Oleh: A’an Efendi*)

"He who is cruel to animals becomes hard also in his dealings with men. We can judge the heart of man by his treatment of animals." (Immanuel Kant)

Pada 2008 silam, di Kota Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro yang terkenal itu, seekor kuda yang sedang menarik andong tiba-tiba terjatuh dan menggelapar-gelepar, meringkik keras, kaki depan dan belakang menendang-nendang sambil mengeluarkan air kencing dan kotoran. Satu jam kemudian kuda itu mati. Kuda diduga kelelahan setalah menarik penumpang wisatawan berkeliling Kota Gudeg, ditambah lagi kuda berumur 10 tahun milik Sutarso itu sedang bunting 7 bulan (www.detik.com, 01/05/08).

Beberapa waktu lalu, peristiwa nyaris serupa terjadi lagi di kota yang sama, tepatnya di titik nol Yogyakarta. Seekor kuda betina bernama Dewi milik Wagiran itu tergeletak di jalan raya dan akhirnya melahirkan anaknya. Dewi memang sedang berbadan dua dan oleh pemiliknya diperkirakan akan melahirkan dua bulan lagi. Dewi harus tetap bekerja menarik andong karena si empunya tidak punya sumber pendapatan lain selain menarik andong untuk wisatawan. Alasan ekonomi yang membuat Wagiran memaksakan Dewi tetap bekerja meskipun ia tahu Dewi sedang bunting 8 bulan (www.detik.com, 24/03/15).

Dari kisah Dewi dan kuda milik Sutarso dapat diajukan pertanyaan apakah Wagiran dan Sularso selaku pemilik kuda memiliki hak tanpa batas untuk mempekerjakan kuda-kuda itu meskipun dalam keadaan bunting 7 dan 8 bulan sekalipun? Apakah pemilik kuda dapat dipersalahkan jika kemudian kuda itu mengalami luka atau bahkan mati? Sebaliknya, apakah Dewi yang seekor kuda itu punya hak untuk tidak dipekerjakan ketika sedang bunting? Kalaupun misalnya Dewi punya hak lalu siapa yang akan mempertahankan haknya bila dilanggar? Bukankah Dewi hanyalah seekor kuda yang tidak dapat berbicara apalagi menjadi pihak penggugat di pengadilan untuk mempertahankan haknya?

Pertanyaan seperti itu telah menjadi bagian dari perdebatan tentang hak hewan yang telah berlangsung lama dan sampai sekarang tidak ada kata sepakat antara pihak yang mendukung dan yang menolak. Kisah Dewi dan kuda milik Sutarso tentu saja dapat menjadi amunisi baru bagi para penganjur hak hewan untuk semakin menguatkan pendapatnya bahwa hewan memiliki hak yang harus dilindungi oleh hukum.

Perdebatan Hak Hewan

Pro dan kontra hak hewan dapat diikuti dari perdebatan antara pendukung dan penolak hak hewan pada situs www.animalliberationfront.com. Saya kutipkan sebagai berikut:

Penolak:    Bagaimana kamu dapat mengatakan kalau hewan memiliki hak? Ini tidak mungkin.
Pendukung: Mengapa?
Penolak: Untuk satu hal, hewan tidak dapat berfikir. Mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Untuk memiki hak, kamu harus memiliki kapasitas.
Pendukung: Tunggu sebentar, bayi tidak dapat berfikir. Apakah itu berarti berlaku bagi bayi?
Penolak: Tentu saja tidak. Bayi akan mampu berfikir pada suatu saat nanti. Kita harus memperlakukan mereka sebagai calon pemilik hak.
Pendukung: Tetapi bagaimana jika bayi kemudian sakit dan hanya mampu hidup selama 6 bulan? Bagaimana dengan orang yang lahir dengan bagian otak yang hilang sehingga kapasitas mentalnya seperti bayi? Bagaimana dengan orang pikun? Apakah mereka dapat kita bunuh, makan, jika orang-orang seperti itu tidak dapat memperlakukan dirinya sendiri, apakah kita memperlakukan mereka seperi bayi?
Penolak: Baik…saya akan memikirkannya lagi untuk itu?

Para penganjur hak hewan biasanya merujuk pemikiran Jeremy Bentham yang menyatakan: "The question is not, Can they reason? Nor, Can they talk? But, Can they suffer?"  Hewan tidak dapat berfikir, hewan tidak bisa berbicara tetapi hewan dapat merasakan penderitaan atau rasa sakit. Oleh karena dapat merasakan rasa sakit maka hewan diberikan hak untuk tidak disakiti. Hewan memiliki hak negatif dan bukan hak positif seperti hak untuk mendapatkan pendidikan atau hak perawatan kesehatan. Hewan memiliki hak negatif berupa hak untuk dibiarkan sendiri dan hak untuk tidak dibunuh atau tidak diburu.

Tibor Machan menolak hak hewan dengan alasan bahwa prinsip "nonaggression" tidak dapat diterapkan terhadap hewan. Hewan bukan kelompok "the moral community" yang dilindungi oleh prinsip "nonaggression". Menurut Tibor Machan hanya manusia yang punya hak tidak termasuk hewan. Apakah hewan punya kesalahan, perasaan menyesal dan penyesalan yang mendalam, atau meminta maaf atau apa saja yang ada dalam kelompok itu? Tentu saja tidak, kata Machan. Oleh karena itu Tibor Machan mengajukan tesisnya "Hewan bukan agen moral seperti manusia, bahkan gorilla sekalipun".

Menggugat untuk Hak Hewan

Meskipun eksistensinya masih menjadi perdebatan, gugatan untuk hak hewan sudah pernah dilakukan. Pegiat kesejahteraan hewan People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) untuk kepentingan lima ekor paus yang bernama Talikum, Katina, Corky, Kasatkam dan Ulises menggugat Sea World Parks & Entertainment, Inc. dan Sea World, LLC. Penggugat menyatakan pihak tergugat telah melakukan perbuatan perbudakan terhadap Talikum, Katina, Corky, Kasatkam dan Ulises yang berarti melanggar section one amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat yang telah menghapus dan melarang perbudakan.

Menurut penggugat lima ekor paus itu mengalami perbudakan karena: tidak memiliki kebebasan fisik dan psikologis; tidak ada sarana atau alat untuk melarikan diri; terpisah dari habitat asli dan spesiesnya; tidak mampu untuk berperilaku secara alami atau menentukan keinginan sendiri atau menentukan cara hidupnya sendiri; berada di bawah kehendak Sea World; dibatasi secara tidak alami, dalam tekanan dan dalam kondisi yang tidak baik; dan menjadi subyek insemnasi buatan atau pengumpulan sperma untuk tujuan pengembangbiakan secara paksa.

Pengadilan memutuskan bahwa penggugat tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan dan oleh karena itu pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara. Amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat berlaku untuk kaum wanita serta kaum Afrika-Amerika yang pernah mengelami perbudakan dan tidak berlaku kepada hewan. Oleh sebab itu kasus harus ditutup.

Pendukung hak hewan The Nonhuman Rights Project mengajukan gugatan untuk kepentingan seekor simpanse yang bernama Tommy di The New York Supreme Court. Gugatan bertujuan agar Tommy diberikan status hukum sebagai manusia (personhood) dan bukan sebagai benda yang dapat menjadi obyek hak milik. Dengan memiliki status hukum sebagai manusia maka Tommy tidak sepantasnya ditempatkan dalam suatu kandang yang membatasi kebebasan geraknya. Inti gugatan bertujuan agar hakim menyatakan bahwa simpanse adalah manusia dan membebaskan mereka dari sangkar.

The New York Supreme Court menolak gugatan The Nonhuman Rights Project dengan menyatakan bahwa “habeas corpus” (putusan pengadilan yang berisi perintah untuk melepaskan seseorang yang ditahan secara tidak sah) hanya berlaku untuk manusia dan tidak berlaku untuk hewan. Terlepas pendapat mana yang benar, tetapi sebagai manusia yang beradab apakah pantas kita memperlakukan hewan dengan semena-mena? Dan kita tahu jawabannya.

*) Penulis adalah mahasiswa program doktoral Universitas Airlangga.

BACA JUGA: