JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ringan tangannya aparat penegak hukum menahan seseorang menjadi sorotan. Terlebih makin panjang saja daftar tidak profesionalnya aparat, menuduh tanpa bukti hingga pengadilan melepaskan terdakwa. Dari kasus penjual cobek Tajudin yang dituduh mengeksploitasi anak hingga kasus pemilik laundry Rosmalinda yang ditahan gara-gara merusak pakaian konsumennya. Dan masih banyak kasus lainnya.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan sudah saatnya pimpinan lembaga penegak hukum, utamanya Kapolri dan Jaksa Agung, menetapkan sanksi bagi bawahannya jika dalam melaksanakan kewenangan subjektifnya menangkap orang lalu menahannya namun kemudian divonis bebas murni (vrijspraak) ataupun lepas dari hukuman (onlag) oleh hakim dengan putusan yang sudah berkekuatan tetap (inkracht).

Dengan adanya sanksi oleh pimpinan lembaga penegak hukum ini, aparat penegak hukum akan dipaksa untuk bekerja lebih profesional. Selain itu, juga mendorong aparat tidak hanya semata menggunakan subjektifitasnya saja dalam menggunakan kewenangan melakukan upaya paksa menangkap dan menahan.

"Ini untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum menggunakan diskresinya sesuai KUHAP. Sudah ada sarana praperadilan untuk mengontrol upaya paksa. Namun kan sarana hukum ini sering melihat sah-tidaknya upaya paksa itu secara sederhana saja," ujar Arsul, Senin (24/4).

Arsul berkata negara tak cukup hanya membayar ganti rugi kepada mereka yang mengalami salah tangkap berdasarkan PP 92/2015. Apalagi prosedur untuk mendapatkan ganti rugi akibat salah tangkap dan salah tahan seperti itu tidak sederhana prosedurnya tapi perlu waktu panjang sehingga tidak gampang bagi rakyat biasa.

Peneliti Pusako Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat, Charles Simabura juga meminta aparat penegak hukum jangan asal menahan orang. Polisi, jaksa dan hakim diminta profesional dan memikirkan masak-masak apabila hendak menahan orang.

"Karena selama ini seringkali tahanan dititipkan di LP dikarenakan keterbatasan ruang tahanan penyidik, penuntut dan pengadilan dan rumah tahanan negara. Hal demikian ikut berkontribusi bagi kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan," ujar Charles dalam sela-sela diskusi bersama Menkum HAM Yasonna Laoly diskusi di Hotel JW Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis-Jumat (20-21/4/2017).

BERAGAM KASUS SALAH TANGKAP - Pameo hukum tumpul ke atas dan tajam kebawah seolah mendapatkan pembenaran dengan banyaknya kasus salah tangkap. Terlebih penegak hukum tak mendapatkan sanksi keras bila melakukan penangkapan salah. Gresnews.com merangkum beberapa kasus salah tangkap tersebut.

Kasus penjual cobek miskin bernama Tajudin. Ia harus merasakan dinginnya lantai sel penjara selama 9 bulan. Polsek Tangerang Selatan menjebloskan Tajudin dengan tuduhan mengeksploitasi anak dengan cara mempekerjakan mereka berjualan cobek, pada April 2016.

Padahal, yang membantu Tajudin menjual cobek adalah keponakannya sendiri yang putus sekolah. Mereka membantu untuk menyambung hidup. Tudingan jaksa itu akhirnya terbantahkan dan Tajudin divonis bebas oleh PN Tangerang pada Kamis (12/1).

Tapi Tajudin baru menghirup udara bebas pada Sabtu (14/1) siang setelah bisa keluar dari penjara, dikarenakan menunggu petikan putusan yang dibuat hakim. Jaksa tidak terima dengan putusan itu dan mengajukan kasasi. Hingga hari ini, MA belum memutuskan kasus itu.

Kasus lainnya adalah Sri Mulyati yang dijebloskan ke penjara sejak Juli 2011 atas tuduhan mengeksploitasi anak di bawah umur untuk bekerja di tempat karaoke di Semarang. Padahal, Sri hanyalah pekerja juga di tempat karaoke itu sebagai kasir.

Alibi Sri ditolak polisi, jaksa dan hakim. Sri divonis delapan bulan penjara dan denda Rp 2 juta subsidair dua bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Jaksa melakukan banding dan Pengadilan Tinggi (PT) menambah masa hukuman Sri menjadi 12 bulan dan denda Rp 2 juta subsidair dua bulan.

Akhirnya Sri dibebaskan oleh para hakim agung setelah menghuni penjara selama 13 bulan lamanya. Ia pun diberi ganti rugi Rp 5 juta sesuai peraturan yang ada. Tapi apa ganti rugi itu hingga hari ini belum dikantongi Sri.

Seorang buruh pabrik Krisbayudi juga dijebloskan dalam tahanan Polda Metro Jaya karena tuduhan terlibat kasus pembunuhan. Usai digelandang ke Polda Metro Jaya, Krisbayudi disiksa untuk mau mengakui skenario cerita pembunuhan versi polisi. Tidak hanya itu Kris juga disiksa oleh sesama tahanan.

Akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) membebaskan Krisbayudi awal 2012, setelah ditahan 8 bulan lamanya. Sebab pembunuh sebenarnya adalah teman Krisbayudi, Rahmat Awafi. Kepada majelis, Rahmat tiba-tiba mengaku kepada majelis hakim bahwa dia melakukannya seorang diri. Majelis hakim PN Jakut menyatakan BAP tersebut batal demi hukum. Krisbayudi pun bebas sedangkan Rahmat divonis mati di tingkat kasasi.

Kasus lainnya, tiga nelayan miskin dari Pandeglang, Banten, yaitu Damo, Misdan dan Rahmat. Mereka harus merasakan dinginnya sel penjara gara-gara mencari udang dan ikan untuk keluarganya yang akan berlebaran.

Kisah tiga nelayan itu dimulai ketika mereka sedang mencari ikan di atas kapal kecil di perairan dekat Pulau Handeuleum, Banten, pada 3 Oktober 2014. Karena tidak tahu batasan mana laut umum dan laut kawasan konservasi, mereka ditangkap petugas Kepolisian Hutan Taman Nasional Ujung Kulon dengan barang bukti 24 kepiting, 4 udang dan sisanya ikan.

Mereka ditahan di penjara kemudian diseret ke meja hijau. Jaksa dalam dakwannya menjerat ketiganya dengan pasal 33 UU No 5 tahun 1990 tentang tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan dituntut jaksa dengan 4 bulan penjara dengan denda Rp 500 ribu.

Tapi PN Pandeglang mementahkan tuntutan JPU dan membebaskan ketiganya pada 28 Januari 2015. Jaksa masih tidak terima dan mengajukan kasasi. Namu MA bergeming dan tetap membebaskan tiga nelayan papa itu.

Ada pula kasus Rosmalinda pemilik cucian kiloan. Rose Lenny menyerahkan cucian kepada Rosmalinda pada Januari 2012. Tapi Rose tidak kunjung mengambil baju itu lebih dari setahun. Biaya cucian Rp 78 ribu dengan ketentuan Rp 3.000 per kg.

Pada awal 2013, Rose tiba-tiba menagih cuciannya dan Linda mengambil baju itu sudah dalam keadaan rusak dan kotor karena setahun tak kunjung diambil.

Anehnya, Rose memperkarakan Linda hingga ke meja hijau. Linda awalnya tidak ditahan polisi. Hingga akhirnya jaksa menjebloskan Linda ke penjara hingga 3 bulan lamanya. Tak tanggung-tanggung, jaksa menuntut Linda selama 1 tahun penjara. Linda akhirnya dibebaskan PN Jaktim pada Oktober 2013 dan dikuatkan Mahkamah Agung pada November 2016. (dtc/mfb)

 

BACA JUGA: