Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.*)

Urgensi Pembentukan RUU

Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) dilatarbelakangi adanya misi untuk memajukan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan dan penyediaan tempat tinggal yang layak bagi setiap warga negara khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Pemenuhan atas kebutuhan rumah merupakan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU Perkim), serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya menyatakan bahwa: "Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak".

Kebutuhan dan ketersediaan rumah masih mengalami kesenjangan (angka back-log masih tinggi), sehingga perlu dikembangkan skema yang mendorong penyediaan rumah dalam skala yang mencukupi secara layak dan terjangkau. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal: Pertama, keterbatasan dana dari APBN untuk menunjang sistem pembiayaan dan pembangunan sektor perumahan, terutama pembangunan rumah untuk MBR. Kedua, tidak adanya dana efektif jangka panjang untuk pembiayaan perumahan, yang mengakibatkan pembiayaan kepemilikan rumah menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh MBR.

Ketiga, terbatasnya akses ke sistem pembiayaan perumahan, utamanya dalam menghadapi persyaratan kredit perumahan rakyat yang ditetapkan oleh perbankan. Keempat, kelembagaan yang mengelola tabungan perumahan yang ada selama ini belum mampu menyelenggarakan pembiayaan perumahan secara optimal.

Pembentukan RUU Tapera merupakan amanah dari Pasal 124 UU Perkim yang menyatakan: "Ketentuan mengenai tabungan perumahan diatur tersendiri dengan UU". Skema tabungan perumahan perlu diatur pada tingkat UU agar tabungan perumahan dan kelembagaannya dapat berjalan harmonis bersama berbagai lembaga lain (khususnya yang terkait dengan pembiayaan perumahan) yang dibentuk oleh berbagai aturan perundangan lain. Sebagai tindak lanjut dari itu maka RUU Tapera masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun   2013 nomor urut 29.

Konsep dan Praktik Tapera di Negara Lain

Terdapat dua model tabungan perumahan yang banyak diadopsi di berbagai negara. Pertama, tabungan kontraktual (contractual savings), merupakan pengembangan dari sistem mutual building society yang dikembangkan di Inggris pada abad ke-19. Dalam sistem ini, sekelompok individu yang ingin memiliki rumah bergabung dan secara rutin menyimpan sejumlah uang hingga terkumpul cukup uang untuk membangun sebuah rumah yang akan dialokasikan untuk salah satu anggotanya melalui undian.

Seluruh anggota kelompok tersebut akan terus menyetorkan uang hingga seluruh anggotanya telah memperoleh rumah. Sistem inilah yang kemudian dikembangkan menjadi tabungan kontraktual yang dijalankan di berbagai negara, antara lain Perancis, Jerman, beberapa Negara di kawasan Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika Utara, dan beberapa wilayah di Amerika Latin.

Kedua, housing provident fund (HPF). Sistem HPF muncul sebagai respon atas masalah yang timbul dalam perekonomian yang memiliki tingkat inflasi tinggi dan belum memiliki pasar modal yang berkembang. Situasi ini menyebabkan rendahnya animo masyarakat untuk menabung sehingga pada akhirnya akan menghambat kegiatan-kegiatan yang memerlukan pendanaan jangka panjang. Sistem ini digunakan di Singapura dalam menjalankan sistem tabungan perumahan, Singapura mengaturnya melalui  suatu sistem jaminan sosial yang bernama Central Provident Fund (CPF).  

CPF bersifat wajib bagi setiap warga negara Singapura dan dikelola oleh pemerintah. CPF dibentuk pada tahun 1955, pada awalnya CPF dibentuk untuk mempersiapkan dana pensiun bagi para pekerja yang sudah pensiun atau sudah tidak mampu bekerja kembali. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya CPF berkembang menjadi sarana jaminan sosial yang komprehensif (Loke & Cramer, 2009). CPF tidak hanya menyediakan dana untuk pensiun namun juga untuk menyediakan dana untuk pembiayaan perumahan, fasilitas kesehatan, pendidikan anak-anak, bahkan dana CPF ini dapat digunakan untuk asuransi bagi para pekerja dan sektor keuangan.

Selain Singapura, di Malaysia juga diselenggarakan Malaysia Employees Provident Fund (EPF) atau yang dikenal sebagai Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) merupakan lembaga milik pemerintah Malaysia yang bekerja di bawah Departemen Keuangan Ditunjuk untuk mengelola tabungan para pekerja di Malaysia dengan tujuan memberikan manfaat pensiun sesuai dengan diberlakukannya Employees Provident Fund Act 1991 (Act 452).

Lembaga ini mengatur rencana tabungan wajib (compulsory savings) dan perencanaan pensiun (retirement planning) bagi para pekerja yang bekerja secara legal di Malaysia. Keanggotaan EPF adalah wajib untuk warga negara Malaysia yang bekerja, warga negara non-Malaysia yang merupakan penduduk permanen, dan warga negara non-Malaysia yang terpilih menjadi anggota EPF sebelum 1 Agustus 1998.

Selain itu Republik Rakyat Cina (RRC), reformasi 1978 menjadi awal mula restrukturisasi sistem pembiayaan perumahaan di RRC, di mana berbagai alternatif sistem pembiayaan perumahan dimunculkan. Sebagai bagian dari sistem pembiayaan perumahan, Housing Provident Fund (HPF) didirikan pada tahun 1991 di Shanghai dan diperluas ke kota-kota lain di seluruh RRC pada tahun 1995. HPF merupakan institusi keuangan khusus yang mengumpulkan iuran wajib yang dikumpulkan dari pekerja sektor swasta maupun publik.


Iuran yang dikumpulkan merupakan persentase tertentu dari gaji para pekerja, dan biasanya pemberi kerja turut memberikan kontribusi iuran yang besarnya proporsional dengan iuran pekerja. HPF kemudian mengelola iuran tersebut dan melakukan pemupukan dana melalui berbagai instrumen investasi. HPF biasanya terintegrasi dengan sistem jaminan hari tua, di mana peserta dapat menarik simpanan dan hasil pengembangannya setelah mereka pensiun.

Materi Pokok Pengaturan

Terdapat beberapa ketentuan materi pokok yang ada di RUU Tapera. Pertama, mengenai definisi Tapera, yaitu simpanan yang dilakukan oleh perserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir (Pasal 1 angka 1 RUU Tapera). Kedua, terkait dengan pengertian peserta Tapera, yaitu setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat dan membayar simpanan (Pasal 1 angka 3 RUU Tapera).

Ketiga, terkait asas yang berlaku di dalam RUU Tapera, terdapat beberapa asas yang menjadi landasan dari RUU Tapera, adapun asas yang terpenting adalah "asas kegotongroyongan", yaitu adanya kewajiban yang sama antara MBR, sedang, dan tinggi untuk membayar sejumlah iuran, dan bagi yang membutuhkan rumah dapat memanfaatkan Tapera tersebut terlebih dahulu.

Kemudian asas "kemanfaatan", yaitu harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi MBR untuk mendapatkan tempat tinggal. Asas "keterjangkauan dan kemudahan", yaitu dapat dijangkau dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat serta mendorong terciptanya iklim yang kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman.

Asas "akuntabilitas", yaitu pengelolaan dana tabungan perumahan rakyat harus dilakukan secara bertanggung jawab dalam setiap tindakan pengelolaan dana, serta asas "dana amanat", yaitu dana yang terkumpul dari Tapera  merupakan titipan kepada penyelenggara untuk dikelola secara sebaiknya-baiknya dalam rangka mengoptimalkan kesejahteraan peserta (Pasal 4 RUU Tapera).

Keempat, tujuan dari pengaturan Tapera adalah menghimpun  dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perunahan bagi peserta (Pasal 3 RUU Tapera). Kelima, pengelolaan Tapera meliputi pengerahan dana; pemupukan dana; dan  pemanfaatan dana ( Pasal 7 RUU Tapera).

Keenam, kepesertaan Tapera adalah setiap WNI yang bekerja dalam hubungan kerja dan bekerja mandiri, dengan penghasilan di atas upah minimum serta telah berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah wajib menjadi peserta, dan WNI lain diluar syarat-syarta tersebut dapat ikut secara sukarela (Pasal 5 RUU Taprea), yang terdiri dari pekerja, pekerja mandiri, dan/atau peserta secara sukarela (Pasal 10 ayat (1) RUU Tapera).

Ketujuh, mekanisme iuran kepesertaan, terhadap besaran iuran kepersertaan ini masih belum ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, sehingga masih terdapat 2 (dua) alternatif  rumusan, yaitu alternatif pertama besaran simpanan ditetapkan berdasarkan presentasi tertentu dari gaji atau upah, dimana besaran prosentasenya akan di atur di dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan pada alternatif kedua besaran simpanan peserta ditetapkan maksimum 3%, 5%, atau 20%, dimana ketentuan lebih lanjut mengenainya diatur dengan Keputusan Presiden (Pasal 16 RUU Tapera). Kedelapan, berakhirnya kepesertaan Tapera, kepesertaan dalam Tapera dapat dinyatakan berakhir karena pensiun, telah mencapai usia 58 tahun, meninggal dunia, atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 (lima) tahun berturut (Pasal 4 Ayat (1) RUU Tapera).

Kesembilan, pemanfaatan dana Tapera dilakukan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta, yang dilaksanakan oleh bank dan perusahaan pembiayaan. Adapun pembiayaan tersebut digunakan untuk pemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah, yang diberikan hanya satu kali (Pasal 22 dan Pasal 23 RUU Tapera). Adapun untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, peserta harus memenuhi persyaratan masa kepesertaan minimum 3 (tiga) tahun, termasuk golongan MBR, dan belum memiliki rumah untuk pembiayaan kepemilikan atau pembanguanan rumah (Pasal 25 RUU Tapera).


Kesepuluh, kelembagaan, dalam rangka pengelolaan Tapera, berdasarkan UU ini dibentuk Badan Pengelola Tapera (BP Tapera), yang merupakan badan hokum yang bertanggung jawab kepada Komite Tapera (Pasal 31 RUU Tapera). Badan Pengelola berkedudukan dan berkantor pusat di Ibukota Negara Republik Indonesia, dan dapat membuka kantor perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan (Pasal 32 RUU Tapera). Modal awal BP Tapera bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang besarannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 33 RUU Tapera).

Dinamika Pembahasan di Parlemen

Pembahasan RUU Tapera dilakukan bersama antara Pemerintah dan DPR melalui Panitia Khusus DPR RI (Pansus DPR RI). Hal ini mengingat lingkup pengaturan dari RUU ini mencakup beberapa kementerian, yaitu Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Hukum dan Perundang-undangan. Sedangkan stakeholder RUU ini tidak hanya menyangkut kepada peserta (pekerja, pekerja mandiri, atau pekerja sukarela), tetapi juga melibatkan pengusaha, serikat buruh, perbankan, dan pengusaha dibidang perumahan.

Mengingat RUU ini akan memberikan pembebanan kepada masyarakat karena harus menyisihkan sebagian dari penghasilanya untuk iuran Tapera dan juga kepada pemberi kerja baik itu pemerintah maupun pihak swasta karena harus memberikan kontribus  dalam iuran kepersertaan maka RUU Tapera merupakan salah satu RUU yang sangat alot dalam pembahsannya. RUU Tapera sudah dibahas selama lebih kurang 1,5 tahun dan sampai saat ini belum juga dapat diselesaikan karena belum adanya titik temu diantara pihak pemerintah sendiri.

Artinya RUU ini merupakan salah satu RUU yang terlama masa pembahasannya, padahal dalam Tata Tertib DPR RI mensyaratkan bahwa RUU yang dilakukan pembahasan sudah harus diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) kali masa sidang serta dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah  sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) (Pasal 141 Ayat (1) Tata Tertib DPR).

Adapun pihak yang paling merasa berkeberatan adalah pihak dari pengusaha, karena dengan adanya RUU Tapera maka pengusaha akan mendapat beban baru untuk memberi tunjangan kepada pekerjanya dalam bentuk sharing iuran Tapera.

Sementara pengusaha menganggap beban yang mereka tanggung selama ini untuk membayar tunjangan sistem jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian sudah mereka tanggung melalu pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sehingga apabila harus menambah beban pengusaha dengan membayar share terhadap sebagaian iuran Tapera ini maka akan memberatkan.

Selain pengusaha, dari pihak pemerintah sendiri pun ternyata masih belum ada kata sepakat, terutama sikap yang ditunjukkan oleh Kementerian Keuangan. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya RUU Tapera maka akan memperberat beban keuangan negara, karena harus menalangi terlebih dahulu biaya oprasional awal BP Tapera.

Selain itu, RUU ini juga akan memberikan beban baru bagi keuangan negara, karena negara harus memberi share dalam persentase tertentu bagi para Pegawai Negeri Sipil dan TNI/Polri yang menjadi peserta Tapera, sehingga akan menambah beban keuangan negara.

Belum lagi ketidakjelasan proses dan mekaniseme pengelolaan dana Tapera dan penerapan prinsip kehati-hatian sehingga dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan kerugian Negara maupun peserta. Untuk itu Kementerian Keuangan dalam pembahasan RUU Tapera lebih cenderung sangat berhati-hati dan memerlukan pengkajian yang mendalam untuk mengantisipasi ekses negative yang dapat ditimbulkan dari pengelolaan dana Tapera ini.

Selain itu Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian BUMN juga tidak dapat segera menentukan sikap terhadap RUU ini, karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk berkordinasi dengan gabungan atau serikat pekerja maupun pengusaha, mengingat RUU Tapera tidak saja berimplikasi kepada pembebanan kepada masyarakat tetapi juga kepada dunia usaha.

Hambatan-hambatan di atas yang membuat RUU Tapera sangat sulit untuk segera diselesaikan dalam waktu yang telah dijadwalkan. Sehingga DPR beberapa kali memberikan waktu dan  kesempatan kepada pihak Pemerintah untuk dapat menyatukan pendapat dan menyusun kajian yang lebih komprehensif mengenai pelaksanaan atau implemantasi RUU Tapera nantinya. Walaupun pada akhirnya pada tanggal 29 September 2014 DPR dan Pemerintah secara resmi tidak dapat melanjutkan pengambilan keputusan RUU Taprea dikarena belum adanya kata sepakat di dalam internal Pemerintah menyangkut besaran prosentase iuran Tapera.

Pihak Kementerian Keuangan berpendapat agar program Taprea ini dapat berhasil maka besaran iuran haruslah berada pada titik yang maksimal yaitu sbesar 20%, sedangkan pihak Kementerian Kehakiman tidak menyetujui usul besaran 20% tersebut, karena berpotensi akan memberatkan masyarakat dan akan melanggar hak asasi manusi, sehingga harus disosialisasikan terlebih dahulu. Disisi lain juga DPR tidak menyutujui usulan iuran tapera sebesar 20% karena dianggap sangat memberatkan masyarakat.

Harapan ke Depan

RUU Tapera merupakan salah satu jawaban dari tingginya angka back log perumahan saat ini yang terjadi karena keterbatasan dana dari APBN untuk menunjang sistem pembiayaan dan pembangunan sektor perumahan. Selain itu juga karena tidak adanya dana efektif jangka panjang untuk pembiayaan perumahan.

Akses akses ke sistem pembiayaan perumahan terbatas, dan kelembagaan yang mengelola tabungan perumahan yang ada selama ini belum mampu menyelenggarakan pembiayaan perumahan secara optimal. Sehingga diperlukan dana murah jangka panjang yang dapat terjangkau dan selalu siap khusus bagi MBR untuk dapat memiliki, membangun, atau memperbaiki rumah.

Hanya saja memang implikasi RUU Tapera akan memberikan pembebanan baru kepada masyarakat, baik itu kepada pekerja, pekerja mandiri, sektor swasta, dan bahkan kepada pemerintah. Belum lagi implikasi dari penghimpunan, pemupukan, dan pengelolaan dana Tapera yang apabila tidak dilakukan secara professional melalui prinsip kehati-hatian maka berpotensi akan menimbulkan permasalahan hukum dibelakang hari. Faktor inilah yang menyebabkan pembahasan RUU tapera seperti mengalai jalan buntu.

Walaupun pembahasan RUU Tapera tidak dapat diselesaikan oleh DPR masa bhakti 2009-2014, tetapi besar harapan bahwa RUU Tapera dapat kembali dilanjutkan pembahasannya pada DPR periode 2014-2019, mengingat RUU ini sangat strategis untuk menjamin rakyat dapat memiliki rumah terutama bagi MBR.

Mudah-mudahan RUU Tapera dapat segera dimasukkan lagi sebagai RUU perioritas dalam Prolegnas 2014-2019 agar dapat segera dibahas dan disetujui Pemerintah dan DPR untuk menjamin agar masyarakat terutama MBR dapat memiliki hunian yang meraka idamkan, demi peningkatan kemakmuran dan kesejahtaraan mereka pada khususnya, serta bangsa Indonesia pada umumnya.

*) Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI. 

BACA JUGA: