Oleh: Teguh Nirmala Yekti*

Menjelang peringatan pengesahan Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011, penelaahan terhadap pelaksanaan UU Pengelolaan zaat perlu dilakukan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kurun waktu tiga tahun setelah pengesahannya. Harapannya adalah agar ke depan para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) lebih baik lagi dalam perumusannya ketika suatu waktu perlu dilakukan revisi terhadap UU ini.

Dalam perjalanannya undang-undang ini pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada beberapa ketentuan pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dan dalam putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 ada beberapa pasal yang diputuskan bertentangan dengan UUD yaitu Pasal 18 Ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, serta frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 dan Pasal 41, dinyatakan  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam UU Pengelolaan Zakat disebutkan tujuan pembentukan undang-undang ini yaitu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dan dalam pelaksanaan undang-undang selama hampir tiga tahun ini, terlihat bahwa tujuan dan efektifitas dari undang-undang ini dipertanyakan mengingat masih banyak pemberitaan oleh media massa terkait mustahik, yaitu orang-orang yang semestinya berhak menerima zakat, justru terlunta-lunta dijalanan.

Ada pula pemberitaan beberapa kaum dhuafa yang membutuhkan biaya pengobatan yang terlantar dan akhirnya menerima bantuan dari berbagai sumber setelah melalui pemberitaan yang gencar oleh media massa. Lalu dimanakah gerangan aktifitas amil zakat yang didengung-dengungkan semakin diperkuat peranan dan kewenangannya dalam undang-undang ini?

Dimanakah keberadaan badan amil zakat nasional (Baznas), lembaga amil zakat (LAZ), serta unit pengumpul zakat (UPZ) dalam menangani para mustahik yang terlunta-lunta tidak mendapatkan haknya? Orang-orang yang terlantar dalam pengobatan karena penyakit tertentu yang membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Untuk mejawabnya ada empat fokus telaahan sebagai saran dan kritik untuk pelaksanaan UU Zakat.

Pertama, dalam undang-undang ini keberadaan badan amil zakat nasional (Baznas) diperkuat kewenangannya sebagai badan negara yang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Diatur pula Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat, dan unit pengumpul zakat (UPZ) sebagai ujung tombak digaris depan dalam penerimaan zakat.

Baznas dan LAZ sebagai amil zakat yang diatur dalam UU Pengelolaan Zakat justru masih kurang dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Banyak kaum dhuafa yang justru terlihat kasat mata dalam kegiatan keagamaan baik yang diselenggarakan oleh umat Islam maupun non muslim yang berbondong-bondong datang mengharapkan bantuan. Lalu upaya apakah yang diperlukan untuk mengoptimalkan peran Baznas dan LAZ terhadap persoalan tersebut?

Jawaban yang terdekat yang sering dituding yaitu lagi-lagi koordinasi sebagai jalan satu-satunya, dan masih ada asumsi bahwa walaupun kata koordinasi mudah diucapkan namun sulit untuk dilaksanakan. Untuk mencapai tujuan UU Pengelolaan Zakat, pelaksanaan koordinasi masih perlu ditingkatkan. Landasan koordinasi sudah diatur dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Baznas dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Koordinasi yang perlu dilakukan adalah menjalin hubungan yang sinergis dengan lembaga pemerintah yang melakukan pengumpulan dan pengelolaan data-data masyarakat yang dapat diklasifikan ke dalam 8 (delapan) orang yang berhak menerima zakat yaitu; 1. Fakir (orang yang tidak memiliki harta), 2. Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), 3. Riqab (hamba sahaya), 4. Gharim (orang yang memiliki banyak hutang), 5. Mualaf (orang yang baru masuk Islam), 6. Fisabilillah (pejuang di jalan Allah), 7. Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan), 8. Amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat).

Koordinasi dengan lembaga seperti kementerian sosial dan badan pusat statistik yang memiliki data-data kemiskinan dan keberadaan kaum dhuafa mutlak perlu dilakukan agar kegiatan pengelolaan zakat yang dimulai dari kegiatan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dapat dilaksanakan dengan efektif dan maksimal. Bahkan perlu dikaji lebih lanjut apakah perlu melibatkan kementerian sosial untuk dapat turut serta rantai pengumpulan dan pendistribusian zakat, mengingat bahwa kementerian tersebut memiliki data dan akses ke dinas social di daerah.

Kedua, mengenai perlunya pemaknaan pembatasan yang diatur ketentuan UU Pengelolaan Zakat yang telah dibatalkan MK untuk beberapa ketentuannya. Ketentuan undang-undang ini justru membatasi praktik liberalisasi pengelolaan zakat, artinya walaupun aturan UU tersebut mengekang LAZ sebagai organisasi yang berdiri sendiri, namun semestinya dipahami bahwa hakikatnya pengelolaan zakat dilaksanakan oleh badan/lembaga yang mendapatkan mandat dari negara untuk melakukan perencanaaan, pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah S.A.W dan para Khalifah setelahnya.

Dengan demikian, ibadah zakat tidak berada pada domain civil society atau gerakan sosial kemasyarakatan tapi ada pada domain negara sebagaimana yang Allah perintahkan. "Ambilah zakat dari harta mereka" (QS Al-Taubah : 103). Khitab dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi sebagai kepala negara dan juga para khalifah serta para pemimpin umat Islam lainnya (Ali Nurdin Anwar:2011).

Pembatasan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 yang mengatur persyaratan pembentukan LAZ semestinya dimaknai positif, karena pembatasan dilakukan agar LAZ dapat melaksanakan tugasnya dengan efisien, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan asas akuntabilitas, amanah, dan keadilan dalam undang-undang ini.

Ketiga, dalam praktik pengelolaan zakat, masih ada lembaga pengelola zakat yang menerima zakat dalam bentuk uang dari muzaki namun tidak langsung menyalurkannya kepada mustahik, namun uang tersebut digunakan untuk membuat bangunan fisik untuk layanan kesehatan, pendidikan,  dan lain-lain yang tidak diterima langsung oleh mustahik. Padahal esensi zakat adalah pengelolaan sejumlah harta yang diambil dari muzaki sebagai orang yang wajib membayar zakat untuk diberikan kepada mustahik yaitu orang-orang  yang berhak menerimanya. 


Pengelolaan dana zakat untuk keperluan lain yang tidak langsung diberikan pada mustahik patut untuk dipertanyakan kepada lembaga pengelola zakat karena tidak sesuai dengan esensi zakat itu sendiri. Sebaiknya lembaga pengelola zakat membangun fasilitas fisik tidak dengan menggunakan dana atau zakat dari muzaki tapi bisa menggunakan zakat badan atau penerimaan dana non zakat untuk keperluan ini.

Oleh karena itu, Baznas dan LAZ sebagai lembaga pengelola zakat masih perlu meningkatkan pembaharuan, baik yang berkenaan dengan program-program pengelolaan zakat baik dalam pengumpulan, pendistribusian, maupun dalam pendayagunaan zakat, dengan tujuan agar masyarakat sebagai muzaki akan mempunyai kepercayaan yang lebih kepada lembaga pengelola zakat untuk menyalurkan zakatnya.

Keempat, Masyarakat luas masih perlu diberikan pemahaman dalam kegiatan sosialisasi yang berkesimbungan mengenai kewajiban dan arti penting zakat baik bagi muzaki, mustahik, dan kemaslahatan umat pada umumnya. Para ulama pun perlu dimintakan bantuannya untuk terus mensosialisasikan pentingnya zakat, karena melalui kegiatan dakwah umat dapat diberi pengertian dan membuka ruang diskusi tentang nilai penting zakat.

Kegiatan untuk mensosialisasikan zakat juga perlu dilakukan Baznas dan LAZ dengan melibatkan para pemangku kepentingan baik dari kalangan pemerintahan maupun non-pemerintahan yang dapat diselipkan ke dalam setiap penyelenggaraan program-program kegiatannya agar tercapai tujuan zakat yaitu untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Harapan pada optimalnya pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat tentu perlu dipupuk dengan optimisme dan juga saran serta kritik kepada Baznas dan LAZ sebagai pemegang otoritas pengelolaan zakat yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Saran dan kritik kritik merupakan bentuk partisipasi masyarakat untuk terus menghidupkan harapan akan optimalnya pengelolaan zakat yang merupakan dana umat.

Tujuannya agar sasaran pada potensi dana zakat per tahun sejumlah Rp17,3 triliun yang digaungkan Baznas dapat tercapai untuk dapat dipergunakan bagi pembangunan dan pemberdayaan umat. Dana zakat sebesar itu tentunya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang pada Sekretariat Jenderal DPR-RI.

BACA JUGA: