JAKARTA, GRESNEWS.COM - Memasuki bulan September, ingatan masyarakat kembali ke tahun 1965 dimana terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia. Terlebih di media sosial marak beredar isu yang menyebutkan kembangkitan partai telarang tersebut. Terakhir penyerbuan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga terkait dengan isu PKI hingga bermunculan pihak yang ingin mengingatkan bahaya PKI lewat menonton bersama film propaganda dimasa Orde Baru.

Akademisi Ilmu Komunikasi UGM, Budi Irawanto, mengungkap Orde Baru banyak memproduksi film propaganda antara lain ´Janur Kuning´, ´Serangan Fajar´, dan ´Pengkhianatan G30 S/PKI´. Di dua film pertama mengambil latar belakang masa revolusi bersenjata 1945-1949 itu menempatkan Soeharto sebagai satu-satunya hero.

"Film itu menangkap Soeharto sebagai sosok pahlawan. Perannya sangat menonjol hingga menyingkirkan tokoh lainnya," kata Budi, Selasa (19/9).

Film Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949. Jenderal Soedirman digambarkan sebagai pemimpin besar yang selalu meminta pendapat Soeharto. Sedangkan peran politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa Jogjakarta, kata Budi, dikesampingkan begitu saja.

Tema perjuangan dan heroisme militer sangat menonjol dalam film-film propaganda itu. Sedangkan peran sipil dikerdilkan. Budi menganggap Soeharto ingin legitimasi kekuasaannya bersama militer kian kuat dengan peredaran film ini. "Kekuasaan bermula dengan senjata juga tampak lebih agung kalau ada kamera," ucapnya.

Khusus film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan bagian propaganda Orde Baru untuk melanggengkan pemahaman mengenai peristiwa 1965 dari sudut pandang versi militer. Kekejaman dalam pembunuhan penculikan jenderal di Lubang Buaya didramatisasi untuk membenarkan operasi terhadap simpatisan PKI. Padahal hasil autopsi mayat jenderal korban penculikan tidak menemukan siksaan seperti yang digambarkan dalam film itu.

Penulis buku ´Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonesia´ ini mengaku masih banyak film propaganda Orde Baru yang ditayangkan oleh TVRI, satu-satunya siaran televisi waktu itu. Bentuknya bisa berupa sinetron mengenai pembangunan atau apapun.

Di masa orde baru akses referensi masyarakat mengenai kejadian 1965 masih terbatas. Kini ketika informasi kian terbuka, film, buku, ataupun dokumentasi lain harusnya bisa dikonsumsi tanpa tekanan.

Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap film propaganda sengaja dibuat demi legitimasi kekuasan. Film ini memiliki tingkat akurasi sejarah rendah. Ia mencontohkan film G 30 S/PKI yang mengandung sejumlah kekeliruan.

Penculikan terhadap para jenderal, kata Bonnie, memang benar terjadi. Tapi untuk penyiksaan secara sadis, tak didukung oleh hasil otopsi tim dokter. Para dokter yang memeriksa jenazah ketujuh jenderal adalah dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI).

Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, mengungkapkan hasil visum ini dalam artikelnya, How did the General Dies? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Merujuk hasil pemeriksaan tim dokter, enam jenderal tewas karena luka tembak, dan Jenderal MT Haryono tewas karena luka tusukan senjata tajam.

Bonnie menyarankan agar masyarakat mendapat gambaran lengkap mengenai peristiwa 1965, seharusnya juga ada prakarsa untuk nonton film ´Jagal´ dan ´Senyap´ yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer. Film Jagal berkisah dari sudut pandang pelaku pembunuhan terhadap mereka yang dianggap anggota atau simpatisan PKI, sedangkan Senyap bertutur dari sudut pandang keluarga korban. Tapi pemutaran kedua film itu beberapa waktu lalu selalu mendapat rintangan dari selumlah pihak. "Jangan malah dilarang. Kan tujuannya (mempelajari) sejarah," ujarnya.

REKONSTRUKSI ULANG - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengakui memerintahkan TNI untuk memutar film G30S/PKI. Menurutnya tidak ada yang bisa melarangnya, kecuali pemerintah.

"Iya itu memang perintah saya, mau apa? Yang bisa melarang saya hanya pemerintah," kata Jenderal Gatot saat ditemui seusai ziarah di Makam Bung Karno (MBK), Bendogerit, Blitar, Senin (18/9).

Rencana TNI menggelar acara nonton bareng film G30S/PKI memang menjadi polemik. Ada yang menilai film itu tak pantas ditonton lagi. Namun ada juga yang mendukung rencana TNI sebagai upaya mengingatkan sejarah kelam bangsa ini.

Menurut Gatot, bahkan Presiden Sukarno sendiri pernah memberi pesan untuk tidak melupakan sejarah. "Sejarah itu jangan mendiskreditkan. Ini hanya mengingatkan pada anak bangsa, jangan sampai peristiwa itu terulang. Karena menyakitkan bagi semua pihak. Dan korbannya sangat banyak sekali," ucapnya.

Gatot menyatakan Mendagri sudah mengizinkan dia memerintahkan seluruh anggotanya menonton film garapan era Orde Baru tersebut. Saat ditanya mengenai materi film itu masih menjadi polemik, Gatot mengatakan menonton film tersebut merupakan upaya meluruskan sejarah.

"Biarin aja, saya nggak mau berpolemik. Ini juga upaya meluruskan sejarah. Saya hanya ingin menunjukkan fakta yang terjadi saat itu. Karena anak-anak saya, prajurit saya, masih banyak yang tidak tahu," jelasnya.

Presiden Joko Widodo tidak mempersoalkan kegiatan nonton bareng film G30S/PKI yang diadakan TNI. Jokowi berharap film tersebut dapat diproduksi ulang dengan versi yang bisa dipahami generasi muda atau kalangan milenial.

Jokowi mengatakan perlu ada konsep film berkenaan dengan sejarah yang bisa diterima generasi muda. Salah satunya berkaitan dengan sejarah PKI di Indonesia.

"Akan tetapi, untuk anak-anak milenial, tentu saja mestinya dibuatkan lagi film yang memang bisa masuk ke mereka. Biar ngerti mereka bahaya komunisme. Biar mereka tahu juga mengenai PKI," kata Jokowi saat ditemui di Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/9).

Jokowi berharap adanya versi baru film tersebut diharapkan bisa dimengerti dengan baik oleh generasi milenial. "Ya akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru. Agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial," ujarnya.

Sebelumnya, Jokowi tak mempermasalahkan nobar film G30S/PKI yang akan diadakan oleh TNI. Menurutnya, kegiatan seperti itu penting agar bisa memahami sejarah.

"Ya, nonton film, apalagi mengenai sejarah, itu penting," imbuhnya.

Buya Syafii Maarif menyampaikan pendapatnya soal isu kebangkitan komunisme di Indonesia. Dia mengaku tak percaya kebangkitan itu benar-benar terjadi.

"Apa (isu kebangkitan komunis di Indonesia) itu bukan mimpi di siang bolong. Saya nggak begitu percaya, ndak tahu ya," kata Buya Syafii saat menemui rombongan dari Humas Polri di masjid Nogotirto, Senin (19/9).

Masjid ini terletak dekat rumah Buya Syaffi di perumahan Nogotirto Elok II, Gamping, Sleman.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan bahwa komunisme di mana-mana sudah runtuh. Di Rusia, di China dan Vietnam. Buya melanjutkan, saat ini hanya ada Kim Jong-un di Korea Utara yang masih bertahan dengan komunismenya. Namun menurutnya hal itu hanya digunakan Kim Jong Un untuk menjadi seorang diktator.

"Di mana-mana sudah runtuh, dulu mengapa PKI itu kuat tahun 50an-60an itu karena ada bosnya terutama Rusia, China," tuturnya.

Terkait dengan kasus seminar pelurusan sejarah 65 di LBH Jakarta, Buya menilai seminar itu baik-baik saja. Dia tidak melihat ada kekhawatiran yang akan mengancam negara.

"Untuk dikhawatirkan akan mengancam negara, saya kira nggak, saya ndak melihat. Massa (yang membubarkan seminar) itu siapa, mungkin kelompok radikal juga, mereka merangkap sebagai polisi swasta, itu yang harus diantisipasi," pungkasnya. (dtc/mfb)

BACA JUGA: