JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo mengambil langkah berbeda dari pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam soal ajakan Amerika Serikat bergabung dalam Trans Pacific Partnership. Jika SBY menolak ajakan bergabung dalam forum kerjasama ekonomi negara-negara pasifik itu, Jokowi justru memberi lampu hijau bagi Indonesia untuk bergabung.

Hal itu disampaikan Jokowi dalam keterangan pers bersama Presiden AS Barrack Obama di Gedung Putih, Washington DC, Senin (26/10). "Ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka. Indonesia dengan penduduk 250 juta merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan Indonesia bermaksud untuk bergabung dengan Trans Pasific Partnership (TPT)," kata Jokowi.

TPP adalah pakta perdagangan antar-negara-negara di Asia Pasifik yang meliputi 12 negara, yaitu AS, Jepang, Brunei, Chile, New Zealand, Singapura, Australia, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vietnam. Perjanjian tersebut diklaim sebagai perjanjian dagang paling komplit dan berstandar paling tinggi, termasuk mengatur hak kekayaan intelektual, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mekanisme penyelesaian sengketan antara negara dengan investor asing.

Negosiasi TPP disepakati antar-negara peserta tanggal 5 Oktober 2015 lalu, namun masih memerlukan persetujuan parlemen masing-masing negara sebelum bisa berlaku. Saat bertemu Jokowi, Obama mengatakan, AS ingin menjadi mitra dari AS dalam segala bidang, termasuk ekonomi.

"Kami berdiskusi bagaimana kami bisa memperkuat hubungan perdagangan, investasi, dan hubungan komersial antara kedua negara. Termasuk juga keinginan Presiden (Jokowi) untuk memperluas ekonomi berbasis digital di Indonesia, untuk mengurangi kemungkinan dan memperkuat jutaan orang di Indonesia," kata Obama.

Keinginan Jokowi bergabung dengan TPP juga ditegaskan saat acara jamuan makan malam dengan kalangan bisnis dan pengambil kebijakan. "Indonesia ingin bergabung dengan TPP. Sekali lagi, Indonesia ingin bergabung dengan Trans-Pacific Partnership," kata Jokowi.

Jokowi mengatakan, sekarang sudah waktunya untuk memberi kebebasan lebih kepada sektor swasta, baik domestik maupun asing.

"Sudah waktunya untuk membebaskan sektor privat kita, baik domestic maupun asing, dari kebijakan-kebijakan yang kurang dipahami dengan baik, perizinan dan pemberian lisensi yang berlebihan, dan proteksionisme yang salah sasaran yang telah merugikan perusahaan-perusahaan dan industri kita begitu lama," katanya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Thomas Lembong pernah menyatakan kekhawatirannya terhadap Vietnam. Karena Vietnam masuk ke dalam TPP dan memiliki akses pasar ekspor yang lebih luas termasuk ke Uni Eropa.

"Pengumuman mengenai TPP itu mengejutkan. AS berhasil menggaet 12 negara. Ini gawat kalau melihat Vietnam. Sudah rampung pasar akses bebas ke Uni Eropa dan masuk TPP. Persaingan dengan Indonesia kalau pemilik pabrik memilih ya nggak ada bandingan dengan Indonesia. Sudah jelas pasarnya lebih bebas Vietnam," ucap Lembong pada 19 Oktober 2015 lalu.

Karena itu, kata dia, Indonesia juga harus ikut mengembangkan akses pasar, melakukan reformasi birokrasi, dan deregulasi agar tidak ketinggalan. Reformasi birokrasi dan deregulasi telah dilakukan lewat paket kebijakan yang diterbitkan pemerintah Jokowi.

Vietnam memang tengah aktif meningkatkan akses pasar ekspornya. Negara ini juga telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga mengatakan, bila Indonesia tidak bergabung dengan TPP, maka akan ketinggalan. "Kalau tidak kita akan sulit bersaing dengan negara lain," kata JK, Selasa (27/10).

TPP MERUGIKAN - Rencana Presiden Jokowi untuk bergabung dengan TPP ini ditentang keras para aktivis anti perdagangan bebas. TPP dinilai hanya akan membawa kerugian bagi Indonesia dan kalau pun ada dampak positif itu hanya sedikit sekali.

Ketua Umum Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan, TPP tidak memiliki relevansi dalam menyelamatkan ekonomi tiap-tiap negara anggotanya. Harmonisasi dan integrasi sistem ekonomi yang ada dalam TPP, kata Riza, justru memutarbalikkan logika kedaulatan ekonomi sebuah bangsa.

Karena itu, kata dia, Indonesia tidak seharusnya bergabung di sana. "Konsekuensinya akan lebih buruk buat Indonesia," kata Riza kepada gresnews.com, Selasa (27/10).

Lewat TPP, kata dia, Amerika Serikat mungkin saja akan mengalihkan impornya ke negara anggota ketimbang dari Indonesia. Hanya saja hal ini, kata Riza, tidak perlu dirisaukan.

Pasalnya dalam hal investasi, AS masih menanamkan banyak modalnya di Indonesia meski kedua belah pihak tidak memiliki kerja sama bilateral investment treaty (BIT).

Indonesia saat ini memiliki lebih dari 60 kesepakatan BIT dengan banyak negara, tetapi tidak dengan AS. Pada penerapannya, investasi AS cenderung lebih besar dibanding negara-negara yang memiliki BIT dengan Indonesia.

"Jadi tidak perlu khawatir Amerika akan lari ke tempat lain. Menurut saya itu ketakutan yang dibangun tanpa alasan yang kuat," ujarnya.

Ketimbang mengikuti pola permainan AS lewat TPP, Indonesia menurut Riza, sebaiknya memperkuat daya saing produk dalam negeri. Selain itu, Indonesia juga perlu melakukan penguatan diplomasi ekonomi.

"Kita juga perlu penguatan analisis pasar dan direct market yang paling potensial untuk dikembangkan," pungkasnya.

Sebelumnya IGJ memang sudah mengingatkan agar Presiden Jokowi tidak menggunakan kunjungan ke AS tersebut untuk membahas soal keterlibatan Indonesia dalam TPP.

Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan, TPP merupakan suatu mega trading blok yang mendorong kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang mewakili 40% kekuatan ekonomi dunia. Pada 5 Oktober 2015, TPP yang dikomandoi AS telah mencapai kesepakatannya dan menyatukan 12 negara, yakni Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Vietnam.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, implementasi perjanjian perdagangan bebas menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar impor bagi produk barang dan jasa negara lain.

"Jika Indonesia bergabung dengan TPP maka tidak banyak peluang yang bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya ditengah situasi pelemahan ekonomi global hari ini," kata Advocacy & Campaign Manager IGJ Niko Amrullah dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP yang 80% diantaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukan defisit, seperti dengan Australia, Brunai, Chille, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam.

Bahkan, ada beberapa negara yang menunjukan trend perdagangan Indonesia dengan mitranya ini disepanjang 2010-2014 menunjukan kecenderungan negative, seperti dengan Amerika Serikat -0,11, Brunai -9,42%, Chille -6,86%, dan Jepang 2,57%.

Lebih lanjut, TPP juga menerapkan standar kewajiban hukum yang lebih tinggi dan ketat, dan memaksa negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan standar TPP, yang merupakan standar AS. Ini sama saja seperti kita mengimpor seluruh regulasi AS ke Indonesia.

"Celakanya, TPP juga meliberalisasi sektor penggadaan pemerintah (government procurement)," tegas Niko.

Karena itu, kata dia, dengan masih timpangnya kinerja perekonomian yang telah menghiasi setahun Kabinet Kerja Jokowi, jangan ditambahkan lagi dengan aksi diplomasi ekonomi yang nantinya akan merugikan perekonomian nasional. "Indonesia yang telah agresif meratifikasi Free Trade Agreement (FTA), justru yang diperlukan adalah penguatan kembali fundamental ekonomi domestik," pungkasnya.

DITOLAK SBY - Terkait kerjasama TPP ini, Amerika Serikat memang cukup agresig untuk merayu negara lain untuk bergabung termasuk Indonesia. Ajakan itu bahkan sudah diajukan sejak era pemerintahan Presiden SBY pada tahun 2010 lalu.

Hanya saja ketika itu, pemerintahan SBY, menolak ajakan Obama agar Indonesia masuk ke dalam TPP. Penolakan ini disampaikan saat pertemuan KTT APEC di Hawaii.

"Saya tidak mau langsung ikut-ikutan. Bicarakan dulu baik-baik, apa itu TPP? Apa konsekuensi dan keuntungannya bagi rakyat kita," ujar SBY waktu itu.

Presiden SBY menegaskan, dirinya bukan mencurigai isu perdagangan bebas baru yang digagas AS-Australia itu. Namun jauh lebih penting perdagangan bebas yang adil dan mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat.

Bila sudah ada penjelasan serta tata cara perdagangan bebas yang fair, Indonesia siap bergabung. Itu pun setelah ada kepastian seluruh elemen masyarakat yang terlibat di dalam kerjasama itu sudah siap melaksanakannya.

"Saya penganut free and fair trade. Maka saat banyak yang mengajak free trade, saya sangat hati-hati. Free trade yang dikelola baik, bisa mendatangkan manfaat luar biasa. Belajar pengalaman lalu, saya tidak suka bila setelah UU free trade disahkan timbul masalah, seperti ada elemen yang tidak siap," papar SBY.

Di dalam pidatonya, Presiden AS Barack Obama menyatakan amat ingin meningkatkan perdagangan dengan Asia-Pasifik. Pasar di Asia dan Pasifik yang meningkat serta lolos dari krisis ekonomi 2008 diyakini mampu membuka jutaan lapangan kerja baru di AS.

Namun Obama menginginkan adanya penghapusan bea tarif masuk bagi barang asal AS di negara-negara partner dagangnya. Dengan cara ini maka harga barang produk asal AS bisa lebih murah dan mendorong permintaan dari pasar negara TPP.

Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat Gita Wirjawan juga menegaskan penolakan Indonesia tersebut.

"Ya (kita tolak). Kita juga harus lihat kesiapan industri kita apakah siap buat berkompetisi dengan negara lain. Industrialisasi di negara lain sudah maju 100-200 tahun. Ke depan ini kita harus berkomunikasi dengan kementerian terkait. Yakinkan kita bisa ukur parameter industri kita sudah terpenuhi atau belum," tutur Gita kala itu.

Menurut Gita, Indonesia belum siap masuk ke dalam TPP tersebut. Masih banyak yang harus dipelajari pemerintah terkait tawaran Obama ini.

"Jadi perdagangan bebas harus dibuntuti dan ditopang oleh keadilan dan keseimbangan. Kalau nggak ada dan tidak buahkan keuntungan untuk Indonesia, kita akan ambil sikap yang sesuai," jelas Gita. (dtc)

BACA JUGA: