Oleh:
Yeni Handayani *)

Lebih dari 700 muslim Rohingya dan Bangladesh kembali terdampar di Aceh. Para pengungsi ini tiba di Indonesia ditolong oleh nelayan yang sedang berlayar. "Menurut informasi yang saya dapat, nelayan lokal yang menyelamatkan mereka," ujar Kepala Kepolisian Kota Langsa, Aceh, Indonesia, Sunarya, seperti dikutip dari The Straits Times, Jumat (15/5). Mereka, lanjut dia, diusir oleh para militer angkatan laut Malaysia di batas perairan Indonesia. (http://www.merdeka.com/dunia/diusir-malaysia-700-muslim-rohingya-diselamatkan-nelayan-indonesia.html). Jumlah imigran warga Rohingya dan Bangladesh yang terdampar di pantai Aceh Utara dan Timur, sudah mencapai 1.668 orang sejak 10 Mei 2015. Diperkirakan masih ada 6000-8000 imigran yang terkatung-katung di tengah laut perairan laut Andaman dan Selat Malaka. (http://www/gresnews.com/120235/kasus-pengungsi-rohingya-adalah-persopan-ketidakadilan-global).

Komisi Nasional HAM mendesak adanya perlindungan negara dan bantuan kemanusiaan terhadap 582 pengungsi Rohingya yang terdampar di Perairan Aceh pada minggu lalu (10/5). Upaya tersebut perlu dilakukan karena berkaitan dengan prinsip dasar HAM. Desakan Komnas HAM ini dilakukan menyusul tindakan penolakan TNI AL terhadap etnis Rohingya yang hendak masuk ke wilayah Aceh.  (http://www.gresnews.com/mobile/berita/politik/160165-atas-nama-HAM, Negara-Dinilai-Perlu-Lindungi-Etnis-Rohingya/Sabtu, 16 Mei 2015).

Masalah pengungsi merupakan masalah yang tidak pernah hilang dalam percaturan dunia internasional. Berbagai sebab mengapa orang mengungsi merupakan masalah yang beraneka ragam. Forced displacement atau penyingkiran paksa yang dialami umat manusia semenjak manusia ada di dunia ini, baik karena bencana alam (natural disaster) maupun karena bencana yang dibuat sendiri oleh manusia (human made disaster), merupakan suatu tantangan yang serius dihadapi oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengungsi Rohinya merupakan orang-orang yang secara paksa terusir dari negaranya sendiri akibat diskriminasi yang dilakukan oleh negaranya sendiri (Myanmar). Etnis Rohingya merupakan minoritas muslim di Myanmar, sedangkan masyarakat Myanmar sendiri mayoritas pemeluk agama Budha.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan masalah dunia internasional, bukan hanya masalah internal dari suatu negara. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak manusia. Itulah hak-hak semua manusia yang sepenuhnya setara. Semua hak itu berasal dari martabat inheren manusia dan telah didefinisikan sebagai klaim-klaim manusia, untuk diri mereka sendiri atau untuk orang lain yang didukung oleh suatu teori yang berpusat pada perikemanusiaan manusia, pada manusia sebagai manusia, dan anggota umat manusia.

Perlindungan HAM memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. HAM dilihat sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling berharga, yaitu hak untuk menjadi manusia. Pada Sidang Majelis Umum tanggal 10 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan pernyataan umum hak asasi manusia melalui Universal Declaration Independent of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM).  DUHAM ini berisi 30 pasal. Semua pasal tersebut menegaskan pada semua bangsa bahwa setiap manusia dilahirkan itu memiliki hak fundamental yang tidak dapat dirampas dan dicabut oleh manusia lainnya.

Berkenaan dengan Perlindungan HAM dalam Pasal 2 DUHAM dinyatakan setiap orang berhak atas segala hak dan kebebasan yang telah diatur dalam deklarasi, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, negara atau asasl usul, harta benda, kelahiran, dan status lainnya. Tidak boleh ada pembedaan yang dibuat berdasarkan politik, hukum, atau ststus internasional negara atau daerah/teritori dari mana orang itu berasal, baik dari negara merdeka/independen maupun negara yang belum merdeka atau di bawah negara lain.

Dalam Pasal 3 DUHAM dinyatakan setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang. Pasal 5 DUHAM menyatakan tidak seorang pun juga boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan ataupun akan perlakuan atau hukum yang menghinakan. Selanjutnya dalam Pasal 6 DUHAM disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang dimana saja ia berada. Selain itu hak-hak dasar/fundamental seseorang diatur dalam pasal lainnya di DUHAM. Segala ketentuan mengenai hak dasar manusia dalam DUHAM tersebut berlaku juga untuk etnis Rohingya yang telah terdiskriminasi di negaranya sendiri (Myanmar).

Selain DUHAM terkait dengan perlindungan HAM terdapat Convention The Status of Refugees 1951 (Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi) yang merupakan instrumen internasional yang bersifat yuridis pertama yang mentransformasikan hak dan kebebasan asasi manusia yang tercantum dalam DUHAM 1948 yang paling esensial dan minimal diperlukan oleh pengungsi. Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi disetujui pada 28 Juli 1951 di Jenewa. Berdasarkan Konvensi, yang dinamakan pengungsi adalah mereka yang (1) terpaksa berada di luar negaranya karena ancaman persekusi, karena alasan ras, agama, rumpun bangsa/etnik, kelompok sosial, atau pandangan politik mereka; (2) tidak memperoleh perlindungan dari negara asal mereka. Sesuai dengan Konvensi maka status hukum etnis Rohingya terkategorisasi sebagai pengungsi yang harus dilindungi HAM-nya. Negara pihak akan menerapkan ketentuan Konvensi pada para pengungsi tanpa diskriminasi mengenai ras, agama, atau negara asal (Pasal 2).

Perlindungan HAM telah dijamin dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi sebagaimana tercantum antara lain dalam Pasal 4 yang menyatakan negara pihak akan memberikan kepada para pengungsi yang berada dalam wilayahnya perlakuan yang setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang diberikan kepada warganegaranya mengenai kebebasan menjalankan agama dan kebebasan tentang pendidikan dan anak-anak mereka. Terkait kesejahteraan para pengungsi Pasal 20 Konvensi menyatakan bila terdapat sistem pemberian ransum yang berlaku bagi penduduk umumnya dan yang mengatur distribusi umum produk-produk yang persediaannya kurang, para pengungsi akan diberikan perlakuan yang sama dengan warga negara. Selain itu Pasal 21 Konvensi mengatur hak terkait perumahan yang akan diberikan kepada pengungsi  yang tinggal secara sah di wilayahnya perlakuan yang sebaik mungkin. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlakuan yang sama dengan perlakuan yang diberikan kepada warga negara mengenai pendidikan dasar Pasal 22 ayat (1). Negara pihak memberikan akses ke studi, pengakuan sertifikat sekolah asing, ijazah-ijazah dan gelar-gelar, pembebasan biaya-biaya dan pungutan-pungutan suara pemberian beasiswa-beasiswa. Pertolongan dan bantuan publik diberikan kepada para pengungsi oleh negara pihak (Pasal 23).

Dalam Pasal 31 Konvensi mengenai Status Pengungsi, terkait pengungsi yang berada secara tidak sah di negara pengungsian dinyatakan:

1. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan hukuman pada para pengungsi, karena masuk atau keberadaannya secara tidak sah, yang datang langsung dari wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dalam arti Pasal 1, masuk ke atau berada di wilayah negara-negara pihak tanpa izin asalakan mereka segera melaporkan diri kepadan instansi-instansi setempat dan menunjukan alasan yang layak untuk masuk atau keberadaan mereka secara tidak sah itu.

2. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan pembatasan-pembatasan terhadap perpindahan para pengungsi termaksud kecuali pembatasan-pembatasan demikian hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu di sahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain. Negara-negara pihak akan memberi waktu yang layak dan segala kemudahan yang perlu kepada para pengungsi tersebut untuk mendapat izin masuk ke negara lain.

Negara-negara pihak tidak akan mengusir pengungsi berada secara tidak sah di wilayahnya kecuali karena alasan keamanan nasional atau ketertiban umum. Pengusiran pengungsi hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diijinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya, serta untuk mengajukan banding kepadanya, dan untuk maksud itu diwakili di depan, instansi yang berwenang atau seorang atau orang-orang yang khusus di tunjuk oleh instansi berwenang.

Selain itu negara pihak akan memberikan kepada pengungsi jangka waktu yang layak untuk mengupayakan diterima masuknya secara sah ke negara lain dalam jangka waktu yang diberikan itu. Negara pihak mencadangkan haknya untuk menerapkan dalam jangka waktu tersebut tindakan-tindakan internal yang dianggapnya perlu (Pasal 32 Konvensi mengenai Status Pengungsi). Walaupun Indonesia bukan merupakan negara penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951, namun sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ikut serta dalam perdamaian dunia dan atas dasar kemanusiaan serta HAM sudah semestinya Indonesia memberikan perlindungan kepada pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia.

Larangan pengusiran atau pengembalian (refoulment) para pengungsi juga diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi disebutkan bahwa tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya. Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) ini, Indonesia mengikuti prinsip non-refoulement dengan menjalankan kewajiban membantu para pengungsi Rohingya yang masuk ke perairan Indonesia walaupun Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951. Pemerintah Indonesia telah menerapkan prinsip non refoulement yaitu praktik yang tidak memaksa pengungsi atau pencari suaka untuk kembali ke negara, di mana mereka kemungkinan akan mengalami atau menjadi sasaran penganiayaan atau kekerasan.

Pasal 33 ayat (2) Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi dinyatakan bahwa namun keuntungan ketentuan ini tidak boleh di klaim oleh pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu (Pasal 33 ayat (2). Terkait kerjasama instansi nasional dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menangani pengungsi juga diatur dalam Pasal 35 Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi.

Diperlukan kerjasama pemerintah Indonesia, berbagai pemangku kepentinga dengan Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations High Commisioner for Refugees) dalam menangani para pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia. Selain itu agar pemerintah Indonesia melakukan kerjasama regional di kawasan ASEAN karena permasalahan pengungsi Rohingya merupakan memerlukan keterlibatan negara ASEAN.

Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi penghormatan atas HAM. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Bab XA Hak Asasi Manusia dan juga di ejawantahkan di dalam Undang-Undang salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu sudah sepatutnya Indonesia ikut memberikan perlindungan HAM bagi pengungsi Rohingya.

*) Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: