Oleh: Said Abdullah*)

Pembangunan pertanian selama sepuluh tahun terakhir telah gagal. Tak hanya gagal meningkatkan kesejahteraan petani namun juga gagal dalam mencapai swasembada pangan yang telah dicanangkan. Petani masih terus bergelut dengan kemiskinan, walaupun angka kemiskinan diklaim menurun. Penduduk miskin terbesar berada di pedesaan, yang tak lain adalah petani dan nelayan.

BPS mencatat sekurangnya  14,7% penduduk miskin berada di pedesaan. Sementara penduduk miskin yang berada diperkotaan hanya 8,34%. Tak hanya itu, penduduk pedesaan atau petani juga menjadi masyarakat yang memiliki tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan tinggi. Masyarakat pedesaan memiliki kedalaman dan kemsikinan yaitu sebesar 2,26% dan 0,57%. Padahal di perkotaan hanya 1,25% dan 0,31%.

Situasi kemiskinan tersebut menjadi wajar jika melihat trend Nilai Tukar Petani (NTP) selama sepuluh tahun terakhir. NTP yang menjadi tolok ukur kesejahteraan petani relatif tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pada tahun 2005 NTP tercatat sebesar 101,15, angka ini berubah menjadi 101,85 pada tahun 2014. Artinya, tingkat kesejahteraan petani hanya berubah 0,70 dalam kurun 10 tahun.

Swasembada pangan juga gagal diwujudkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Swasembada beras, daging, kedelai, jagung dan gula yang dicanangkan pada tahun 2010 lalu diubah tahun 2014 tak pernah tercapai. Bahkan sebaliknya, nilai impor pangan dan produk pertanian terus meningkat tajam.

Khusus tanaman pangan, hingga tahun 2013, nilai impornya telah mencapai 5,8 miliar USD dengan volume mancapai 14 juta ton. Jika dilihat per sub sektor pertanian, kecuali perkebunan, sampai dengan 2013  neraca nilai ekspor impor mengalami defisit yang cukup besar. Sub sektor tanaman pangan defisit sebesar 5,6 miliar USD, hortikultura defisit sebesar 1,1 miliar USD, dan peternakan defisit 2,4 miliar USD.

Penuaan petani

Kemiskinan yang terus membelit dan rendahnya keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari pertanian menjadikan sektor ini kehilangan peminat. Perlahan tapi pasti pertanian mulai ditinggalkan karena tak pernah memberikan harapan dan cukup menjanjikan sebagai sumber penghidupan. Bank Dunia mencatat ketertarikan masyarakat untuk bekerja di sektor ini terus berkurang.

Hal ini dapat dilihat dari makin menurunnya jumlah tenaga kerja yang bermata pencaharian sebagai petani. Jika tahun 1980 sebanyak 56,4% tenaga kerja yang ada bekerja disektor pertanian maka pada tahun 2012 proporsinya menurun jauh hingga tinggal 35% saja.

Temuan Bank Dunia ini sejalan dengan data sensus pertanian tahun 2013 lalu. Menurut hasil sensus jumlah rumah tangga petani terus mengalami penurunan.  Pada tahun 2013 jumlah rumah tangga petani berkurang 5 juta rumah tangga dari 30 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 menjadi 25 juta pada tahun 2013.

Sayangnya penurunan jumlah petani ini tak serta merta menyebabkan meningkatnya penguasaan lahan dan meningkatnya pendapatan petani. Walaupun mengalami  sedikit penurunan, namun jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha/keluarga masih cukup tinggi. Pada tahun 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,33 persen merupakan petani gurem.

Berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian juga tak berkorelasi positif dengan regenerasi disektor ini. Berkurangnya jumlah petani karena tiadanya pertambahan petani muda. Hampir di semua wilayah di Indonesia para pemuda justru memilih keluar dari sektor pertanian dan memilih sektor industri sebagai lapangan pekerjaan. Mereka menilai pertanian tidaklah cukup menjanjikan untuk dijadikan tumpuan hidup. Bagi mereka sektor industri lebih mampu memberikan pendapatan yang cukup untuk kehidupannya.

Dengan tiadanya generasi muda masuk di pertanian menjadikan pertanian hanya dihuni oleh kelompok umur lanjut usia. Sensus pertanian menunjukkan bahwa sebanyak 16.167.859 jiwa (61,86%) petani berusia lebih dari 45 tahun. Adapun petani yang berusia kurang dari 35 tahun sebanyak 3.164.223 jiwa (12%), dan usia 35-44 tahun sebanyak 6.803.387 (26%). Dari data tersebut dapat dikatakan pertanian Indonesia adalah pertanian renta.

Dengan mayoritas petani berusia tua akan sulit bagi Indonesia untuk mampu memacu produksi pangan dengan baik. Rendahnya regenerasi petani menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia jika ingin mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan. Seberapa luas lahan yang tersedia dan seberapa besarpun dukungan pemerintah untuk sektor pertanian tidaklah berarti apa-apa jika tidak ada pelaku utamanya yaitu petani. Jika ini terjadi terus maka dapatlah dipastikan swasembada tak akan tercapai, impor pangan terus meningkat.

Reorientasi pembangunan pertanian

Fakta-fakta di atas hendaknya menjadi bahan refleksi bersama untuk membuat sebuah perubahan mendasar dalam pembangunan pertanian kedepan. Pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah terbukti gagal. Pembangunan pertanian yang bertumpu pada peningkatan produksi semata tanpa memperhatikan petani telah gagal tak hanya gagal meningkatkan produksi itu sendiri namun juga kesejahteraan dan regenerasi petani.

Kebijakan disektor pertanian selama ini secara nyata telah melupakan petani. Dibandingkan dukungan dan perlindungan pada petani, dukungan pada input untuk peningkatan produksi sangat jauh berbeda. sedikit sekali upaya perlindungan petani dilakukan. Hingga hari ini hampir tidak ada proteksi berupa penetapan harga dasar, asuransi kegagalan panen, dan kebijakan insentif  lainnya.

Kedepan diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk menempatkan dan memuliakan petani sebagai subyek pembangunan. Dukungan dan perlindungan bagi petani tak dapat dielakan. Insentif di hilir berupa proteksi harga dan asuransi gagal panen haruslah dilakukan. Dengan adanya perlindungan dan dukungan bagi petani bisa mendorong perubahan di sektor pertanian itu sendiri. Pertanian bisa berubah wajah menjadi bidang yang menjanjikan masa depan, dan dapat dijadikan sandaran hidup.

Peningkatan aspek ekonomi perlu dilakukan, namun juga perlu dilakukan pengarus utamaan pertanian sebagai pilihan bagi generasi muda. Dukungan permodalan, peningkatan kapasitas, memperbanyak sekola pertanian, introduksi teknologi dan dukungan serta kemudahan lainnya perlu diberikan kepada para pemuda untuk kembali ke sektor pertanian.

Hal lain yang menjadi penting didorong adalah mereorientasi pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan hendaknya didekatkan dengan isu pertanian sehingga sedari awal terinternalisasi kedalam pemikiran para remaja.   

Dengan reorientasi ini maka diharapkan tidak lagi terjadi banjir impor, peningkatan kemiskinan dan penuaan petani. Justru yang tercipta petani yang sejahtera dan mulia, pangan negara yang berdaulat. Semoga.

*) Penulis adalah Manager Advokasi dan jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

BACA JUGA: