JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sidang uji materiil perluasan Pasal 284, 285, dan Pasal 292 KUHP terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Sidang gugatan yang dilayangkan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti dan kawan-kawan masuk tahap mendengarkan saksi ahli.

Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Universitas Islam Bandung (Unisba), Edi Setiadi, meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Euis Sunarti dkk terkait perluasan subjek pada tiga pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Edi —yang dihadirkan di MK sebagai ahli dari pihak terkait Persatuan Islam Istri (Persistri) dalam sidang uji materil dengan nomor perkara 46/PUU-XIV/2016— Pasal 284, 285, dan 292 KUHP harus dire-evaluasi dan dire-orientasi.

"Memahami KUHP yang berlangsung sekarang tidaklah dengan serta merta harus mengikutinya tanpa reserve sebab (perlu melihat) apakah jiwa dan spiritnya sama dengan kondisi sekarang atau tidak, juga masih relevankah diterapkan? Oleh karena itu, melakukan re-evaluasi dan re-orientasi terhadap isi dan spirit KUHP, termasuk pasal-pasalnya, merupakan condition cine quanon (tidak boleh tidak, harus dilakukan-red)," papar Edi, Kamis (12/1).

Edi menerangkan, tanpa dilakukan re-evaluasi dan re-orientasi, penegakan hukum-hukum di dalam KUHP hanya akan mendatangkan ketidakadilan dan disharmoni di dalam masyarakat. Alasannya, KUHP yang ada saat ini merupakan peninggalan pemerintah kolonial dan diberlakukan lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 Jo UU Nomor 73 1958 guna mengisi kekosongan hukum sebelum undang-undang baru diberlakukan.

Edi menegaskan bahwa keberadaan Pasal 284 KUHP yang dibuat pemerintah kolonial untuk melindungi kesucian lembaga perkawinan, dalam konteks hari ini dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi maupun UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurutnya, lewat konstitusi dan UU Perkawinan diketahui bahwa dasar dan tujuan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lewat pemahaman seperti itu, Edi berpendapat, di dalam konteks Pasal 284 KUHP, yang seharusnya dilindungi tidak hanya suami atau istri saja, tapi juga seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak.

"Pasal 284 KUHP hanya memandang ikatan perkawinan itu meliputi suami dan istri saja, padahal pengertian keluarga dalam masyarakat Indonesia adalah meliputi anak-anak dan keluarga besar lainnya. Dan kalau bentuk perlindungan itu mencakup seluruhnya maka mutatis mutandis rumusan pasal ini harus juga meliputi perzinaan yang dilakukan oleh anak walaupun anak tersebut belum menikah," kata Edi.

Edi menekankan, alangkah tragis dan absurdnya andai perzinaan yang dilakukan sepasang manusia yang tidak terikat hukum perkawinan dianggap bukanlah pelanggaran hukum. Menurut Edi, hukum agama dan hukum adat sekalipun telah menegaskan bahwa setiap hubungan badan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan adalah zina. Atas dasar itulah Edi meminta agar para hakim MK turut memahami hukum-hukum dan ketentuan di dalam masyarakat demi memutus perkara 46/PUU-XIV/2016 seadil-adilnya.  

"Hakim MK harus sadar akan kebutuhan masyarakat. Kejahatan kesusilaan sudah sangat merajalela. Karena itulah hakim harus membuat putusan yang merespons kebutuhan masyarakat demi menanggulangi persoalan kesusilaan itu," kata Edi kepada gresnews.com, Kamis (12/1).

Edi lantas menyebut Perppu Kebiri sebagai salah satu produk pemerintah yang harus diapresiasi dalam kaitannya dengan upaya menanggulangi masalah moral. Menurutnya, sama halnya dengan sodomi, perilaku zina juga merupakan kejahatan moral yang perlu penanganan sungguh-sungguh dari pemerintah. Dan, bahwa praktek perzinaan kerap dilakukan atas dasar suka sama suka, maka dari itu sulit untuk menentukan mana korban dan mana pelaku, Edi menegaskan hal itu bukanlah suatu masalah.

"Dalam ilmu hukum pidana dikenal satu dalil no victim no crime, artinya tidak ada korban maka tidak ada kejahatan. Namun tidak demikian di dalam kejahatan moral, misalnya zina. Korban dari praktek kejahatan seperti itu sifatnya abstrak, tidak konkret sebagaimana luka dalam kasus kekerasan," papar Edi.

Dengan alasan seperti itulah Edi menegaskan bahwa korban dari perilaku zina adalah keluarga, institusi perkawinan, serta  moralitas bangsa dan masyarakat. "Negara wajib melindungi semuanya dari kejahatan zina dan perilaku kejahatan moral lainnya," pungkas Edi.

Melengkapi pendapat Edi, psikolog Elly Risman juga turut meminta hakim MK agar mengabulkan permohonan Euis Sunarti dkk. Berdasar penelitian atas berita-berita di media online beberapa waktu lalu, Elly menyebut pihaknya menemukan 3971 kasus kejahatan seksual sepanjang tahun 2015. Menurutnya, hal itu bukanlah angka sembarangan. Lebih-lebih jika dikaji lebih jauh, kasus kejahatan seksual kerap dilakukan akibat pelaku terpapar pornografi.

"Pada 2016, dari 2594 responden yang kami sertakan dalam penelitian kami, 97% di antaranya terpapar pornografi," kata Elly, Kamis (12/1). Terkait fenomena itu, Elly berharap agar MK turut serta menanggulangi permasalahan yang terjadi dengan cara mengeluarkan putusan-putusan yang tepat terkait permasalahan yang tengah dihadapi Indonesia.

Elly menuturkan bahwa sejak 1918, tahun di mana pasal-pasal a quo diundangkan, telah terjadi berbagai perubahan di seluruh sektor kehidupan. Demikian pula di dalam hukum. Persoalan zina yang mulanya dianggap sebagai gendak atau perbuatan asusila, perlahan mulai berubah bahkan menjadi lifestyle. Atas hal itulah Elly menegaskan perlunya satu aturan hukum yang mengikat demi mencegah penyebarluasan masalah tersebut.

"Bagaimana semua masalah ini bisa kita atasi jika masih menggunakan undang-undang yang lama?" katanya.
HUKUM BUKAN JALAN KELUAR - Sementara itu, menanggapi alotnya persidangan mengenai perluasan tiga pasal di dalam KUHP, perwakilan pemerintah, Hotman Sitorus menyebut pihaknya berharap agar MK mengeluarkan putusan yang sebaik-baiknya. "Kita lihat saja perkembangannya. Sidangnya memang panjang. Tapi kan perdebatannya masih begini-begini saja," kata Hotman kepada gresnews.com, Kamis (12/1).

Hotman juga menyebut pemerintah tidak akan menghadirkan ahli maupun saksi dalam perkara ini. Menurutnya, di dalam setiap judicial review, posisi pemerintah sebetulnya bisa dikatakan sebagai ahli. "Pemerintah itu kan ahli. Jadi ahlinya ya pemerintah sendiri," tambah Hotman.

Sebelumnya, Hotman menyatakan bahwa pemerintah menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas di dalam norma yang diujikan Euis Sunarti dkk. Lagipula, menurutnya, DPR sendiri tengah menggodok RUU KUHP. Terkait itulah Hotman berpendapat, persoalan perluasan subjek di dalam Pasal 284, 285, dan 292, sebaiknya diserahkan kepada DPR RI bukan kepada MK.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari menegaskan, pihaknya bersikeras meminta MK untuk tidak memperluas pasal-pasal a quo. Bahwa pemohon mendalilkan persoalan zina, cabul, dan homoseks tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma bangsa Indonesia, Dian sependapat. Hanya, dalam konteks judicial review ini, Dian berpendapat bahwa aspek hukum tidak akan menjadi jalan keluar bagi persoalan yang sudah kadung memprihatinkan tersebut.

"Harus ditegaskan, kita tidak sedang mendukung seks bebas. Bahwa seks bebas itu berbahaya dan sekarang kondisinya memprihatinkan, kita juga peduli itu. Karenanya, kita mendorong pelatihan-pelatihan tentang kesehatan reproduksi, misalnya. Kita mendorong anak-anak untuk tahu bahaya seks di luar perkawinan. Masalah itu tidak akan selesai dengan hukum. Makanya kita dorong agar permasalahan itu diselesaikan dengan cara yang lain," papar Dian kepada gresnews.com.

Dian menyatakan, salah satu pihak yang bakal dirugikan secara langsung andai MK memperluas subjek ketiga pasal a quo adalah perempuan. Menurutnya, banyak sekali pasangan yang sudah menikah namun hingga saat ini belum mempunyai surat nikah. "Kalau ada perempuan yang tidak punya surat nikah, mereka berpotensi terjerat Pasal 284 itu. Belum lagi kalau ada kasus perkosaan yang tidak bisa dibuktikan, perempuan yang sebetulnya korban bisa disebut melakukan hubungan suka sama suka, dan sebagainya," kata Dian.

Dian juga menyebut bahwa pada dasarnya, ajaran agama maupun norma hukum bermuara pada satu entitas yang sama, yakni etika moral. Namun demikian, Dian menegaskan bahwa tidak setiap ajaran agama serta merta dapat ditetapkan sebagai norma hukum. "Misalnya kalau kita durhaka, itu dosa kan. Tapi itu tidak bisa masuk norma hukum. Seharusnya ada batasan-batasan yang tegas, kapan suatu ajaran agama bisa menjadi hukum, dan kapan ajaran itu berlaku semata sebagai ajaran agama," katanya.

Terhadap perilaku LGBT, Dian juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, tidak semua orang mau menjadi LGBT. Bahkan tidak sedikit kaum LGBT yang membenci dirinya sendiri. Kepada pihak-pihak semacam itulah menurut Dian norma hukum tidak bisa diterapkan.

"Saya memandang hal itu bisa dilakukan dengan terapi. Selama mereka tidak merugikan orang-orang, apalagi anak-anak, maka biarkan mereka berada di wilayahnya sendiri," kata Dian. Adapun terhadap perilaku cabul, Dian meminta agar penanganan hukumnya tidak dipukul-rata, sebagaimana permohonan para pemohon terhadap Pasal 292. Menurutnya, hukuman yang diberikan kepada orang dewasa harus lebih lebih berat ketimbang hukuman yang diberikan kepada anak-anak. Adapun bagi anak-anak, mereka harus diberikan perlindungan selama menjalani semua prosedur hukum.

"Nah, kalau seseorang melakukan pemaksaan untuk berbuat cabul terhadap orang lain, itu sudah ada hukumnya di Pasal 289. Jadi sebetulnya Pasal 292 itu tidak perlu diperluas lagi," pungkas Dian.

Pasal 289 KUHP berbunyi, "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun". (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: