Oleh: A´an Efendi   

"About 1.24 million people die each year as a result of road traffic crashes…Without action, road traffic crashes are predicted to result in the deaths of around 1.9 million people annually by 2020 (World Health Organization)"

Anda warga Surabaya yang sedang berkendara di jalanan Kota Surabaya (termasuk kota-kota besar lain di Indonesia) tentu sudah biasa bila menemui kemacetan pada titik dan jam tertentu atau jalanan yang tergenang setelah diguyur hujan. "Kelaziman" lain yang kerap terlihat di jalanan Kota Pahlawan adalah pengendara roda dua yang tidak memakai helm atau berkendara dengan sepeda motor yang pada beberapa bagian badannya tidak utuh (baca motor protolan).

Berkendara tanpa mengenakan helm bahkan sering dilakukan secara massal, misalnya saat perayaan malam pergantian tahun, konvoi anak-anak sekolah yang bersuka cita merayakan kelulusan, atau rombongan suporter bola yang menuju stadion untuk menonton tim kesayangannya berlaga. Sering pula dijumpai pengendara yang berkendara secara melawan arah atau arus.

Tidak selesai sampai di situ. Saat anda berhenti di lampu lalu lintas maka pemandangan lain pun segera tersaji. Tanpa ragu dan apalagi merasa bersalah (karena telah melanggar lalu lintas) para pengendara roda dua saling berebut untuk menjadi yang nomor satu. Layaknya peserta balap motor profesional mereka berlomba-lomba untuk menempati start yang paling depan.

Bahkan ketika bendera belum diangkat (baca masih lampu merah) tak segan mereka langsung tancap gas dan melaju kencang. Semampang syair lagu dan juga kata iklan maka akulah "sang juara" dan "yang lain makin ketinggalan". Mereka seperti diburu waktu dan ditunggu urusan super penting sehingga tak sabar menunggu lampu hijau menyala meskipun itu tidak sampai lima menit.

Tak ayal area lampu lalu lintas tak jarang menjadi tempat berakhirnya kehidupan pengendara. Ungkapan "kecelakaan berawal dari pelanggaran lalu lintas" sering terbukti kebenarannya di area lampu lalu lintas.

Pelanggaran lalu lintas kian terbukti nyata saat secara serentak digelar operasi zebra oleh Polri di seluruh wilayah hukum Indonesia pada 26 November-9 Desember 2014 silam. Puluhan ribu pelanggar lalu lintas terjaring baik roda dua maupun roda empat, baik itu mobil pribadi maupun angkutan umum. Pelanggarannya pun beragam, mulai berkendara tanpa helm atau memakai helm tapi tidak SNI, melanggar marka jalan, melanggar rambu lalu lintas, berkendara tanpa SIM dan STNK, atau membawa SIM tapi sudah kadaluwarsa masa berlakunya.

Banyaknya pelanggaran lalu lintas menunjukkan rendahnya kepatuhan hukum para pengguna jalan terhadap hukum lalu lintas. Tentu saja hal ini bukan barang sepele karena kepatuhan hukum menempati posisi sangat penting dalam hukum. Tanpa kepatuhan hukum maka hukum menjadi tidak berarti.

Margaret Levi menyatakan bahwa tanpa kepatuhan hukum maka rule of law yang selalu digembar-gemborkan di seluruh belahan penjuru dunia itu hanya akan menjadi omong kosong belaka (Margaret Levi, 2008). Kepatuhan hukum bila dikaji dari konsep Herbert C. Kelman, profesor etika sosial dari Universitas Harvard, menghasilkan tiga tingkatan kepatuhan hukum seseorang, yaitu compliance, identification, dan internalization.

Compliance

Compliance adalah tingkat kepatuhan hukum paling rendah. Kepatuhan hukum seseorang hanya pada perilaku luarnya saja, sementara dalam dirinya sebenarnya ia punya pendapat berbeda dari apa yang dilakukannya. Kepatuhan hukum hanya ada pada perilaku (behavior) tetapi tidak pada sikap (attitude).

Pada tingkatan compliance kepatuhan hukum seseorang dilandasi rasa takut akan terkena sanksi. Kepatuhan hukum bertujuan agar ia terhindar dari sanksi hukum. Hukum dalam konteks compliance lebih bermakna kepada petugas hukum. Seseorang mematuhi hukum karena ada petugas hukum yang mengawasi perbuatannya dan oleh karena itu ia mematuhi hukum.

Misalnya pengendara roda dua memakai helm atau tidak menerabas lampu merah karena ada petugas Polantas yang sedang bertugas dan ia memakai helm atau tidak menerebas lampu merah karena takut ditilang oleh petugas Polantas tersebut. Kepatuhan itu akan luruh begitu petugas Polantas tidak lagi bertugas. Kelemahan compliance adalah membutuhkan pengawasan terus menerus oleh petugas hukum yang tentu saja itu mustahil dilakukan.

Identification

Identification lebih tinggi tingkatannya dibandingkan compliance. Pada tingkatan identification seseorang mematuhi hukum tidak saja karena ia takut sanksi tetapi karena ia ingin menciptakan dan sekaligus mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang atau kelompok lain. Kepatuhan hukum pada tingkatan identification dalam rangka mencegah rusaknya suatu hubungan baik yang telah terbentuk atau menghindari lahirnya hubungan yang tidak baik seseorang dengan pihak lain.

Misalnya seseorang tidak melakukan pelanggaran lalu lintas karena ia takut terjadi tabrakan dengan orang lain yang berarti itu menciptakan hubungan yang tidak baik dengan orang lain.

Internalization

Internalization adalah tingkat kepatuhan hukum yang tertinggi. Internalization terjadi ketika seseorang menerima norma-norma yang dibentuk oleh orang atau kelompok lain yang mempengaruhinya dan norma-norma itu diterima karena memang dari segi substansinya mengandung nilai-nilai instrinsik yang bermanfaat baginya. Kepatuhan hukum pada tingkatan internalization terwujud pada perilaku (tampak di depan umum) maupun sikap (tidak tampak oleh umum).

Misalnya seseorang memakai helm saat berkendara karena ia menyadari bahwa helm berfungsi untuk menjaga keselamatannya jika terjadinya kecelakaan. Seseorang tidak menerabas lampu merah karena ia tahu kalau perbuatan itu dilakukan dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan dirinya sendiri maupun pengendara lain. Seseorang yang tingkat kepatuhan hukumnya pada level internalization akan tetap memakai helm dan tidak menerabas lampu merah meskipun tidak ada Polantas yang melakukan pengawasan.

Meningkatkan Kepatuhan Hukum

Penegakan hukum yang konsisten dan tegas adalah cara ampuh untuk meningkatkan kepatuhan hukum masyarakat. Sudah ada UU No.22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilengkapi dengan sanksi yang tidak main-main yang dapat diterapkan terhadap para pelanggar lalu lintas. Tinggal yang dibutuhkan adalah konsistensi dan ketegasan penegakan hukumnya.

Tanpa penegakan hukum yang sungguh-sungguh maka UU No.22/2009 hanyalah kumpulan kalimat-kalimat tak berarti yang hanya bisa memerintah, melarang, dan mengancam, tetapi tidak akan mampu mengkonkritkan perintah, larangan, dan ancamannya itu. Di tangan para penegak hukumlah perintah, larangan, dan ancaman oleh undang-undang dapat diwujudkan. Penegak hukum yang menjadikan undang-undang yang mati itu menjadi hidup. Pelanggar lalu lintas harus dikenakan sanksi tegas untuk menimbulkan efek jera.

Selain penegakan hukum, dengan kesadarannya sendiri masyarakat harus mematuhi hukum lalu lintas. Masyarakat harus paham bahwa tertib berlalu lintas adalah untuk kepentingan mereka sendiri dan sesamanya. Dengan tertib berlalu lintas tidak saja masyarakat telah menyelamatkan diri sendiri dan pengendara lain dari bahaya kecelakaan di jalan raya, tetapi juga menunjukkan sikap kepatuhan hukum yang memang sudah seharusnya menjadi kewajiban tiap warga negara, dan sekaligus menunjukkan sikap budaya bangsa yang baik.

Bukankah sering kita baca dan dengar kata bijak "tertib berlalu lintas adalah cermin budaya bangsa". Ayo tertib berlalu lintas dan stop nyawa melayang sia-sia di jalan raya!

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga

BACA JUGA: