JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penerapan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di Rumah Sakit dinilai hanya akan menciptakan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan masyarakat, terutama bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Peraturan itu juga akan menyebabkan terganggunya pelayanan pasien reguler peserta JKN.

Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan, dengan adanya regulasi tersebut, rumah sakit-rumah sakit pemerintah pusat dan daerah tipe A, B, dan C akan berusaha membuka pelayanan rawat jalan eksekutif. Akibatnya, ruang pelayanan yang tadinya ditujukan untuk seluruh pasien, baik peserta JKN maupun pasien umum, berpotensi diubah menjadi ruang pelayanan rawat jalan eksekutif. "Tarif layanan (eksekutif) tersebut tentu akan lebih mahal (dari reguler)," kata Timboel kepada gresnews.com, Jumat (29/4) malam.

Timboel mengungkapkan, bagi peserta JKN yang akan menggunakan fasilitas eksekutif tersebut juga harus membuat pernyataan mematuhi ketentuan sebagai pasien rawat jalan eksekutif, sekaligus bersedia membayar selisih biaya pelayanan, sesuai ketentuan Pasal 13 Ayat (2) Permenkes tersebut. Artinya, lanjut dia, di kalangan peserta JKN sendiri akan ada diskriminasi, yaitu perbedaan pelayanan. "Yang mampu membayar selisih biaya pelayanan akan mendapat pelayanan lebih baik dan lebih cepat, dibandingkan dengan pasien reguler yang tidak memiliki kemampuan membayar selisih biaya pelayanan," kata dia. 

Pasal 13 Ayat (1) Permenkes Nomor 11 Tahun 2016 berbunyi pelayanan rawat jalan eksekutif dapat diakses oleh peserta umum atau peserta JKN kecuali peserta penerima bantuan iuran dan peserta jaminan kesehatan yang didaftarkan oleh pemerintah daerah. Sementara Ayat (2) berbunyi peserta JKN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus memiliki surat rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, serta membuat pernyataan mematuhi ketentuan sebagai pasien rawat jalan eksekutif, dan bersedia membayar selisih biaya pelayanan.

Lebih jauh Timboel mencontohkan, diubahnya ruang pelayanan reguler menjadi ruang eksekutif itu sudah terjadi di RS Karyadi, Semarang, Jawa Tengah. Dua ruang paviliun yang tadinya digunakan untuk melayani rawat jalan reguler sekarang sudah diubah melayani pasien rawat jalan eksekutif, sehingga ruang pelayanan untuk pasien reguler menjadi berkurang karena dialihkan untuk pelayanan eksekutif.

"Akses peserta JKN yang reguler terhadap pelayanan kesehatan akan menurun sehingga akan terjadi penumpukan dan daftar tunggu pelayanan yang lebih lama," ungkap Timboel.
 
Bahkan, dengan ada pelayanan eksekutif itu, dokter spesialis dan sub-spesialis akan cenderung untuk lebih menyukai berada di ruang pelayanan rawat jalan eksekutif, mengingat remunerasinya akan lebih besar di layanan eksekutif daripada di layanan reguler.

Berdasarkan pantauan BPJS Watch, pasien-pasien JKN reguler di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta lebih banyak ditangani oleh dokter-dokter yang sedang belajar untuk menjadi dokter spesialis. Dokter-dokter yang sedang belajar tersebut kerap kali harus berkonsultasi dulu dengan dokter spesialis. "Ini kan sebenarnya juga mengganggu pelayanan bagi peserta reguler," ungkapnya.
 
Menurutnya, dengan kondisi di atas maka akan diragukanlah bunyi Pasal 11 Permenkes tersebut yang menyatakan bahwa pelayanan rawat jalan eksekutif di rumah sakit tidak boleh mengganggu pelayanan rawat jalan reguler. "Saya meyakini bahwa kehadiran pelayanan rawat jalan eksekutif ini akan mengganggu pelayanan rawat jalan reguler," tandasnya.
 
Timboel menegaskan, kehadiran rumah sakit milik pemerintah pusat dan daerah yang dibiayai oleh uang rakyat, seharusnya ditujukan untuk seluruh masyarakat tanpa harus menciptakan diskriminasi. Oleh karena itu, seharusnya Menteri Kesehatan Nila Moeloek meninjau kembali Permenkes tersebut dan mencabutnya.
 
KAJIAN KOMPREHENSIF - Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansyori mengatakan JKN, sesuai amanat Pasal 19 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dilaksanakan dengan prinsip ekuitas dan asuransi sosial.

Anshory menyebutkan, prinsip ekuitas diwujudkan dengan  satu standar pelayanan kesehatan untuk seluruh peserta tanpa memandang besaran iuran yang dibayarkan. Sedangkan prinsip asuransi sosial, kata dia, diwujudkan melalui kepesertaan wajib dengan membayar iuran berkala yang besarnya proporsional terhadap pendapatan untuk mewujudkan kegotongroyongan.

Menurutnya, demi menjaga konsistensi dan sinkronisasi pelaksanaan SJSN, DJSN akan melakukan kajian komprehensif. "Untuk menyatakan apakah Perpres JKN dan Permenkes 11/2016 disharmoni dengan Pasal 19 UU SJSN. Bila ta´zim maka tidak memiliki kekuatan mengikat alias bertentangan," tegasnya.

ALASAN TERBITNYA ATURAN -  Sebelumnya staf ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Donald Pardede sempat mengungkapkan alasan diterbitkannya Permenkes tersebut yakni untuk menjembatani masyarakat yang telah memiliki asuransi pribadi dengan program JKN. Aturan itu sekaligus untuk mendongkrak kepesertaan program JKN.

Aturan tersebut, menurut Donald, akan memberikan kepastian bagi seluruh pihak atas skema koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) di program JKN yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. "Sebelumnya tidak ada (aturannya) sehingga ada keragu-raguan," kata Donald kepada wartawan, Kamis (28/4).

Diterbitkannya aturan tersebut diharapkan semakin membuat masyarakat terutama dari golongan pekerja penerima upah (PPU) berminat ikut dalam program JKN. Sebab selama ini banyak peserta hanya membayar iuran Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) tetapi tidak bisa atau enggan menikmati fasilitas JPK karena kualitas layanannya tidak sesuai dengan level mereka. Akibatnya, kata dia, selama ini banyak kalangan eksekutif yang  tidak masuk dalam program JPK.

Menurutnya, dengan terbitnya aturan tersebut, BPJS Kesehatan tetap akan menanggung biaya pokok pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, bila masyarakat ingin mendapatkan pelayanan rawat jalan di eksekutif, tambahan pembiayaan akan ditanggung oleh pihak asuransi pribadi yang dimiliki. Selanjutnya aturan teknis dan perincian kebijakan ini akan dituangkan dalam peraturan direksi (Perdir) BPJS Kesehatan.

BACA JUGA: