Oleh: Teguh Nirmala Yekti *)

Disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD, mendapat tentangan keras dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun akhirnya turun tangan menyelesaikan polemik tersebut dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengembalikan proses pilkada secara langsung oleh rakyat.

Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditandangani pada 2 Oktober 2014 oleh Presiden SBY, ini otomatis menganulir UU Pilkada. Di dalam konsiderans menimbang Perppu tersebut, dijelaskan bahwa kegentingan memaksa sebagai syarat pembentukan Perppu adalah karena UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Perppu Pilkada langsung kini telah berlaku dan walaupun masih perlu menunggu persetujuan dari DPR untuk keberlangsungannya. Sembari menunggu persetujuan DPR, para penyelenggara pemerintahan di daerah justru mengalami kebingungan karena ada daerah yang harus melaksanakan tahapan persiapan, namun harus menunggu aturan pelaksanaan Perppu tersebut dan KPU pusat belum melakukan arahan kepada KPU Provinsi dan kabupaten/kota terkait perintah pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 mendatang.

Di sisi yang lain KPU pusat memastikan penyusunan Peraturan KPU (PKPU) tentang pilkada tetap dilanjutkan tanpa perlu menunggu DPR untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu Pilkada. Perlunya waktu yang lama sebagai proses persetujuan DPR terhadap Perppu yang diberlakukan Presiden SBY menimbulkan polemik yang terjadi dikalangan pakar politik dan ketatanegaraan terkait dampak jika DPR memberi persetujuan atau menolak perppu.

Bahkan keluar pula prediksi terjadinya kekosongan hukum jika perppu ditolak. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa ketentuan Perppu Pilkada yang kemungkinan berpotensi mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

Dari penelusuran penulis, ada lima aturan krusial yang perlu dicermati pada perppu pilkada. Pertama, persoalan yang luput dari hiruk-pikuk pembahasan adalah penentuan mekanisme langsung atau tidak langsung dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota adalah apakah sebenarnya mekanisme pilkada langsung atau tidak langsung cocok/kompatibel dengan bentuk negara kesatuan republik Indonesia atau tidak?

Tradisi negara kesatuan di dunia justru menganut pemilihan kepala daerah yang dilakukan tidak secara langsung karena kepala daerah sejatinya adalah wakil pemerintah pusat yang dipilih atau ditunjuk sebagai representasi pemerintah pusat. Jika melihat beberapa negara di dunia yang dianggap demokratis, maka negara-negara semacam Inggris, Australia, Perancis, Jerman, dan bahkan Amerika Serikat tidak seluruh kepala daerahnya dilpilih secara langsung.

Penulis melihat masalah terbesar bukanlah mekanisme mana yang paling cocok, tapi yang diperlukan adalah akuntabilitas penyelenggaraan pilkada yang di dalamnya aktor-aktor yang terlibat adalah KPU, partai politik, dan pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah). Ketiga aktor tersebut perlu meramu aturan main pilkada yang mampu mewujudkan pilkada yang transparan, bersih dari korupsi, dan bebas dari politik oligarki.

Seperti yang pernah dikatakan Mahfud MD (1999) sistem yang bagus akan percuma apabila di jalankan oleh orang-orang yang tidak kompeten, demikian pula terjadi apabila orang-orang yang kompeten dan baik akan percuma pula jika ditempatkan pada sistem yang buruk. Oleh karena itu perlu kombinasi yang baik antara sistem dan orang-orang yang menjalankan sistem itu. Perppu No. 1 tahun 2004 belum diberikan persetujuannya oleh DPR, oleh karena itu semestinya perdebatan yang terjadi bukan pada mekanisme melainkan pada upaya menciptakan peraturan perundang-undangan sebagai sistem yang mampu mewujudkan harapan rakyat untuk menghasilkan pemimpin daerah yang adil, tegas, kompeten/kapabel, dan berintegritas sehingga dapat diterima dan didukung oleh rakyatnya.

Selanjutnya pada aturan krusial yang kedua, dalam Perppu Pilkada diatur mengenai uji publik pada ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 5 Ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d serta Pasal 38. Dalam perppu disebutkan bahwa uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan pencalonan.

Persyaratan uji publik bagi bakal calon kepala daerah merupakan terobosan penting dalam Perppu Pilkada mengingat UU No.32 Tahun 2004 yang sebelumnya turut mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah tidak mengatur tahapan ini. Uji dipublik dimaksudkan agar para bakal calon gubernur, bupati, dan walikota diketahui kemampuan dan integritasnya oleh panitia uji publik berdasarkan perppu ini. Diharapkan publik dan masyarakat secara luas luas dapat mengetahui kualitas calon kepala daerah yang akan dipilihnya dalam pilkada langsung.

Namun disayangkan uji publik yang tadinya digaungkan oleh partai Demokrat sebagai salah satu dari 10 persyaratan perbaikan UU Pilkada langsung justru diamputasi dalam Perppu Pilkada tersebut dengan mengatur hasil tahapan uji publik tidak menggugurkan pencalonan. Padahal dalam penentuan voting RUU Pilkada di DPR Partai Demokrat mensyaratkan mutlak bagi Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung RUU Pilkada langsung bahwa tahapan uji publik harus menentukan maju tidaknya seorang bakal calon kepala daerah ke tahapan pilkada berikutnya.


Tidak konsistennya Partai Demokrat beserta Presiden SBY yang tidak secara lengkap memasukkan norma uji publik ke dalam perppu akhirnya hanya menjadikan norma uji publik hanyalah tahapan formalitas belaka yang justru tidak memperlihatkan perbaikan mekanisme pilkada langsung sebagaimana tuntutan partai demokrat.

Pada item krusial yang ketiga, dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan pilkada serentak yang digulirkan dalam perppu ini bisa dikatakan sangat baik dalam hal efisiensi pendanaan pilkada. Namun di sisi lain jika terjadi pengajuan sengketa/perselisihan hasil pilkada secara serentak maka lembaga peradilan yang menangani baik Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung (MA) akan berpotensi mengalami macet penyelesaian perkara mengingat dalam perppu juga diatur pembatasan waktu penyelesaian perkara.

Potensi macet perkara sengketa hasil pilkada ini rupanya kurang diantisipasi oleh pembentuk perppu pilkada. Oleh karena itu klausul pilkada serentak lebih realistis jika diselenggarakan secara region atau perwilayah yang dipetakan. Penggunaan tenaga hakim ad hoc pada penyelesaian perkara juga berpotensi menimbulkan masalah baru bagi MA, mengingat penyelesaian perkara sengketa pilkada yang membutuhkan penanganan dengan waktu yang cepat, justru lebih memerlukan hakim karier yang lebih berpengalaman sehingga target penyelesaian perkara sesuai waktu yang ditetapkan oleh Perppu Pilkada.

Selanjutnya pada aturan krusial keempat, keketentuan Pasal 7 huruf q yang mengatur persyaratan calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasan disebutkan pula yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan" adalah antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Ketentuan ini merupakan wacana yang pernah dilontarkan Kemendagri untuk menghapus politik dinasti yang terjadi sebagai ekses pilkada langsung berdasarkan UU No.32 tahun 2004. Ketentuan ini akan berpotensi diujikan di Mahkamah Konstitusi (contitusitional review) karena dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan: ´Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Potensi pertentangan juga dapat terjadi apabila ketentuan Pasal 7 huruf q dikomparasi dengan ketentuan hak asasi manusia dalam UUD NRI Tahun 1945. Solusi yang semestinya ditempuh oleh pembentuk Perppu adalah menguatkan ketentuan persyaratan pada uji publik dan juga bisa meniru tata cara perekrutan pimpinan komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang bisa menilai kemampuan seseorang dari berbagai aspek. Dengan demikian, calon tetap gubernur, bupati, dan walikota yang lulus dari proses uji publik adalah benar-benar calon jadi yang siap pilih dan siap tanding di panggung pemilihan langsung.

Selanjutnya aturan krusial yang kelima, yaitu mengenai larangan menerima imbalan yang diatur dalam ketentuan Pasal 47 yang mengatur Partai Politik atau gabungan Partai Politik, orang maupun lembaga dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta sanksi pembatalan bagi calon, calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi yang memberi maupun yang menerima. Ketentuan sangat baik karena belum pernah diatur sebelumnya dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diantaranya mengatur mekanisme pilkada langsung.

Namun efektifitas ketentuan ini sangat tergantung dari kemampuan aparat penegak hukum untuk membuktikannya di persidangan pengadilan. Celah yang mungkin timbul dari ketentuan tersebut adalah waktu pemberian imbalan bisa saja dilakukan bukan pada masa proses pencalonan dan tahapan lain pilkada, tapi bisa saja dilakukan pada masa pasca pilkada setelah semua tahapan pilkada selesai, dan potensi celah ini harus dicermati oleh para penegak hukum.

Kelima persoalan yang telah diuraikan diatas merupakan penelaahan singkat terhadap potensi persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam persetujuan DPR dan pelaksanaan Perppu No. 1 Tahun 2014. Harapan rakyatlah yang mesti ditelaah dengan baik oleh Pemerintah dan DPR, untuk mengesampingkan ego politik hingga "berdarah-darah", karena tujuan bernegara yang semestinya dikejar agar kita semua tidak larut dalam persoalan internal dan melupakan kesejahteraaan rakyat di mana negara-negara tetangga justru sedang bangkit berlari meninggalkan kita.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang di Setjen DPR RI.

BACA JUGA: