Oleh: Supriyadi W. Eddyono*)

PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (PP 61/2014) menuai banyak pendapat dikalangan masyarakat, pasalnya, PP ini mengatur mengenai Aborsi yang dapat dilakukan terhadap Perempuan korban perkosaan. Selama ini isu mengenai legalitas aborsi terhadap korban perkosaan memang menjadi isu sensitif, sudut pandang terhadap isu ini menjadi sangat luas pendekatannya dari mulai kesehatan sampai dengan isu hukum.

Secara umum pengaturan mengenai aborsi untuk korban pemerkosaan dalam PP 61/2014 diatur dalam 3 pasal utama, yaitu Pasal 29, Pasal 31 dan Pasal 34 PP 61/2014.

PP No. 61 Tahun 2014 Bunyi Pasal
Pasal 29

1. Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual.

2. Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
    -upaya perlindungan dan penyelamatan korban;
    -upaya forensik untuk pembuktian; dan
    -identifikasi pelaku.

3. Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
    -pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang
    -pengobatan luka dan/atau cedera;
    -pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual;
    -pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;
    -terapi psikiatri dan psikoterapi; dan
    -rehabilitasi psikososial.

4. Ketentuan mengenai penanganan korban kekerasan seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31 1. Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
    -indikasi kedaruratan medis; atau
    -kehamilan akibat perkosaan.

2. Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pasal 34 1. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:
-usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh sura keterangan  dokter; dan
-keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

 

Praktik perlindungan korban perkosaan selama ini masih butuh perhatian besar. Dengan adanya PP 61/2014 setidaknya ada semangat untuk memperbaiki hal tersebut. Namun, pengaturan aborsi korban perkosaan dalam PP 16/2014 bukan tanpa catatan, dirinya menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang harus disoroti terutama dalam aspek perlindungan korban.

Pertama, pengaturan mengenai penanganan korban perkosaan dalam hal pencegahan kehamilan tidaklah detail. Pencegahan kehamilan untuk korban perkosaan menjadi sangat penting sebagai langkah awal dalam melindungi korban, namun sayang tidak ada pengaturan lebih lanjut dari Pasal 29 Ayat (3) huruf d PP 61/2014. Siapa yang berwenang, bagaimana prosedurnya, apa tahapannya, bagaimana pembiayaannya, bagaimana perlindungannya tidak detail diatur.

Kedua, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Ketentuan ini ada dalam bunyi Pasal 31 Ayat (2) PP 61/2014.

Ini merupakan pengaturan penting karena aborsi bagi korban perkosaan menjadi legal dengan syarat khusus. Masalahnya adalah, dalam pratik ada kendala bagi korban-kobran perkosaan untuk segera dapat mengakses layanan ini. Apalagi dalam kasus-kasus perkosaan yang jauh berada di wilayah diluar perkotaan. terlebih apabila perkosaan terjadi kepada korban dan pelaku yang memiliki hubungan darah (Incest) atau pada korban yang memiliki keterbatasan untuk melakukan pelaporan.

Tenggat waktu 40 hari berpotensi membatasi perlindungan korban perkosaan dalam hal kasus-kasus perkosaan dalam keluarga maupun korban yang memiliki keterbatasan dalam melapor. Dalam kasus-kasus tersebut korban cenderung takut untuk melapor atau tidak mampu untuk melapor sehingga batas 40 hari untuk aborsi legal bagi korban perkosaan  menjadi kendala serius. Intinya batas waktu tersebut harus pula dibarengi dengan memudahkan akses yang cepat oleh korban perkosaan untuk mnelaporkan ke aparat penegak hukum.

Ketiga, PP 61/2014 tidak secara tegas memberikan akses terhadap pemeriksaan dan obat yang seharusnya gratis atau tanpa biaya. Seluruh layanan dan biaya bagi korban perkosaan atau kejahatan seksual termasuk pencegahan dan atau penanganan kehamilan dan aborsi bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual pada dasarnya membutuhkan campur tangan negara, negara harus memberikan biaya gratis bagi korban.

Selama ini kendala akses terhadap pemeriksaan dan obat adalah masalah serius. Jangan sampai korban perkosaan tidak terlindungi hanya karena akses terhadap pemeriksaan dan obat terhalang persoalan pembiayaan. Misalnya dalam Pasal 35 Ayat (2) huruf f PP 61/2014 yang meskipun menyebutkan bahwa praktik aborsi tidak mengutamakan imbalan materi, tapi dalam penjelasannya yang dimaksud dengan "tidak mengutamakan imbalan materi" adalah biaya pelayanan sesuai dengan perhitungan unit cost. Tetap ada penyebutan biaya, ini berpotensi ada pembebanan biaya yang tidak sedikit nantinya pada korban perkosaan.

Keempat, layanan korban perkosaan dan kejahatan seksual dalam PP ini harus dibuat hubungan langsung dengan beberapa unit khusus di Polri dan unit lainnya terutama lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kehadiran LPSK sebagai lembaga yang memiliki akses langsung dalam perlindungan korban menjadi sangat penting, sehingga ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan perlindungan hukum bagi korban perkosaan.

PP 61/2014 memang tidak secara tegas menyebut kehadiran LPSK, padahal dibutuhkan penanganan khusus dan cepat terhadap korban perkosaan. Karekteristik korban perkosaan sangat kompleks, penanganannya harus dengan pendekatan khusus dan berbeda baik bagi yang belum dinyatakan hamil maupun yang sudah, sehingga peran dari lembaga seperti LPSK menjadi sangat penting.

ICJR berharap bahwa dengan hadirnya PP 61/2014 menjadi awal pembenahan hukum terkait perlindungan korban. Kepentingan korban yang selama ini kerap terabaikan diharapkan banyak berubah dengan kehadiran PP tersebut, dan kedepan ada harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, agar isu perlindungan korban berada dilevel peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

BACA JUGA: