkatan pada emisi nasional akibat kebakaran hutan yang semakin diperparah dengan adanya El Nino. Faktor tersebut membuat sebagian besar hutan di beberapa wilayah Indonesia mengalami kebakaran serius dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir.

"Seperti El Nino tahun ini lebih buruk dari tahun sebelumnya, sangat besar dampaknya," kata Toferry.

Jalan keluar menyelesaikan persoalan kebakaran hutan, kata dia, membutuhkan kerjasama internasional sehingga Forum COP kali ini dinilai sangat baik sebagai forum dialog meyakinkan masyarakat global mencapai komitmen bersama mengatasi perubahan iklim.

"DI COP, kita meminta perubahan iklim dijadikan permasalahan global dan negara maju harus lebih signifikan berkontribusi pada pengurangan emisi," lanjutnya.

Kendati banyaknya persoalan yang dihadapi, Toferry menyebut, pemerintah tetap optimis soal capaian yang telah ditentukan yaitu lewat langkah yang dilakukan dan siapkan diyakini mampu menekan pengurangan emisi 29 persen.

"Target Itu sudah diperhitungkan secara matang. Kami optimis berkontribusi pada pengurangan emisi sebesar 29 persen," tuturnya.

MEMPERTANYAKAN TARGET PENGURANGAN EMISI - Pemerintah Indonesia telah sepakat akan menunjukan komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen. Hanya saja, sebagian pihak menilai, harapan itu perlu dipertanyakan, utamanya menyangkut kebijakan pemerintah saat ini yang bertolak belakang dengan visi mengurangi emisi.

Manager Emergency Response sekaligus aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan target pengurangan emisi saat ini agak meningkat dari sebelumnya 26 persen menjadi 29 persen. Hal itu terefleksi dalam poin kesepakatan di INDC yang beberapa waktu lalu dipublikasi pemerintah.

"Kalau mau mencapai target, kebijakan energi dan pembangunan harus dievaluasi secara total," kata Bagus kepada gresnews.com, Selasa (1/12).

Ia mengkritisi susunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 yang belum menunjukan prioritas terhadap pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan.

Dari susunan RPJMN yang ada, Ia menilai, tidak ada kejelasan dan upaya serius pemerintah mendorong sektor tersebut misalnya dari segi perincian jangka waktu dan target berapa megawat yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan. Sementara, beda halnya dengan pembakaran energi fosil seperti batubara yang ditargetkan cukup tinggi bahkan mencapai 20 ribu megawat.

"Energi terbarukan tidak ada targetnya bahkan sangat kecil," kata dia.

Padahal, sampai saat ini, Bagus menekankan, elemen penyumbang emisi terbesar di Indonesia adalah berasal dari energi fosil melalui pembakaran batubara dan minyak. Terkait itu, penurunan emisi tidak hanya sebatas menjaga hutan, tetapi mencegah meluasnya penggunaan bahan bakar fosil.

Penggunaan bahan bakar fosil juga, kata dia, semakin mendegradasi daya dukung lingkungan dan meningkatkan laju konversi lahan pangan serta hutan. Ia menyebut, data laju konversi hutan dan lahan di wilayah tambang terus menunjukan tren peningkatan.

Bagus menyebut, sesuai data 2014, angka konversi lahan pangan di Kalimantan Timur saja sudah mencapai 7 ribu-12 ribu hektar per tahun. Sementara, tambang di kawasan hutan termasuk batubara, secara keseluruhan total mencapai 25 juta hektar.

"Kalau izin tambang terutama batubara tidak dievaluasi kemudian tetap dibiarkan beroperasi, maka target pengurangan emisi yang diserukan pemerintah di COP 21 di Paris tidak realistis," tegasnya.

Selain itu, Ia pun mempertanyakan target pemerintah mereduksi emisi seperti yang diajukan dalam INDC. Menurutnya, belum ada ada penjelasan dan sama sekali tidak merincikan kontribusi 29 persen emisi dari sektor mana saja.

Seharusnya, ada rincian misalnya apa saja kontribusi terhadap pengurangan emisi. Indonesia sebagaimana dipidatokan presiden hanya menyebut 29 persen dari skema business as usual tetapi rincaian kontribusi emisi tidak dipertimbangkan," lanjut Bagus.

Seyogianya dalam 29 persen tersebut dimuat indikator dan target capaiannya dari sektor mana saja agar semakin mudah dilakukan evaluasi. Langkah pendekatan yang perlu dilakukan, menurut Bagus, lebih pada komitmen pemerintah melakukan evaluasi realisasi target proyek 35 ribu megawatt, memulihkan lahan hutan dan meminimalisir pembakaran energi fosil.

TARGET TIDAK REALISTIS - Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto menilai, pidato Presiden Joko Widodo dalam konferensi perubahan iklim COP ke-21 di Paris, tidak jauh berbeda seperti yang telah disampaikan dalam komitmen mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya menyangkut posisi Indonesia mengurangi emisi.

Hanya saja, menurut Arif, target yang ditentukan pemerintah tidak realistis ketika kebijakan-kebijakan energi nasional pemerintah saat ini secara nyata masih bertolak belakang dengan komitmen pengurangan emisi di COP Paris. Ditambah lagi, adanya rencana pembangunan proyek 35 ribu megawat yang 60 persennya berupa pembangkit listrik tenaga uap berbahan batubara.

"60 persen berarti 22 ribu megawat dari toal 35 ribu itu akan dibangun PLTU batubara. Bagaimana mungkin komitmen mengurangi emisi dapat dicapai sementara terus menggunakan batubara yang notabene berkontribusi paling signifikan pada emisi," kata Arif kepada gresnews.com, Selasa (1/12).

Arif menyampaikan, apabila tren pembangunan PLTU batubara meningkat dan pemerintah terus melanjutkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, maka menurut estimasi Dewan Nasional Perubahan Iklim, tidak sampai sepuluh tahun, emisi karbon Indonesia dari sektor energi akan melonjak drastis.

Target di konferensi iklim, menurut Arif, sulit mencapai komitmen pengurangan emisi kalau pemerintah belum merubah paradigma penyusunan energi nasional yang saat ini masih berpikir solusi pemenuhan listrik hanya bersumber dari batubara. Pandangan pemerintah tersebut justru dianggap keliru karena sebagian negara lain sudah mulai beralih ke sumber-sumber energi terbarukan.

BACA JUGA: