JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Begitulah barangkali gambaran nasib warga Kabupaten Kepulauan Aru saat dua perusahaan raksasa perkebunan tebu bertarung memperebutkan lahan seluas 500.000 hektare di kabupaten tersebut. Seperti dikisahkan dalam bagian I tulisan ini, warga Kepulauan Aru terutama yang tinggal di pulau-pulau besar seperti Pulau Wokam, Kobror, dan Trangan, tengah berjuang melawan keputusan mantan Bupati Kepulauan Aru, Theddy Tengko, yang memberikan izin kepada perusahaan perkebunan PT Menara Group untuk membuka lahan perkebunan tebu di tiga pulau besar di kabupaten tersebut.

Warga menentang keputusan itu karena diyakini, pembukaan lahan perkebunan tebu seluas itu selain akan merusak lingkungan hidup, menghilangkan hutan-hutan primer dan kekayaan hayati yang ada di dalamnya, juga akan menggusur banyak warga yang tinggal di tiga pulau besar itu. Belakangan diketahui, ternyata bukan hanya PT Menara Group yang mengincar lahan di Kepulauan Aru tetapi ada satu grup lagi yaitu PT Aru Manise Group yang juga sempat memegang izin pengembangan lahan tebu di kabupaten tersebut. Kedua perusahaan itu Menara Group (dengan ke-28 perusahaannya) dan Aru Manise Group (dengan 15 perusahaan) bahkan sempat bertarung di Pegadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, medio 2012 hingga awal 2013 untuk memperebutkan izin pengembangan lahan tebu di Kepulauan Aru.

Dari dokumen putusan PTUN Ambon yang diterima redaksi Gresnews.com, Selasa (29/10), diketahui, PT Aru Manise Group yang diwakili Muhammad Dedi Rahadian selaku Direktur Utama, melayangkan gugatan kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Provinsi Maluku. PT Aru Manise Group melayangkan gugatan kepada Kepala Bapedal, Provinsi Maluku pada tanggal  15 Agustus 2012, denga  register perkara Nomor: 23/G/2012/PTUN.ABN, lantaran sang Kantor Bapedal menerbitkan Surat Kepala Bapedal Provinsi Maluku Nomor 23/KOM-AMDL/V/2012 tanggal 23 Mei 2012, yang membatalkan proses Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) perusahaan-perusahaan di bawah PT Aru Manise Group. Alasan pencabutan itu disebutkan karena terjadi tumpang tindih perizinan antara lahan yang dikuasakan kepada PT Aru Manise Group dengan PT Menara Group.

Keputusan penghentian proses amdal diprotes pihak PT Aru Manise karena dianggap telah merugikan pihak perusahaan yang beralamat di kawasan Rasuna Said dan Jalan MH. Thamrin Jakarta itu. Pihak penggugat rupanya telah telah mengantongi izin dari Bupati Kepulauan Aru untuk mengembangkan perkebunan tebu dan sawit di beberapa lokasi. Ada sejumlah 15 izin yang diperoleh pihak PT Aru Manise Group diantaranya, SK Bupati Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 12 Juli 2011 yang memberikan izin lokasi usaha perkebunan tebu atas nama PT Buru Makmur Warga seluas 38.400 hektare terletak di Kecamatan Pulau-Pulau Aru. Ada juga SK  Bupati No. 44 Tahun 2011 tanggal 12 Juli 2011, yang memberikan izin lokasi kepada Buru Abadi Sejahtera, seluas 37.824 hektar terletak di Kecamatan Pulau-Pulau Aru, serta SK-SK lainnya.

Pihak PT Aru Manise Group menyatakan, sebelum diterbitkan izin lokasi usaha perkebunan tersebut, terhadap areal lahan yang dimohonkan tersebut telah dilakukan peninjauan lokasi oleh instansi terkait secara bersama-sama. Antara lain Dinas Pertanian dan Kehutanan, Bappeda dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), serat perwakilan dari PT Aru Manise Group. Hasilnya, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kepulauan Aru, kemudian menerbitkan Surat Pertimbangan Teknis Permohonan Izin Lokasi masing-masing No. 522.21/DISTANHUT-ARU/326/2011 tanggal 6 Juli 2011 yang ditujukan Kepada Bupati Kepulauan Aru, dan No. 522.21/DISTANHUT-ARU/6389/2011 tanggal 23 Nopember 2011 yang ditujukan Kepada Bupati Kepulauan Aru.

Surat-surat itu menegaskan, tidak ada izin lainnya terhadap penggunaan kawasan hutan pada areal yang dimohonkan. Karena itulah izin lokasi bisa diterbitkan oleh pihak Kabupaten Kepulauan Aru. Kemudian, pihak PT Aru Manise Group untuk merealisasikan usaha perkebunan, melakukan proses amdal dan mengajukan pendaftaran proses kegiatan amdal ke pihak Bapedal, Provinsi Maluku. Sebagai bagian dari proses itu, pihak PT Aru Manise Group juga telah menanyakan kepada pihak Bapedal Provinsi Maluku, apakah atas areal yang dimohonkan, pernah dilaksanakan kegiatan amdal oleh perusahaan atau badan hukum lain. Namun, menurut pihak PT Aru Manise Group, surat itu tidak pernah ditanggapi. Karena tak ditanggapi, PT Aru Manise Group pun yakin mereka adalah satu-satunya pihak yang mengajukan permohonan Amdal untuk areal lokasi tersebut.

Maka pihak PT Aru Manise Group pun mengumumkan permohonan kegiatan amdal itu melalui Harian Ambon Ekspress berturut-turut sejak tanggal 14-20 Desember 2011. Di sinilah kemudian masalah terjadi. Saat proses amdal tengah berjalan, tiba-tiba pada tanggal 7 Februari 2012, PT Aru Manise Group menerima surat dari Kepala Bapedal Provinsi Maluku, bernomor No. 660/19a1/BPDL/II/2012 yang menyatakan bahwa telah terjadi tumpang tindih lahan areal rencana usaha kegiatan perkebunan antara pihak PT Aru Manise Group dengan PT Menara Group. Karena itu pihak Bapedal memutuskan untuk menunda proses dan pelaksanaan amdal hingga persoalan tumpang tindih lahan ini selesai.

Pihak PT Aru Manise Group lantas saja memprotes terbitnya surat tersebut. Mereka mengklaim, sejak tahun 2010 melalui pembicaraan dengan Bupati Kepulauan Aru saat itu, Theddy Thengko, telah mendapat restu melakukan survei lokasi dan surat permohonan izin lokasi telah didisposisikan oleh Bupati kepada Wakil Bupati, Umar Djabumona. Pihak PT Aru Manise Group mengaku yakin tidak ada izin lain pada areal tersebut. Kenyataannya, pada tanggal 23 Mei 2012, pihak Bapedal Maluku malah membatalkan proses amdal yang dilakukan oleh mereka. Pihak PT Aru Manise Group pun berang karena dengan pembatalan itu, berarti pihak Bapedal Maluku sudah mengakui lahan tersebut menjadi milik lawan mereka, PT Menara Group.
Dengan kata lain, izin milik PT Aru Manise Group dinyatakan tidak berlaku dan mereka tidak dapat melaksanakan usaha perkebunan tebu dan sawit karena adanya pembatalan itu. Merasa dirugikan, perusahaan-perusahaan di bawah PT Aru Manise Group menggugat Kepala Bapedal Maluku sekaligus menggugat perusahaan-perusahaan di bawah PT Menara Group selaku tergugat intervensi. Mereka menganggap SK Kepala Bapedal itu cacat hukum lantaran memutuskan seolah-olah PT Menara Group yang lebih berhak atas areal lokasi tersebut. Pihak PT Aru Manise Group berpendapat, kalau memang telah dikeluarkan surat pelaksanaan amdal atas nama PT Menara Group, maka hal itu seharusnya sudah dijelaskan pihak Bapedal kepada pihak PT Aru Manise Group.

Pihak PT Aru Manise Group meminta agar PTUN Ambon membatalkan SK Bapedal Maluku tersebut sekaligus untuk menepis klaim pihak PT Menara Group atas izin usaha perkebunan yang dikantongi mereka. Pihak PT Aru Manise Group mendalilkan, adanya penolakan tokoh-tokoh masyarakt Aru terhadap PT Menara Group membuktikan kalau perusahaan tersebut  tidak pernah melaksanakan proses amdal di areal lokasi tersebut. Karena itu PT Aru Manise Group menganggap tidak mungkin PT Menara Group memperoleh izin usaha dari Bupati Kepulauan Aru.

Selain menggugat pihak Bapedal Maluku, pihak PT Aru Manise Group juga melayangkan gugatan secara terpisah kepada Bupati Kepulauan Aru karena telah menerbitkan surat pembatalan pemberian izin kepada 15 perusahaan di bawah grup tersebut. Sayangnya usaha ini dimentahkan pihak PTUN Ambon. Majelis hakim menilai, surat izin yang diberikan kepada pihak PT Aru Manise Group, dikeluarkan saat Bupati Theddy Tengko tengah menjalani proses hukum dan penggantinya, yaitu Wakil Bupati Umar Djabumona, selaku pelaksana tugas bupati, tidak berhak mengeluarkan keputusan apapun termasuk pemberian izin. Akibatnya, SK pencabutan proses amdal, dianggap tidak merugikan pihak penggugat karena izin yang dimaksud sendiri tidak sah dan dianggap tidak pernah ada. Dengan dalil yang sama, gugatan PT Aru Manise Group kepada pihak Bupati Kepulauan Aru juga ditolak karena Bupati dianggap sah mengeluarkan pembatalan surat izin tersebut.

Kini secara hukum, pihak PT Menara Group memang dianggap sah mengusahakan areal lahan seluas 500.000 hektare sesuai izin yang diberikan. Namun keberatan tetap mengalir dari pihak warga Kepulauan Aru yang tidak ingin tanah tempat tinggal mereka dirusak oleh usaha perkebunan yang berskala luar biasa itu. Masyarakat Desa Marafenfen misalnya telah mengirimkan surat penolakan kepada Bupati Kepulauan Aru bernomor 05/DS-M/VII/2013 yang isinya menolak survei yang akan dilakukan pihak PT Menara Group di desa tersebut. "Kami seluruh marga dalam desa merasa resah terkait ada survei-survei yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi pesuruh-pesuruh PT Menara Group," kata Rechy Bothmir, perwakilan marga Bothmir di desa Marafenfen, dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com.

Pernyataan penolakan juga keluar dari para akademisi Universitas Pattimura Ambon, yang pada tanggal 11 Oktober lalu mengadakan diskusi terfokus yang dihadiri 53 pserta dari beberapa lembaga. Diskusi berakhir dengan penetapan koalisi #SaveAru, serta pernyataan sikap penolakan terhadap rencana pengembangan perkebunan tebu oleh PT. Menara Group dan atau pihak lainnya di Kepulauan Aru. "Kepulauan Aru dengan segala kekayaannya adalah bagian dari NKRI yang wajib mendapat perlindungan dari Negara terhadap segala bentuk kerusakan dan pengrusakan alam, lingkungan, dan manusia," demikian diantara pernyataan tertulis itu yang diterima redaksi Gresnews.com.

Menurut para akademisi, dengan hadirnya rencana penggunaan tanah rakyat sebesar 500,000 hektar dari total 643,000 hektar luas wilayah Aru oleh PT Menara Group dan/atau investor lainnya di bidang perkebunan, maka alam, lingkungan dan manusia menjadi terancam. Untuk itu, para akademisi bersama elemen masyarakat lainnya, menolak eksploitasi tanah masyarakat Aru oleh PT Menara Group dan/atau investor lainnya. "Kami juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali dan/atau membatalkan dan mencabut seluruh perijinan yang telah dikeluarkan yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia," ujar mereka.

Selain itu, Ketua Lembaga Kalesang Maluku, Contansius Kolatfeka, juga meminta kepada Kepala Bapedal Provinsi Maluku untuk segera melakukan peninjauan ulang terkait izin Amdal yang dimiliki PT Menara Group. "Luas daratan Kepulauan Aru sangat kecil. Dari 589 Pulau, hanya ada enam buah pulau terbesar yaitu Pulau Wokam, Pulau  Kola, Pulau Kobror, Pulau Maekor, Pulau Koba dan Pulau Trangan. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang harus dilindungi," jelas Contansius kepada Gresnews.com dalam pernyataan tertulisnya. Izin tersebut menurut Kolatfeka sangat tidak masuk akal karena akan memakan sebagian besar wilayah Kabupaten Kepulauan Aru. "Nanti masyarakat lokal setempat hidup dan mencari nafkah di mana?" ujarnya lagi.

Selain itu masyarakat Aru bersama elemen masyarakat lainnya di Indonesia melalui situs Change.org, juga telah menjalankan kampanye #Save Aru Island. Lewat penandatanganan petisi di situs itu, berbagai elemen masyarakat meminta agar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan meninjau ulang dan mencabut izin yang telah diberikan kepada PT Menara Group. Sejauh ini memang belum ada tanggapan dari pihak Kementerian Kehutanan terhadap permohonan tersebut.

(GN-03)

BACA JUGA: